Ada Apa denganmu, Mas?
“Dari mana, Mas?” tanyaku kepada Mas Pram yang masuk rumah tanpa salam.
“Dari warung,” jawabnya seraya memainkan HP. Entah hanya perasaanku saja, wajah suamiku sore ini nampak berseri-seri. Ia menyeka keningnya yang berpeluh.
“Kok, keringetan begitu? Emang lari dari warung ke rumah?”
Beberapa saat yang lalu aku mencarinya untuk menemani Moza. Aku sibuk mengurus Bapak, Sempat berpikir kemana Mas Pram keluar tanpa pamit.
“Eh, nggak. Emang, kamu gak gerah? Hari ini panas sekali!” ia mengipasi tubuhnya.
“Masa, sih? Kayaknya mendung aja, jemuran juga gak kering.” Aku menatap Mas Pram heran. “Tadi minta tolong jagain Moza, Bapak minta dipijit. Mau maghrib. Mandi, Mas. Kuambilkan handuk.”
“Gak usah, Dek! Tanganmu bau balsam, nanti handukku ikut bau!” gegas ia ke belakang. Mas Pram belakangan ini alergi sekali dengan bau minyak gosok. Semalam pun ia menghentikan ritual malam kami dan ngedumel lantaran tak suka bau GPU, padahal aku sudah mencuci bersih tangan dan berganti pakaian.
*
“Suamimu keluar, Nduk?” tanya Bapak dengan suara parau.
“Ya, Pak, ke kantor. Diminta lembur sama Pak Dirman.” Aku menjawab seraya menambahkan minyak gosok pada kaki Bapak yang keriput. Jemari kaki Bapak yang kasar kupijat pelan.
Selepas menidurkan Moza, aku ke kamar Bapak. Memastikan keadaan beliau. Bapak susah bisa tidur karena nyeri sendi atau dadanya yang terasa sesak. Laki-laki gagah di masa muda itu mengerang kesakitan saat aku menekan bagian lututnya. Bapak bekerja terlampau keras hingga menuai banyak keluhan di hari tua.
Enam puluh lima tahun usia Bapak kini. Keriput di wajahnya bertambah dimakan usia. Bapak semakin banyak keluhan setelah Ibu berpulang menghadap sang Khalik setahun yang lalu. Selain asam urat, Bapak juga ada riwayat hipertensi. Beberapa bulan ini keluhan Bapak semakin menjadi. Aku dan Mas Pram bolak balik membawa Bapa berobat.
“Nduk ....” panggil Bapak. Lalu beliau terdiam sekian lama.
“Ya, Pak?” tanyaku, Beliau terlihat berat berucap.
“Siang ikut suamimu pulang. Bapak khawatir, sepertinya suamimu sering keluar masuk rumah sebelah.”
“Siang hari, Pak?”
“Iya, Nduk!”
“Maksud Bapak, rumah Teh Ririn?” tanyaku memastikan. Bapak mengangguk. Tanganku yang membalur punggung Bapak dengan minyak terhenti sebentar. Tak ada yang aneh jika Mas Pram terlihat di rumah Teh Ririn siang hari.
Aku dan Mas Pram, tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah kota di Provinsi Lampung. Kantorku dan Mas Pram berada di satu komplek. Jika aku dapat makan siang di kantor, Mas Pram tidak. Sebab itulah suamiku kadang pulang ke rumah menjelang jam makan siang. Bulan tua begini untuk menghemat pengeluaran, suamiku kadang pulang ketika jam makan siang, karena jarak kantor ke rumah hanya sekitar lima belas menit dengan roda dua.
“Mas Pram pulang makan siang, Pak. Sekalian lihat Moza di rumah Teh Ririn,” jawabku sekenanya. Teh Ririn tetangga yang mengasuh Moza, rumah kami dan Teh Ririn dipisahkan lahan kosong milik Pak Kasim, tuan tanah di lingkungan kami tinggal.
Bapak terdiam.
Sejak Ibu berpulang tak ada yang mengurus Moza. Aku membawa anakku ke kantor, tetapi beberapa PNS keberatan karena menganggu konsentrasi mereka saat bekerja, jika meninggalkan Moza berdua Bapak aku khawatir Bapak kecapekan karena anakku sedang aktif-aktifnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, Teh Ririn menawarkan diri untuk mengasuh Moza. Perempuan bertubuh mungil nan ramah itu seperti penyelamat bagiku.
“Terserah Lilis saja, seberapa dikasihnya, Teteh ikhlas. Moza juga anaknya gak nakal. Teteh kesepian berdua Eza di rumah, apalagi Eza pulang sekolahnya jam dua.” Urai Teh Ririn saat aku bertanya nominal untuk jasanya.
“Ya Allah, Teh, Lilis bersyukur sekali. Teteh ngerti banget kalo gaji Lilis kecil, maklum, tenaga honorer, mana Teteh sering kasih sayur ke Lilis lagi,” aku benar-benar beruntung bertetangga dengannya.
“Woles aja, Lis. Teteh suka masak tapi yang makan gak ada, Eza gak suka sayur.” Tawa Teh Ririn renyah.
“Nduk,” panggil Bapak lembut menghentikan lamunanku.
“Ya, Pak.” Sahutku. “Bapak curiga sama, Mas Pram?” tanyaku langsung. Teringat juga usul janggal Mas Pram dua minggu yang lalu. Suamiku meminta Bapak turut Mas Jafar. Kakak kandungku yang tinggal berbeda kecamatan dengan kami. Usulnya langsung kutolak.
“Bapak hanya khawatir, Nduk. Tetangga kita ‘kan suaminya gak di rumah, kondisi sepi, banyak tipu daya dan usaha setan menjerumuskan manusia.”
Aku merasa geli, tapi tak ingin menunjukkan pada Bapak. Beliau sangat menyayangiku, sebenarnya kekhawatiran Bapak beralasan. Bapak tak ingin aku terluka.
Aku percaya 100 persen pada suamiku. Lima tahun pernikahan kami berjalan harmonis tanpa gejolak berarti. Ribut kecil tentu saja pernah terjadi, tapi selalu bisa teratasi. Mas Pram banyak mengalah, terlebih kami tinggal bersama Bapak dan Ibu. Hubungan Bapak dan Ibu yang mesra dan awet hingga tua menjadi panutan kami berdua. Mas Pram datang ke daerah kami sebagai perantau. Orangtuanya domisili di pantai timur pulau Sumatera. Terhitung baru dua kali kami mengunjungi orangtua suamiku karena jarak dan biaya yang tak sedikit untuk datang ke sana.
“Insyallah Mas Pram laki-laki setia dan terjaga, Pak. Lilis yakin itu. Mas Pram sayang sekali sama Lilis dan Moza.” Aku meyakinkan Bapak.
“Syukurlah kalo begitu, Nduk, Bapak ingat almarhumah Ibumu, dulu beliau tidak menyukai pilihanmu, karena kamu bersikeras makanya Ibu dan Bapak turuti.”
“Ya, Pak. Doakan saja keluarga Lilis bahagia, jauh dari masalah. Dan, doakan kami secepatnya diangkat jadi PNS, ya, Pak!” harapku.
“Amin, Bapak selalu doakan kalian.” Sela Bapak seraya menatapku dalam.
*
Aku menutup pintu kamar Bapak pelan. Sore kami membawa Bapak ke dokter umum langganan. Kali ini tensi darah Bapak naik karena kurang tidur.
“Dek.”
Mas Pram memberi isyarat untuk mendekat. Decak kesal sontak keluar dari mulutnya saat kami tak berjarak. Hidungnya yang sensitif membuatku serba salah. Mau bagaimana lagi, Bapak hanya bisa tertidur jika sudah dibaluri punggungnya dengan balsam atau GPU.
“Aku cuci tangan dulu,” sahutku bergegas ke belakang.
“Sudah telpon? Apa kata Mas Jafar?” tanyanya begitu aku menghenyakkan tubuh di kursi. Aku diam tak menjawab. Mengalihkan pandang ke TV yang tengah menayangkan informasi kecelakaan pesawat.
“Dek!”
“Ya, Mas,” sahutku menahan napas. “Kasian Mas Jafar, Mas. Bebannya bertambah kalo Bapak di sana.”
“Kan, ada Mba Rahma yang ngurus.”
“Bapak gak akan nyaman, Mas. Mbak Rahma itu mantu. Lagian anak-anak Mas Jafar banyak, gak ada kamat buat Bapak di sana.”
“Bapak juga terus-terusan jadi beban kita di sini!”
“Ikhlas, Mas. Insyallah jadi pahala buat kita.” Sahutku menahan diri. Mas Pram ngotot sekali.
“Mas punya solusi. Kita titipkan Bapak ke panti jompo saja. Biaya bulanan patungan dengan Mas Jafar!”.
“Astaghfirullah! Kamu tega, Mas? Itu Bapak kandungku!” mataku membelalak.
“Ya, gimana lagi! Mau sampai kapan kita ngurus Bapak yang banyak ngeluh? Hidup kita sudah susah, tambah susah karena Bapakmu!”
“Mas!” teriakku tanpa sadar. Aku menatapnya tajam.
Sebulan ini Mas Pram terang-terangan menyatakan keberatannya atas biaya berobat Bapak. Dia kekeuh nyuruh Bapak tinggal bersama Mas Jafar. Sekarang terlontar ide menitipkan Bapak di panti jompo.
Wajah Mas Pram yang menekuk saat membayar biaya berobat Bapak kemarin mengusik hatiku.
Sekarang, mas Pram menjadi perhitungan dan uring-uringan bila menyangkut Bapak.