Chapter 4. Gadis Kecil Widjaya

1685 Kata
Pagi Ola selalu dimulai dengan segelas s**u dan roti. Entah itu roti bakar, sandwich, ataupun hanya roti dioles selai. Hal itu tidak pernah berubah semenjak ia masih kecil sampai detik ini meskipun dirinya bukan lagi seorang gadis kecil. Berkarton-karton s**u selalu memenuhi kulkasnya. Selain itu, beberapa kantong roti selalu tersedia di lemari dapurnya. Ia tidak pernah bisa sarapan dengan nasi sejak dirinya masih kecil. Persis seperti sang ayah. Bahkan memang sejujurnya, ia memang tidak terlalu suka nasi. Roti selalu menjadi favoritnya. Pagi, siang, sore, malam, ia akan dengan senang hati menyantap makanan itu. Entah apa sebabnya, Ola juga tidak mengerti. Yang jelas, roti sudah menjadi bagian hidupnya semenjak masih seorang bocah kecil yang tinggal di kontrakan sempit hingga kini ia menjadi wanita dewasa yang tinggal di apartemen modern dan mewah di Manhattan. Hari ini, rapat akan dimulai pukul sebelas siang. Tidak ada yang perlu ia persiapkan karena ini hanya sebuah perkenalan biasa. Ola hanya perlu hadir dan melihat seperti apa sosok CEO baru itu. Mungkin pria itu terlihat mirip dengan James yang kaku dan dingin. James sangat jarang tersenyum, jika tidak boleh dibilang tidak pernah. Bahkan ketika mereka berhasil memenangkan merger, atau akuisisi, atau bahkan saat mendapat laba yang berkali lipat lebih besar dari sebelumnya, pria itu tidak pernah tersenyum lebar. Apa mungkin bahkan Ola memang belum pernah melihat James tersenyum? Kategori memuaskan bagi James hanya akan dibalas anggukan dan pernyataan datar, ‘kerja bagus. Aku harap selanjutnya akan lebih baik.’ Hanya itu saja. Tidak ada yang lain. Tidak ada puja puji bangsa seperti atasan lain atau makan malam penuh keakraban dengan sang Direktur Utama seperti yang perusahaan lain lakukan. Makan malam perusahaan selalu berlangsung tanpa kehadiran James. Dan sejujurnya, itu memang lebih baik. Para karyawan akan makan dalam keadaan jauh lebih santai dan bahagia tanpa kehadiran James. Mungkin, hal itu juga yang menyebabkan pria itu tidak memiliki seorang pendamping. Lagipula, siapa yang mau hidup dengan pria dingin dan otoriter seperti James. Dulu, Ola pikir jika James tidak pernah menikah. Namun, ketika desas desus mengenai siapa penggantinya ketika pria itu jatuh sakit, ia tahu bahwa James pernah menikah. Wanita itu pasti hebat karena bisa bertahan di samping James yang dingin dan otoriter. Walaupun entah hanya untuk berapa lama. Mungkin, anaknya juga bukannya kuliah di luar negeri, tetapi kabur bersama ibunya. Apa anak itu bahkan pernah mengenal ayahnya sebelumnya? Ola mendesah dan menghalau pikirannya yang melantur. Itu sama sekali bukan urusannya. Ia tidak pernah bergosip dengan karyawan wanita lainnya di kantor tentang hal-hal seperti itu. Lagipula, siapa yang mau bergosip dengannya? Tidak banyak karyawan wanita seusianya yang sudah memiliki kedudukan sebagai direktur. Para karyawan lain akan menunjukkan sikap hormat yang terkadang dibuat-buat dan membuat Ola muak. Namun, ia tidak peduli dengan itu. Ia bekerja di sini sebaik mungkin karena itu adalah kewajibannya. Bukan salahnya jika ia naik jabatan dengan lebih cepat daripada yang lain. Ola selalu menunjukkan kinerja yang sempurna. Karena jika tidak, mungkin ia tidak akan pernah bisa mengambil cuti tahunannya. Rata-rata perusahaan Amerika tidak pernah menerapkan batasan jatah cuti tahunan untuk para karyawannya. Paling banyak, hanya sepuluh hari cuti yang ditanggung, di luar itu, tidak akan ada gaji yang dibayarkan. Sebenarnya, Ola juga tidak ingin mengambil cuti tahunannya, apalagi melebihi sepuluh hari!, tetapi ayah benar-benar sudah memberinya ultimatum. Ia pulang sendiri, atau ayah akan menjemputnya secara paksa. Yeah, kalian boleh tertawa sampai puas. Ia memang seorang wanita dewasa berusia dua puluh sembilan tahun, tetapi di mata ayahnya, ia tetap Viola, gadis kecil Widjaya, yang harus selalu diperhatikan dan dijaga baik-baik. Butuh waktu cukup lama bagi Ola untuk membuktikan pada ayahnya bahwa ia bukanlah gadis manja yang harus selalu bergantung pada ayahnya. Dan tetap saja, ketika ia sudah bisa membuktikan diri, ayahnya tetaplah seorang ayah protektif yang tidak ingin putrinya lepas dari pengawasannya. Wanita dua puluh sembilan tahun mana yang masih rutin mendapatkan telepon dari ayahnya setiap malam meskipun mereka berbeda zona waktu? Atau, uang bulanan yang masih selalu dikirimkan dalam jumlah yang terlalu banyak meskipun ia telah memiliki penghasilan besar? Ola rasa, tidak banyak yang seperti itu. Beruntung James memberinya ijin khusus untuk mengambil cuti selama satu bulan penuh. Ya, meskipun dingin dan jarang tersenyum, James selalu mendukungnya. Pria itu selalu puas dengan laporan keuangan, dan juga perencanaan keuangan perusahaan yang ia buat. Sebagai CFO, Ola harus selalu memastikan perusahaan tidak mengalami kerugian. Ia juga sudah mendelegasikan pekerjaannya untuk satu bulan ke depan kepada asisten pribadinya. Ola sudah menghabiskan waktu selama tiga minggu penuh setiap selesai jam kantor untuk memastikan keadaan akan ‘aman’ selama satu bulan cutinya. Ia hanya ingin pulang tanpa khawatir dan menyelesaikan ‘masalahnya’ di rumah lalu kembali bekerja dengan tenang. Selesai sarapan, Ola segera mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Pagi ini, Ola memutuskan untuk mengenakan blazer putih berlengan pendek dan rok warna senada di bawah lutut yang simpel tetapi terlihat berkelas. Oh, tentu saja baju itu berkelas. Itu keluaran Gucci! Uang tidak pernah menjadi masalah baginya sejak dulu. Sang ayah selalu memenuhi apapun yang Ola inginkan. Namun, sekarang Ola merasa lebih bebas menghambur-hamburkan uang karena ia sudah bisa menghasilkannya sendiri. Ia bisa membeli apapun tanpa khawatir Bunda akan murka dengan tagihan kartu kreditnya yang membengkak. Bukan berarti Ola seorang yang boros dan suka menghamburkan uang. Ia hanya suka membeli barang yang benar-benar berkualitas, dan itu berarti ada harga yang harus ia bayar. Ola menyisir rambut pendeknya sekenanya, kemudian melengkapi penampilannya dengan sepasang anting juga kalung yang ia beli di Tiffany. Untuk rambut, Ola memang tidak terlalu suka lagi dengan rambut panjang. Sudah sejak kecil ia memiliki rambut panjang. Rambut pendek jauh lebih praktis, dan tentu saja tidak perlu repot menatanya. Ia tidak terlalu suka berdandan dan tidak ingin direpotkan dengan urusan bad hair day. Ola terbiasa pergi ke kantor lebih cepat dari waktu kerjanya agar memiliki kesempatan berada di perpustakaan kantor lebih dulu. Ia selalu suka berada di sana beberapa saat sebelum waktu kantor dimulai. Ketika tempat itu masih sepi. Sedikitnya teman yang ia punya, juga menjadi alasan mengapa Ola senang menghabiskan waktunya di perpustakaan. Buku tidak perlu ia ajak bicara dengan lantang. Namun, buku selalu memberinya kenyamanan. “Selamat pagi, Miss Aleyna,” sapa Drew, si penjaga pintu, saat ia sampai di kantor. Di kantor, dirinya hanya dikenal sebagai Viola Aleyna. Ola sangat jarang mengatakan nama lengkapnya setiap kali ia bertemu seseorang. Orang-orang pikir, ia tidak memiliki nama keluarga karena dirinya orang Indonesia. Hanya sebagian kecil orang di kantor ini yang mengetahui nama lengkapnya. “Selamat pagi, Drew. Kopi untukmu,” ucap Ola sambil menyerahkan kantong yang ia bawa untuk Drew. Pria berkulit hitam itu tersenyum lebar seraya mengucapkan terima kasih atas kopi dan juga sandwich yang Ola buatkan untuknya. Di kantor, Drew adalah satu-satunya orang yang selalu menerima kopi dan sarapan darinya. Tidak ada alasan untuk itu. Ola hanya menghargai kerja Drew yang selalu datang paling awal dan pulang akhir. Ola menyukai pria itu. Drew adalah pria Afro Amerika berbadan besar tetapi sangat ramah. Setiap ia lembur, pria itu juga akan berjaga di lantai tempatnya berkantor. Kadang, Drew akan mengajaknya mengobrol jika Ola sudah terlalu lelah bekerja, tetapi masih harus menyelesaikan semua laporannya. Ia tahu jika Drew baru saja memiliki cucu perempuan pertamanya. Ola memencet tombol lift ke arah perpustakaan yang ada di lantai dua. Tempat besar itu, selain memiliki buku tentang bisnis, juga memiliki beberapa buku novel yang bisa dibaca untuk meredakan lelah karena bekerja. Hal ini agak mengingatkannya pada perpustakaan di sekolahnya. Dulu, ia selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah. Perpustakaan Bakti Bangsa sudah terkenal sebagai tempat membaca paling nyaman dengan buku-buku paling lengkap di antara sekolah-sekolah lain. Kadang, sejujurnya ia rindu untuk pulang. Untuk berada di tengah-tengah kehangatan keluarganya. Untuk bisa duduk nyaman tanpa gangguan di perpustakaan sekolahnya. Namun, Ola tahu jika masa-masa seperti itu sudah berlalu. Ia bukan lagi gadis kecil manja yang harus selalu dilindungi keluarga. Ia adalah wanita dewasa dan mandiri yang bisa mengurus hidupnya sendiri. Ada masanya ia harus berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan di belakang nama besar keluarganya. Sekarang, Ola sedang menapaki jalan ke sana. Untuk diakui sesuai kemampuannya. Jika adiknya saja bisa bebas memilih sekolah penerbangan, kenapa ia tidak boleh berkarier di luar sekolah? Lagipula, sudah ada Damar dan ayahnya yang mengurus sekolah itu. Dua adiknya yang lain, dan anak Tante Hannah juga nanti bisa meneruskan mereka. Widjaya tidak akan pernah kehabisan pewaris. Perpustakaan itu masih sepi ketika Ola sampai di sana. Hanya ada dua orang petugas kebersihan yang mengangguk sopan padanya ketika ia masuk. Ini adalah apa yang ia butuhkan. Ketenangan sebelum memulai hari yang sibuk. Tinggal lima hari lagi sebelum Ola mulai cuti dan pulang ke Indonesia. Ola melintasi rak-rak yang berisi berbagai buku dengan berbagai jenis dan berdiri tepat di depan rak yang berisi buku-buku fiksi. Yeah, di sela waktu kerjanya yang kadang gila-gilaan itu, ia butuh membaca sesuatu yang sedikit ringan dan menyegarkan otaknya. Mata Ola melihat buku yang ia cari, An Elephant and Piggie Biggie, berada di rak paling atas. Sial, benda itu tidak akan bisa ia jangkau tanpa naik ke tangga besi dan jelas Ola tidak akan kuat membawa tangga berat itu kemari. Biasanya, ada seorang petugas yang membantunya. Namun, pria itu belum datang sepagi ini. Ola berjinjit setinggi mungkin dan mencoba meraih buku itu. Untuk ukuran seorang gadis, ia sudah cukup tinggi. Akan tetapi, tetap saja buku itu di luar jangkauannya. Ola bisa saja membaca buku lain, tetapi hari ini ia hanya ingin membaca buku itu. Yeah, buku anak-anak itu. Ola sudah membacanya dari Volume 1 hingga ke Volume 5. Ola menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada siapapun yang melihatnya, lalu ia meloncat untuk menggapai buku itu. Meloncat lagi, tetapi buku itu tetap tidak bisa diraihnya. Berkali-kali melakukannya pun, benda itu tidak juga bisa diraihnya. Napasnya sudah terengah-engah dan ia mulai berkeringat meskipun pendingin di ruangan ini sudah dinyalakan. Ola menunduk dan menatap kaki rak buku yang tinggi itu. Jika ia bisa bertumpu pada rak itu, tangannya pasti bisa menggapai bukunya. Dengan penuh tekad, satu kaki Ola naik ke atas rak tersebut. Satu tangannya berpegangan di ujung rak di dekatnya, sementara tangan yang lain berusaha menggapai buku itu. Usahanya hampir saja berhasil, lalu satu tangan muncul di sampingnya, dan buku itu…lenyap dalam sekejap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN