Biasanya, Nero akan langsung pergi atau mengonfrontasi langsung ketika ada seseorang yang terang-terangan mengamatinya. Namun, ini tidak seperti biasanya, dan Nero malah mendapati dirinya pura-pura tidak sadar jika ada sepasang mata yang menatapnya dengan penasaran.
Si rambut pendek itu duduk di barisan kursi yang agak jauh dari tempat Nero berada sekarang, tetapi ia tahu jika wanita itu selalu mengamatinya dengan ingin tahu. Dari jarak yang tidak cukup dekat ini, Nero bahkan bisa merasakan jika wanita itu tampak sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang siapa ia sebenarnya.
Ya, wanita itu mengamatinya bukan karena tertarik pada ketampanan wajahnya, tetapi lebih karena rasa penasarannya tentang siapa Nero.
Itu membuktikan satu hal lain bahwa ayahnya memang tidak pernah membahas tentang anak tunggalnya yang tidak pernah pulang, kepada para karyawannya. Gadis itu mungkin hanya bertanya-tanya kenapa ia yang berwajah cukup Asia, berada di tempat ini, pagi-pagi sebelum jam kantor dibuka.
Nero sendiri, sebenarnya juga penasaran dengan wajah itu. Ia yakin pernah melihatnya di suatu tempat. Lalu kenapa Nero tidak bisa mengingatnya? Ia bukan jenis orang yang mudah melupakan sesuatu. Terutama wanita yang tampak begitu percaya diri itu.
Apa mungkin karena selama ini benaknya hanya dipenuhi Muti hingga ia tidak peduli pada wanita lain? Itu adalah alasan yang paling besar. Tidak ada wanita yang bisa menarik perhatiannya selain Muti. Bagaimana kabar Muti hari ini? Apa gadis itu merindukan dirinya seperti ia juga sangat merindukannya?
Nero mendesah dan menutup bukunya, lalu pindah ke bagian novel. Di tempat ini, ia juga masih bisa merasakan wanita itu menatapnya dengan mata coklatnya yang besar itu. Sekedar ingin melihat reaksinya jika terpergok, Nero mengangkat kepala dan menatap wanita itu.
Ia harus menahan senyum kemenangannya saat melihat wajah cantik itu memerah. Nero bisa melihat betapa percaya dirinya si Piggy Biggy, dari postur dan juga pembawaan wanita itu. Ia menduga jika si rambut pendek itu adalah wanita yang percaya diri dan jarang sekali salah tingkah saat ada seseorang yang memandangnya.
Bahkan mungkin, ia akan membalas pandangan itu dengan tidak kalah percaya diri jika itu bukan dirinya yang menatap. Wanita itu mungkin malu karena ketahuan membaca Piggy Biggy di usia yang tidak pantas lagi.
Benak Nero bertanya-tanya sementara ia mengamati wanita itu bangkit dari duduknya dengan gugup. Berapa usia wanita itu? Ia tampak belum terlalu tua. Mungkin, wanita itu adalah anak magang baru di kantor ini. Dad sering mempekerjakan para fresh graduate untuk melihat potensi yang mereka miliki.
Dalam hal itu, Nero tidak pernah meragukan ayahnya. Pria itu seakan selalu tahu orang-orang yang berpotensi dan tidak. Jadi, bukan sesuatu yang mengherankan jika para direktur di kantor ini adalah orang-orang yang masih terhitung muda.
Namun, tidak mungkin wanita semuda itu juga adalah direktur kan? Usia mungkin masih di bawah Nero. Setidaknya, ia akan mengetahui hal itu dalam rapat nanti. Rapat yang akan dilaksanakan hanya dalam hitungan beberapa puluh menit lagi.
Sambil menahan erangannya, Nero keluar dari perpustakaan, dan langsung menuju ke lantai di mana kantor sementaranya berada. Tadinya, Dad memintanya untuk memakai ruangan pria itu, tetapi Nero menolaknya. Ia di sini hanya sebagai pengganti sementara ketika Dad sakit. Posisinya hanyalah sebagai Presiden Direktur yang akan melaksanakan tugas Dad dalam waktu yang singkat.
Ayahnya adalah pria yang kuat dan sangat mencintai pekerjaannya melebihi apapun. Pria itu tidak akan tahan tetap berada di tempat tidur untuk waktu yang lama dan tidak melakukan apa-apa. Nero bertaruh jika Dad akan kembali tidak sampai satu minggu lagi.
Setelah Dad kembali, ia akan pergi ke Jakarta dan melihat kondisi Muti, sebelum memutuskan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Melanjutkan hidup itu pasti. Namun, Nero masih tidak tahu jenis hidup macam apa yang akan ia jalani tanpa Muti di dalamnya. Yang jelas, itu pasti kehidupan yang suram dan tidak menyenangkan seperti yang pernah ia jalani sebelum bertemu gadis itu. Membayangkannya saja, sudah membuat Nero tidak bersemangat.
Begitu tiba di kantornya, ruangan luas yang sama sekali tidak diinginkannya, Nero merasa tergoda untuk menelepon Muti. Ini belum terlalu malam, Muti mungkin masih terjaga. Akan tetapi, gadis itu sedang sakit dan Nero sama sekali tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya meskipun ia sangat ingin mendengar suaranya.
Selama bertahun-tahun, gadis itu selalu menjadi alasannya terbangun di pagi hari dengan senyum di wajah. Kini, tampaknya ia harus mulai membiasakan diri bahwa harinya tidak akan pernah dimulai dengan sebuah senyuman lagi.
Nero telah memilih untuk pergi dan membiarkan Muti menggapai kebahagiaannya bersama Damar. Ia tahu bagaimana kedua orang itu saling mencintai, dan Nero tidak ingin berdiri di antara mereka lagi. Menjadi seseorang yang selalu dikasihani oleh orang lain karena menjadi orang ketiga.
Yah, setidaknya, di mata teman-teman pengajar di sekolah, Damar-lah yang menjadi orang ketiga antara dirinya dan Muti. Selama ini, semua orang di sekolah, kecuali Erlangga dan Violet mungkin, menganggap mereka adalah sepasang kekasih.
Baik Nero ataupun Muti tidak pernah mengonfirmasi hal tersebut karena bagi mereka yang penting adalah kebenaran itu sendiri, baik dikatakan atau tidak. Walaupun sesungguhnya, jauh di dalam hatinya, Nero berharap bahwa hal itu bisa menjadi doa yang akan menjadi sebuah kenyataan.
Sayangnya, kenyataan yang ia harapkan itu tidak pernah terjadi, dan kini justru semakin menjauh kebenarannya. Tidak akan ada masa depan untuknya dan Muti, ia tahu itu. Sejak dulu hingga sampai kapanpun, hati Muti hanyalah milik Damar dan tidak akan pernah menjadi miliknya.
Ketukan pelan di pintu, membuat Nero tersadar dari lamunannya. Paman Stevan memasuki ruangannya dengan senyum yang biasanya selalu Nero sukai, tetapi tidak kali ini. Ia merasakan kegugupan merayap dari dalam perutnya, hingga membuatnya merasa mual.
Ia memang memiliki sebuah kafe di Jakarta, dan sering memimpin rapat untuk anak-anak buahnya, tetapi jumlah mereka kurang dari sepuluh, dan Nero mengenal mereka semua karena ia sendiri yang mewawancarai saat membuka lowongan.
Rapat kali ini, ia tidak mengenal satupun dari mereka kecuali Paman Stevan yang sekarang berdiri dengan sikap hormat seperti yang selalu diperlihatkan pria itu pada ayahnya.
Nero sudah cukup lama mengenal Paman Stevan sejak pria itu menjadi asisten pribadi ayahnya semenjak sang ibu pergi dari rumah. Bagi Nero, pria ini lebih seperti ayahnya sendiri daripada Dad. Paman Stevan yang datang ke sekolah mengambil rapor, atau menjemputnya di kantor polisi saat ia terlibat perkelahian. Juga, tidak jarang mengajaknya menonton pertandingan baseball di akhir pekan.
Sejak dulu, hingga detik ini, pria itu selalu memiliki kebaikan hati yang sesungguhnya tidak pantas Nero dapatkan. Sama seperti yang ibu Rahma berikan padanya.
“Kenapa tidak Paman saja yang memimpin rapat itu? Aku tidak perlu diperkenalkan secara resmi karena hanya akan sementara berada di sini. Jika Dad sudah sembuh, aku akan segera pergi. Dan itu tidak akan lama lagi.”
Paman Stevan memberikan senyum bijaksananya. “Kau tahu Paman menyayangimu, Nak. Tetapi untuk permintaan itu, Paman tidak akan mengabulkannya. Kau harus menghadiri rapat ini.”
Nero seperti menelan gumpalan besar di tenggorokannya saat mendengar perkataan itu. Ia selalu mendapatkan kasih sayang yang besar dari orang-orang yang justru tidak memiliki hubungan darah dengannya. Dan panggilan ‘nak’ yang selalu diberikan untuknya, jelas membuat hati Nero menghangat.
Ia hanya ingin mendengar ucapan penuh kasih itu dari ayahnya, tetapi justru mendapatkannya dari orang-orang yang selama ini tidak pernah ia sangka. Paman Stevan, ibu Rahma, Tante Dina, bahkan Violet pun sering memanggilnya seperti itu. Dan Nero tahu jika panggilan itu tulus mereka berikan padanya.
“Aku tidak pernah memimpin rapat seperti ini sebelumnya.”
Itu memang benar. Ini adalah langkah pertamanya dalam ‘mengambil alih’ perusahaan setelah bertahun-tahun dirinya menghindar dan melarikan diri. Ternyata memang benar ungkapan yang menyatakan bahwa, sejauh apapun kau berlari, apa yang menjadi takdirmu tidak akan pernah bisa kau hindari.
Meskipun ia mencoba membangun hidupnya sendiri di Jakarta, jauh dari ayahnya, pada akhirnya Nero tidak bisa memungkiri bahwa ia adalah seorang Goldman. Dan hingga detik ini, hanya dirinyalah yang bisa mewarisi semua perusahaan milik ayahnya.
“Ini hanya seperti rapat dengan para anak buahmu di kafe. Lagipula, para direktur kita masih muda. Rasanya tidak akan terlalu canggung. Percayalah.”
Nero mengerutkan kening sambil mengerucutkan bibir saat mendengar apa yang pria itu katakan. “Seharusnya aku tidak usah heran kan kenapa Paman tahu tentang usahaku yang itu?”
Paman Stevan tertawa lirih. “Aku hanya memastikan bahwa kau benar-benar hidup dengan baik di sana, Nak.”
“Tentu saja. Itu kan yang ayahku suruh untuk kau lakukan? Memata-mataiku setiap saat.”
“Nak…” Suara Paman Stevan terdengar letih dan sedih. “Bahkan jika ayahmu tidak menyuruh pun, Paman akan tetap melakukannya. Kau sudah seperti putra Paman sendiri. Paman tidak ingin terjadi apa-apa padamu saat kau tinggal sendirian di negeri yang asing bagimu.”
Lagi-lagi leher Nero terasa sakit. Ia juga menyayangi pria ini. Bahkan mungkin lebih dari yang ia rasakan untuk ayahnya. Namun, Nero bukan jenis pria yang pandai mengungkapkan perasaannya. Kecuali kepada Muti. Hanya gadis itu yang bisa menerima semua ungkapan perasaannya.
Dan tampaknya, Paman Stevan paham karena pria itu segera beranjak dari tempatnya berdiri, lalu meraih lengan Nero yang masih duduk di kursinya. “Ayo, sudah cukup membuang-buang waktu. Semua orang sudah menunggumu.”
Nero bangkit dengan enggan. Lebih baik memang ia segera menyelesaikan ini daripada menunda-nunda. Jika lebih cepat dimulai, akan lebih cepat pula berakhirnya.
“Bagaimana kabar Luke? Apa dia sudah selesai kuliah?” tanya Nero saat mereka masuk ke dalam lift yang akan membawanya turun ke ruang rapat.
“Tahun ini adalah tahun terakhirnya. Dia akan pulang akhir pekan ini. Kau mau makan bersama di rumah seperti dulu?”
Luke adalah anak tunggal Paman Stevan. Pria itu berusia beberapa tahun di bawahnya dan sudah seperti adik sendiri bagi Nero. Sekarang ini, ia sedang menimba ilmu di WSU dan lebih sering berada di kota tersebut daripada di New York.
Dulu, jika Nero sedang tidak ingin menghabiskan akhir pekan hanya bersama ayahnya, atau jika ayahnya harus rapat mendadak, Paman Stevan akan membawanya ke rumah pria itu untuk bermain dengan Luke. Bahkan tidak jarang, ia juga menginap di sana.
“Tentu saja. Aku merindukan daging panggang buatan Bibi.”
Bibi Shella, istri Paman Stevan, adalah figur ibu lain yang Nero dapatkan setelah bu Rahma pulang ke Indonesia. Wanita itu begitu baik hati dan keibuan, juga tidak pernah membedakan Nero dengan Luke.
“Dia juga sangat merindukanmu dan sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu lagi.”
Tepat ketika Paman Stevan selesai mengatakan itu, pintu lift terbuka di lantai tempat rapat akan diadakan. Nero melangkah dengan ragu mendekati pintu ganda yang tertutup rapat itu. Ia berhenti sejenak saat lehernya semakin terasa sesak karena dasi yang dipakainya. Namun, ia tahu jika meregangkan dasi hanya akan membuat penampilannya menjadi tidak rapi.
“Paman tidak akan membiarkan aku mempermalukan diriku sendiri kan?”
Paman Stevan menggeleng dan tersenyum menenangkan sebelum membuka pintu ganda itu. Nero menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya melalui mulut saat melangkah memasuki ruangan itu.
Berbekal pengalaman menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya selama bertahun-tahun, Nero menatap para pemegang saham dan direktur yang ada di ruangan itu dengan penuh percaya diri. Ia membalas setiap senyum yang diberikan padanya dengan satu anggukan singkat.
Namun, saat matanya mengedarkan pandangan ke lebih banyak orang lagi yang ada di ruangan itu, ia bersitatap dengan wanita yang tadi ditemuinya di perpustakaan. Apa yang Piggy Biggy itu lakukan di ruangan ini? Ini hanya rapat terbatas untuk para petinggi. Tidak mungkin wanita semuda itu adalah direktur di salah satu divisinya, atau bahkan pemegang saham.
Si rambut pendek itu tidak kalah terkejut saat melihatnya duduk di kursi yang telah disediakan. Paman Stevan memulai rapat dengan cepat, tetapi Nero bahkan hampir tidak mengenali suaranya sendiri saat ia memperkenalkan diri.
Nero hanya mengamati ekspresi wanita itu yang semakin terkejut saat mendengar namanya. Jelas, wanita itu tidak mengira bahwa ia adalah putra James, tetapi ada ekspresi lain yang membuat Nero semakin penasaran. Wanita itu tampak kesal padanya. Kenapa?
Paman Stevan memberikan sesi perkenalan. Akan tetapi, ia juga tidak mendengarkan dengan seksama ketika satu per satu para direktur memperkenalkan diri hingga gadis itu bicara.
Piggy Biggy itu hanya menyebutkan dua suku kata namanya. Viola Aleyna. Tanpa nama keluarga. Namun, bahkan ketika ia hanya mendengar dua nama itu, pada akhirnya semua pertanyaan Nero terjawab.
Kenapa ia pernah merasa melihat wajah itu, kenapa si rambut pendek itu tampak tidak asing baginya. Karena wanita itu adalah putri dari Erlangga Widjaya. Pemilik sekolah tempatnya bekerja di Jakarta. Gadis itu, si tuan putri keluarga Widjaya yang hanya pernah ia dengar namanya. Tidak salah lagi.