Chapter 5. Pertemuan Pertama

1567 Kata
Jam kantor masih akan dimulai sekitar dua jam lagi, tetapi Nero sudah tidak ingin berada di rumah lebih lama. Rumah ini terlalu sepi dan dingin. Nero tidak suka berada terlalu lama di rumah yang menyimpan kenangan buruk baginya ini. Mungkin, ia akan mencari apartemen sendiri nanti selama tinggal di sini. Ada banyak hal yang mengingatkannya pada masa kecilnya yang tidak indah. Ruang keluarga tempat Mama dan Dad selalu bertengkar. Ruang kerja tempat Dad mengurung diri setelah bertengkar dengan Mama. Sudut kecil di tangga tempat Nero menangis diam-diam, juga patio di belakang rumah yang kini kosong. Sesungguhnya, Nero tidak tahu mengapa Dad membiarkan patio itu tetap ada. Semua foto Mama dan barang-barangnya, sudah Dad simpan di gudang yang tidak pernah lagi dibuka. Hanya satu tempat itu yang menyimpan kenangan sangat nyata tentang Mama. Kuda-kuda kanvas, kaleng-kaleng cat yang sekarang Nero yakin telah mengering, berbagai ukuran kuas, semua masih sama seperti terakhir kali Mama pergi. Sudah bertahun-tahun berlalu dan tidak banyak perubahan yang terjadi dari tempat ia tumbuh besar ini. Hanya ada para pelayan yang memiliki waktu mereka sendiri di dapur setelah selesai mengerjakan tugasnya masing-masing. Tidak ada yang mengajaknya bicara atau mengobrol dengan hangat seperti yang selalu Nero dapatkan di rumah Muti. Setiap sudut rumah besar ini hanya berisi kehampaan. Karena hal itulah, Nero memilih untuk berangkat ke kantor lebih cepat. Ia ingat jika dulu Dad pernah bilang padanya jika perusahaan Dad memiliki perpustakaan yang lengkap dan besar. Satu lantai penuh di lantai dua gedung Goldman berisi buku-buku apa saja yang bisa dibaca. Dad memang sangat suka membaca, dan hal itu menurun kepadanya. Menjadi pustakawan di Bakti Bangsa adalah kebahagiaan baginya. Selain Muti, hanya buku yang bisa membuatnya bahagia. Dan ngomong-ngomong soal Muti, Nero belum mendengar kabar gadis itu. Nero mengambil ponselnya, bermaksud untuk menghubungi Muti. Sudah dua hari ia di sini dan belum menghubungi gadis itu lagi. Terakhir kali ia pergi, Muti masuk ke rumah sakit karena stress akan kematian Dika, salah satu murid mereka, dan juga dengan pulangnya Damar bersama wanita lain. Nero menemukan Muti pingsan di lab kesenian saat ia mencari-cari gadis itu. Nero membawanya ke rumah sakit, tetapi sebelum Muti sadar, ia mendapat telepon jika ayahnya masuk ke rumah sakit. Karena itulah ia meminta Damar datang untuk menjaga Muti. Itu jauh lebih baik daripada Muti terbangun dan melihatnya pergi. Nero tidak ingin melihat Muti sebelum gadis itu bangun karena tahu jika dirinya akan sangat berat untuk pergi jika melihat mata Muti yang menatapnya. Ia juga ingin Muti berpikir jika Damar yang membawanya ke rumah sakit. Mungkin saja itu akan memperbaiki hubungan mereka. Dua orang itu selalu saja berlagak tidak peduli satu sama lain. Nero berharap kepergiannya ini akan membuat mereka dekat lagi seperti dulu. Ia baru saja akan mencari nomor Muti ketika ponsel di tangannya bergetar dan nama Damar nampak di layarnya. Namun, bukannya mendengar suara Damar, Nero justru mendengar isakan Muti. Nero kembali tersenyum ketika mendengar gadis itu terisak. Ia tahu itu hanya tangis palsu. Muti selalu seperti itu jika sudah kesal padanya dan ingin menceritakan sesuatu. Dasar si manja! Si manja yang sangat ia sayangi. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa bertahan dan mengesampingkan perasaannya sendiri. Nero akui itu sangat sulit. Untuk tetap menjadi sahabat Muti dan menyadari jika gadis itu tidak akan memiliki perasaan apapun padanya. Namun, ternyata ia memang pria masokis. Meskipun itu sakit, berada di sisi Muti juga telah menjadi kebutuhan hidupnya. “Damar nggak bikin masalah lagi kan?” “Dia bener-bener kayak satpam tahu nggak? Nggak pergi-pergi dari sini. Nggak ke sekolah juga. Kalau nggak ada elo, nggak ada yang ngomelin dia tau!” “Kamu mau aku mengomelinya sekarang? Aku akan melakukannya dengan senang hati.” Suara tawa Muti yang terdengar, membuat hati dingin Nero menghangat. Itu adalah apa yang ia butuhkan. Mendengar Muti tertawa dan kembali ceria seperti dulu. “Bokap lo gimana? Dah baikan?” “Iya. Sudah lebih baik.” “Bokap lo nggak ngomel kan lo nggak pernah pulang? Kalau dia ngomel, sini biar ngomong sama gue. Terus lo jangan lupa istirahat biar nggak ikutan sakit.” “Iya, bawel! Kamu lagi apa? Kangen nggak sama aku?” tanya Nero mengalihkan pembicaraan. Ia tidak pernah suka membicarakan ayahnya. Muti sedikit tahu tentang masa lalunya dari Andhita, tetapi ia tidak ingin menceritakan lebih banyak lagi. Gadis itu juga tidak pernah bertanya lebih banyak. “Huhuhu…kangen bangeeett!! Gue butuh elo, Ner.” Kali ini Muti benar-benar menangis dan Nero tidak tahan untuk mendengarnya. Ia sangat ingin berada di sana dan memeluk gadis itu. Muti sedang tidak berada di fase baik-baik saja setelah kepergian Dhika, dan Nero justru harus pergi di saat seperti itu. Ia merasa seperti seseorang yang tidak berguna sekarang. Ia tidak bisa berada di sisi Muti saat gadis itu membutuhkannya. “Ner,” suara Damar menggantikan suara Muti. “Dia nangis lagi.” Nero memejamkan mata. Bagaimana keadaan Muti bisa seperti ini? Ini jauh lebih parah daripada ketika Damar baru saja pergi. “Seharusnya aku tidak pergi,” bisik Nero lebih kepada dirinya sendiri. Paman Stevan bisa mengurus semuanya seandainya ia tidak pulang pun. Mungkin Dad hanya akan semakin marah padanya. Namun, bukankah itu sudah biasa? Mereka berdua memang selalu marah dan bertengkar. “Bokap lo lebih butuh lo.” Salah. Perusahaan membutuhkannya. Atau setidaknya, seperti itulah menurut Dad. Dad tidak pernah membutuhkannya. “Jaga dia baik-baik, Damar. Aku tidak tahu sampai kapan aku masih harus di sini.” “Lo tenang aja. Gue akan selalu ada buat dia.” Damar mengucapkan selamat tinggal, dan mematikan teleponnya. Nero menatap foto Muti yang menjadi wallpaper ponselnya dengan sendu. Mencintai Muti adalah hal terbaik yang pernah Nero alami dalam hidup. Dulu, Nero pikir ia cukup menyukai Andhita. Namun, bahkan kepergian gadis itu tidak menimbulkan sakit seperti yang ia alami ketika Muti memutuskan hubungan mereka. Nero tidak bisa kehilangan Muti. Nero tidak ingin Muti membencinya karena ia bertingkah menyebalkan seperti Dad. Dan menjadi sahabat Muti sudah cukup baginya, asal ia bisa melihat gadis itu tersenyum. Kebahagiaan Muti adalah tujuan hidupnya meskipun gadis itu tidak bersama dengan dirinya. Asal Muti bahagia, itu sudah cukup untuknya. …. Kantor masih sepi ketika Nero sampai di sana. Bangunan dengan tinggi tiga puluh lantai itu hasil kerja keras ayahnya selama puluhan tahun. Sesuatu yang harus ditukar dengan tawa dan kebahagiaan keluarganya. Saat ini, Goldman Company termasuk salah satu perusahaan paling bergengsi di Amerika dan menghasilkan laba jutaan dollar setiap tahunnya. Wajar jika Dad sangat takut tidak memiliki pewaris untuk melanjutkan bisnisnya. Di kantor, hanya ada petugas keamanan dan para petugas kebersihan yang mulai bekerja sebelum jam kantor dimulai. Orang-orang di kantor ini tidak banyak yang mengenal dirinya sebagai putra James Goldman. Terlebih, ia memang tidak mirip dengan James sama sekali. Nero lebih mewarisi wajah ibunya yang Asia. Dan itu jauh lebih baik karena Nero tidak ingin orang-orang menghormatinya hanya karena ia adalah anak tunggal James. Perpustakaan bahkan jauh lebih sepi lagi, di sana hanya ada dua orang petugas kebersihan. Nero berkeliling ruangan besar itu sekaligus mencari ide untuk penataan perpustakaan di Bakti Bangsa. Ia mungkin tidak akan kembali lama, tetapi setidaknya, Nero ingin meninggalkan kenangan akan dirinya di Bakti Bangsa. Mata Nero menyusuri buku-buku yang ditata dengan rapi itu. Dad benar, buku-buku di sini jauh lebih banyak daripada yang tersimpan di perpustakaan nasional. Beberapa hari dalam satu bulan, Dad akan membuka perpustakaan ini untuk umum. Nero terus melangkah sampai ia mendengar suara kaki yang tampaknya tengah melompat dari ujung lorong. Ia berjalan pelan dan melihat seorang gadis berambut pendek tengah meloncat untuk mencoba mengambil buku yang ada di rak paling atas. Gadis itu tidak pendek, tetapi tinggi rak masih tidak bisa dijangkau oleh tangannya. Ia pasti pegawai di gedung ini karena hari ini bukan jadwal Dad membuka perpustakaan. Gadis itu meloncat lagi beberapa kali, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum salah satu kakinya memanjat rak. Bodoh! Rak itu bisa jatuh dan menimpa tubuhnya! Nero bergegas mendekat dan dengan mudah mengambil buku yang sedang digapai oleh si gadis yang kini menatapnya dengan kaget. “Ka...kau...siapa kau?” tanyanya dengan sedikit terengah. Entah sudah berapa lama gadis itu meloncat-loncat. Mata bulat gadis itu menyipit setelah ia berdiri dengan tegak. Mereka berdiri berhadapan sementara Nero mengerutkan keningnya. Ada yang familier. Wajah gadis ini seperti pernah ia lihat di raut wajah seseorang. Siapa? Sepertinya seseorang yang sering ia temui. Namun, apa mungkin ia pernah bertemu seseorang yang mirip gadis ini? “Bukuku.” Gadis itu mengulurkan tangannya saat Nero tidak juga menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Nero menunduk dan melihat buku yang ada di tangannya. An Elephant and Piggie Biggie?? Apa ia tidak salah? Ini buku bacaan anak-anak! Gadis ini jelas bukan anak-anak lagi. Pasti si rambut pendek berwajah judes ini seumuran dengan dirinya. Atau mungkin jauh lebih muda. Dad memang sering mempekerjakan anak magang yang baru saja lulus di sini. “Kau yakin tidak salah mengambil buku?” Nero bertanya untuk memastikan bahwa ini memang buku yang gadis ini inginkan. Si rambut pendek menggeleng. “Cepatlah! Aku harus membacanya sebelum jam masuk kantor.” Jadi benar jika rambut pendek ini pegawai di sini. Nero menyerahkan buku itu dan berbalik tanpa bicara apa-apa lagi. Lagipula, gadis itu pasti tidak tahu caranya berterima kasih. Wajahnya saja sangat angkuh. “Terima kasih!” Nero mendengar ucapan itu tepat sebelum ia berbelok ke lorong. Ia menoleh, tetapi gadis itu sudah berbalik darinya dan berjalan pergi. Nero menatap punggung yang menjauh itu dan sekali lagi bertanya-tanya dalam hatinya. Mengapa gadis itu tampak tidak asing?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN