bc

Krisan

book_age18+
119
IKUTI
1K
BACA
revenge
drama
mystery
crime
like
intro-logo
Uraian

“Semua akan jadi mudah jika kamu tidak mengatakan “tidak” padaku!”

Kisah misteri dari seorang penulis muda sukses yang kehilangan orang terdekatnya. Setiap kisah kehilangan itu diabadikan dalam sebuah buku dengan judul dan tampilan yang membuat orang tidak nyaman.

Siapakah yang membuat kisah-kisah itu ke dalam buku? Apakah ada hubungannya dengan penulis muda yang kerap kali merasakan kehilangan orang terdekatnya?

cover by Canva

chap-preview
Pratinjau gratis
Leon
"Hi, Leon. Loh, kamu lagi dimana?" tanya Bryan melalui video call. "Hi" jawabnya singkat dan hanya menampilkan senyum dari layar ponselnya. "Leon, kamu lagi dimana? kok tempatnya asing?" tanya pria itu ke sahabatnya yang sedari tadi hanya merespon dengan senyuman. "Kamu kenapa senyum-senyum dari tadi?" Yang ditanya masih dengan senyuman manis di layar ponsel dan sesekali menampilkan gestur melihat ke arah bawah. Wajahnya sebagian tertutup oleh snapback hitam yang dibalut topi dari hoodie hitamnya. "Leon, itu suara apa? kamu ngapain disitu? itu dimana?" Pria lugu yang diketahui sahabat dari Leon masih dengan sabar menuntut jawaban dari setiap pertanyaannya. *** “Halo, Leon. Selamat pagi. Kami dari tim penerbit xx ingin mengajak saudara Leon untuk bekerja sama dalam penerbitan novel. Kami sudah membaca karya-karya kamu yang diterbitkan di majalah “daily story”dan kami melihat potensi kamu dalam menulis cukup besar sehingga kami memutuskan untuk mengajak kamu menerbitkan sebuah novel. Perlu diketahui bahwa kami merupakan penerbit novel yang memiliki genre non romance dan thriller, jadi kami memberi challenge kepada kamu untuk membuat novel dari genre-genre tersebut. Tentu saja kami akan memberikan benefit untuk kamu bila berhasil menerima challenge dari kami.  Jika berkenan silahkan hubungi kami melalui e-mail ini, ya. Terimakasih dan Have a greatest day!” Sebuah e-mail dari penerbit novel-novel best seller berhasil membuat hari Leon menjadi hari paling baik. Ia tidak menyangka kalau ternyata karyanya berhasil membuat takjub pihak penerbit novel yang memang sejak lama digemarinya.   Sepulang sekolah Ia langsung menghampiri kantor Ravi dengan mengendarai sepeda motor miliknya. “Kak, aku mau nyoba buat novel deh,” seru Leon kepada Ravi yang saat itu sedang memerhatikan layar komputer di meja kerjanya. “kenapa kok tiba-tiba? Ntar sekolah kamu gimana? Sebentar lagi kamu ujian, kan?,” balas si mentor penuh pertanyaan. “Jadi gini, tadi pagi aku dapet e-mail dari penerbit xx trus mereka nawarin challenge ke aku buat novel dengan genre thriller. Menurut kakak gimana?” tanyanya dengan wajah senang karena Ia berfikir akan disetujui dan didukung. “Thriller? Yang benar aja kamu, papa kamu kan pernah ngasi warning loh ke kamu mengenai genre seperti itu,” jawab si mentor penuh penolakan.  “Lagian kamu juga kan lagi sibuk-sibuknya mau ujian ini, trus juga kamu masih harus fokusin les renang kamu ntar kamu susah bagi waktunya, jangan dulu deh, Leon” “Engga, Kak. Aku janji deh ntar aku bisa bagi waktu, kakak mau ya mentorin aku buat novel itu? Kakak kan punya pengalaman nulis genre itu juga? Ya?” pinta si pemilik keinginan kepada Ravi sambil mengelus pundak sang mentor berusaha meluluhkan hatinya. “Leon, please ya kakak gak mau ntar terjadi apa-apa antara kamu dan papamu, lagian kakak juga pasti jadi sasaran papa kamu nih gara-gara ngizinin kamu. Jangan dulu deh mending, kamu fokusin dulu kewajiban kamu, masalah itu ga perlu dibahas lagi ya please Leon kakak juga banyak kerjaan ini”   Leon kemudian langsung pulang ke rumah tentunya dengan perasaan sedikit kesal melihat mentornya yang sudah dianggap seperti kakak sendiri itu tidak mendukung keinginan dirinya. Leon beranggapan jika dirinya menulis novel itu dan berhasil menjadi salah satu novel best seller maka papanya tidak akan memarahinya, pikiran itu kemudian yang membawa Leon untuk menulis secara sembunyi-sembunyi. Ditambah juga keinginannya yang sejak lama menggemari genre itu namun karena tidak ada dukungan dan izin dari sang papa, jadilah Ia mengubur cukup lama keinginannya itu. Kali ini Ia berniat untuk memuaskan keinginan dirinya tanpa  memikirkan aturan dari pemegang kekuasaan di rumahnya yaitu sang papa.   Di perjalanan menuju rumah, Leon singgah ke toko alat tulis. Ia mencari sebuah buku yang menurutnya dapat dijadikan tempat menulis ceritanya. Dilihatnya sebuah buku cukup besar seukuran buku akuntansi yang biasa dipakai untuk mencatat keuangan kantor atau perusahan atau bahkan kas kelas. Diambilnya buku itu, dipilihnya yang memiliki cover polos hanya warna.   Leon disambut sang mama di rumah. Kemudian mengajaknya makan siang bersama di meja makan. Seperti biasa, mama Leon yang memasak makanan untuk keluarganya sendiri. Setelah makan siang bersama mama tercinta, Leon pun mengurung diri di kamar berniat untuk mulai menulis. Memulai sesuatu yang tidak pernah Ia lakukan sebelumnya merupakan hal yang cukup sulit. Ia bingung harus mulai dari mana dan bagaimana. Ia memutuskan untuk pergi ke toko buku untuk melihat beberapa buku novel dengan genre yang sama untuk dijadikan referensi. Dipilihnya beberapa novel yang dianggapnya menarik dan cukup membuka fikirannya untuk mulai menulis, Ia akhirnya membeli 2 buah buku yang dari covernya terlihat cukup gelap dan menyeramkan.   Hari sudah menunjukkan meganya, langit juga terlihat berwarna keemasan. Leon masih berada di jalan sambil membawa paper bag berisi buku yang baru saja dibelinya. Jalanan terasa sangat padat dan ramai, wajar saja saat ini merupakan waktu tanda berakhirnya aktivitas. Leon masih setia menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau tanda mengizinkannya melanjutkan perjalanan. Ia gumamkan beberapa lagu yang terlintas di kepalanya untuk menemaninya di jalanan yang cukup padat.   “Loh, Leon. Dari mana kamu, nak? Tadi mama lihat kamu masih di kamar?” tanya mamanya dari teras rumah keluarga Hutama saat melihat sang anak turun dari sepeda motornya dan memarkirkannya di depan rumah. “Leon dari toko alat tulis ma, beli keperluan sekolah,” dalihnya kepada sang mama yang dilihatnya sedang menyantap teh hangat dari gelas berwarna putih dengan tulisan “mama” yang kemudian diangguki sang mama penuh percaya. Mama Leon ialah seorang ibu rumah tangga yang gemar memasak dan mengoleksi beberapa jenis bunga, salah satunya bunga krisan. Bunga dengan nama latin Crhysantemum atau biasa disebut krisan itu memiliki beberapa jenis yang masing-masing jenisnya memiliki makna dan ragam warna. Baru-baru ini, mama Leon suka sekali melihat bunga krisan dan sering membuat teh dari bunga tersebut. Saat ini, mama Leon belum memiliki banyak bunga krisan, Ia hanya mengumpulkan bunga itu dari teman sosialitanya yang kemudian sering Ia seduh menjadi teh hangat.   “Nak, tadi Bryan kesini loh nanyain kamu,” tanya mama Leon kepada anaknya yang mulai duduk di sebelahnya. “Oh iya ma? Aku lupa kalau hari ini ada janji main PS4 sama Bryan,” jawab Leon kemudian disambut tertawa kecil oleh sang mama. “Kamu ini jangan biasain gak nepatin janji loh, kasian itu Bryan udah capek-capek dateng kesini nyari kamu.” “Capek apaan, Ma. Rumah depan-depanan juga kepeleset pasti nyampe tuh anak. Lagian dia pasti ngerti sih kenapa aku lupa main soalnya kan aku udah fokus buat ujian-ujian, Ma.” Kedua anak dan mama itu melanjutkan bercerita di depan teras sembari menikmati mega yang terlukis semakin jelas di langit. Leon merupakan anak tunggal dan begitu dekat dengan sang mama. Ia lebih sering curhat ke mamanya dibanding papanya karena sering menghabiskan waktu bersama.   Hari sudah mulai larut, bulan pun perlahan memunculkan senyumannya di balik awan. Malam itu terasa sedikit lebih sejuk dari malam lainnya. Leon yang merasakan hawa sejuk itupun menjadi malas untuk membuka buku pelajarannya, namun dengan semangat Ia membuka novel yang dibelinya tadi. Diposisikannya diri dengan nyaman di atas tempat tidur, kemudian dibukanya novel itu sambil menghayati isi dan tata cara penulisannya. Malam ini Leon melewatkan makan malamnya dengan alasan belajar. Ia hanya membawa cemilan ke kamarnya karena mamanya tidak mengizinkannya untuk belajar dengan perut kosong. Kenyataannya bahkan buku pelajaran itu tidak sama sekali disentuhnya, Ia memilih memuaskan penasarannya mengenai novel dengan genre thriller.   Sudah beberapa jam Ia membaca novel namun masih belum mendapat pencerahan mengenai apa yang akan ditulisnya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tetapi mata Leon masih terbuka lebar sambil membaca dan memerhatikan novelnya. Tidak biasanya Ia masih terjaga di waktu sedini ini, biasanya Ia sudah tertidur di pukul 23.00 namun tidak hari ini.   Kriiing... Jam beker berusaha keras membangunkan Leon dari tidurnya. Ketukan di pintu pun tidak kalah keras berusaha menyadarkan si pemilik kamar. Leon belum juga terbangun padahal sudah pukul 08.00 pagi. “Leon!! Bangun ini udah jam berapa!!” Jeritan sang mama sudah menghiasi kamar Leon pagi ini. Leon yang terkejut langsung bangkit dari tempat tidurnya sambil melihat jam dinding. Ia bergegas menuju kamar mandi yang ada di kamarnya tanpa memedulikan panggilan dari mamanya yang lebih terkesan seperti menjerit. Salah sendiri begadang di hari sekolah.   “Ma, Leon gak sempat sarapan nih,” serunya terburu-buru sambil memakai sepatu di depan pintu rumahnya. “Aduh kamu sih pake telat bangun, tunggu bentar mama buatin bekal,” saut sang mama sembari bergegas menyiapkan bekal anaknya. “Nih, hati-hati kamu di jalan, jangan ngebut ya, nak.” Sang mama berusaha mengingatkan sang anak yang pagi itu terlihat lusuh seperti zombie. Diberikannya bekal kepada anaknya sembari memberikan tangannya untuk disalam sang anak dan berusaha mencium pipi anaknya. Namun karena terburu-buru akhirnya Leon tidak membalas ciuman mamanya.   Leon sudah berusia 18 tahun namun tidak pernah merasa keberatan bermanja dan dimanja oleh mamanya. Ia bahkan tidak malu kalau harus diantar ke sekolah oleh sang mama. Hal itu dilakukannya karena Leon sangat menyayangi mamanya dan tidak ingin membuat mamanya tersinggung dengan perasaan egoisnya jika Ia harus malu-malu menunjukkan sikap manjanya.   Dari kejauhan Leon melihat sekolahnya, dilihatnya gerbang sudah ditarik oleh penjaga gerbang. Buru-buru Ia menghentikan sepeda motornya persis di depan gerbang bahkan menabrak sedikit gerbangnya untuk menghalangi si penjaga menutup gerbang. “Pak.. pak bentar ya pak saya masuk dulu,” pintanya kepada si bapak penjaga gerbang. “Kamu telat tunggu aja di luar, nanti selesai baris kamu boleh masuk kok,” jawab si penjaga gerbang. “Mundur ini motor kamu bikin gerbangnya gak bisa ditutup.” Penjaga gerbang itu menendang pelan ban sepeda motor milik Leon. “Pak ih saya baru telat sekali pak selama sekolah disini, beneran deh. Izinin saya masuk ya pak, ntar motornya saya parkir di luar dulu deh.” Leon berusaha memaksa si penjaga gerbang. Memang selama bersekolah, Ia tidak pernah terlambat datang ke sekolah. Karena keasikannya tadi malam membaca novel membuatnya mengotori rekor tepat waktunya di sekolah.   Untungnya bapak penjaga sekolah mudah diajak bekerja sama dengan diiming-imingi sebungkus rokok oleh Leon akhirnya si penjaga luluh dan mengizinkan Leon masuk. Leon berjalan pelan menuju barisan siswa-siswi di lapangan sekolah, di sebelahnya ada Prisilia atau yang biasa disapa dengan nama Sisil. Siswi cantik anak seorang penyanyi ternama itu menyapa Leon sambil memasang muka bertanya-tanya. “Leon, kamu telat?” Sisil berbisik ke arah Leon. Leon mengangguk kepada Sisil tanda menjawab tanpa suara. Leon dan Sisil merupakan teman sekelas dan sebangku, keduanya sama populer di sekolah. Kalau Sisil populer sebagai siswi cantik yang berbakat di bidang entertain seperti menyanyi, dance dan modelling, Leon populer karena karya cerpennya yang sudah banyak terbit di majalah terkenal dan juga media sosialnya yang ramai dengan fans. Selain itu, Leon juga terkenal karena kecerdasannya. Ia menjadi juara umum di sekolahnya berturut-turut setiap semester dan Sisil menjadi pemegang juara umum ke dua setelah Leon. Keduanya sering dianggap sebagai couple goals, padahal tidak sedang berpacaran. Tampan dan cantik menjadikan keduanya lebih terkenal lagi bahkan di luar sekolah.   “Bubar barisan! Jalan!” Perintah si ketua osis yang saat itu mengetuai barisan di podium sekolah. Mendengar perintah bubar membuat siswa-siswi dengan cepat meninggalkan lapangan sekolah. “Leon, kamu mau kemana?” tanya Sisil sambil meraih lengan Leon karena dilihatnya Leon berjalan ke arah yang berlawanan dengan kelas mereka. “Bentar, aku mau ambil sepeda motor dulu, tadi diparkir di depan gerbang karna telat,” jawab Leon sambil berjalan menjauh dari Sisil dan kerumunan teman sekelasnya yang berjalan ke arah kelas.   “Pak makasih ya, nih buat beli rokoknya,” seru Leon sambil memberikan uang untuk si bapak penjaga gerbang. Keduanya sebenarnya cukup dekat, tapi saat hendak menutup gerbang tadi, si bapak penjaga gerbang berusaha profesional dengan tidak mengizinkan Leon masuk meskipun akhirnya luluh juga. “Makasih ya, Leon. Sering-sering deh lu telat begini.” Candaan si bapak penjaga gerbang kemudian dibalas senyuman yang pastinya bukan senyuman tulus oleh Leon.   Pagi itu mata pelajaran seni budaya di kelas Leon, namun guru mata pelajaran dikabarkan tidak dapat hadir dan menitipkan tugas berupa catatan materi kepada sekretaris kelas. “Guys, ini pak seni budaya ga dateng trus kita diminta nyatet ini.” Sekretaris kelas mengumumkan hal itu kepada anggota kelasnya. “Ini ntar aku catat di papan tulis trus kalian selesaiin di buku ya, ntar kalo udah selesai dikumpul di meja guru biar diantar ketua kelas ke meja pak seni budaya,” jelasnya panjang lebar yang disambut sahutan meriah dari seisi kelas.   Sudah akan memasuki minggu ujian seperti ini biasanya anak-anak diberikan waktu lebih tenang di sekolah, agar bisa belajar mandiri dengan teman sekelas mengenai materi yang akan diujiankan. Saat itu Sisil dan Leon melakukan hal yang diminta si sekretaris kelas yaitu mereka mencatat di buku sambil sesekali bercerita. “Leon, aku udah baca loh cerpen baru kamu yang kemarin diterbitin,” kata Sisil kepada Leon sambil tangannya tetap rajin menulis di buku pelajaran seni budaya. “Oh, ya? Gimana menurut kamu?” Leon yang juga dengan rajin menulis di buku pelajarannya turut merespon pembicaraan yang dibuka oleh Sisil. “Ssik banget ceritanya, tapi kasian si Haruna itu sad girl dong jadinya difriendzoned sama raka.” “Hahaha kok kamu malah fokus ke Haruna loh, padahal main partnya kan Raka jadian sama Lira.” Leon menanggapi sambil tertawa melihat temannya itu salah fokus pada cerpennya. “Iya sih emang seru baca yang bagian mereka jadian, tapi tetep aja sedih tau pas baca bagian friendzone itu,” protes Sisil sambil memerhatikan Leon dengan raut sedih. “Kamu pernah ada di posisi kayak Haruna ga?” “Eum ... gak pernah sih kayaknya. Aku males mau mulai suka sama orang, jadi yah kayaknya emang aku ga pernah difriendzoned atau pun ngefriendzone orang,” jawab Leon sekenanya. Memang Leon tidak pernah berpacaran. Ia pernah sekali menyukai teman sekelasnya di SMP tapi karena papanya sering mengingatkan untuk tidak berpacaran sebelum lulus kuliah jadi Leon tidak pernah lagi menaruh perasaan pada teman perempuannya. “Apaan kamu gak pernah ngefriendzone orang, gak sadar banget ih jadi orang,” protes Sisil sekali lagi yang membuat Leon bingung dan menghentikan kegiatannya menulis. “Hah maksud kamu? Kan emang aku gak pernah deket-deket sama cewe lagipula semua temen cewe di sekolah juga aku anggap teman biasa. Kok kamu bilang aku ngefri....” “Apaan, udah ah gausa dibahas. Malesin,” potong Sisil saat Leon berusaha menjelaskan rasa kebingungannya.   Sebenarnya sikap Sisil barusan merupakan tanda bahwa Sisil memiliki perasaan lebih dari seorang teman kepada Leon. Baru saja Ia memberikan tanda kepada Leon mengenai isi hatinya dengan memanfaatkan topik dari cerpen ciptaan Leon, namun Leon tidak peka. Sudah dua tahun ini Sisil menyimpan perasaan kepada Leon. Ia bahkan mendekatkan diri ke mama Leon agar dibantu lebih dekat ke Leon, namun sama saja Leon seperti tidak menaruh hati kepada Sisil. Leon terlalu serius menanggapi peringatan dari papanya untuk tidak berpacaran. Untuk anak seusianya pasti kebanyakan melanggar aturan seperti itu yang dibuat oleh orang tuanya. Berbeda dengan Leon, karena terlalu patuh dan takut melanggar aturan papanya jadi Leon terbiasa untuk tidak menaruh hati pada setiap teman perempuannya yang kebanyakan memang menyukainya.   Wajar saja, Leon seorang anak lelaki yang memiliki wajah tampan mirip artis pemeran Jack di film Titanic, dengan rambut hitam yang cukup panjang sebenarnya untuk seorang siswa SMA. Dengan tubuh tinggi proporsional yang dimilikinya tentu mampu memikat siswi-siswi di sekolahnya dengan mudah. Ditambah sikap ramah dari Leon yang sering kali membagikan senyuman manisnya kepada orang yang bertegur sapa dengannya. Setiap siswi di sekolahnya berharap penuh menjadi Rose agar dapat disandingkan dengan si kembaran Jack di dunia nyata itu. Namun, Jack yang ini tidak sama sekali memiliki perasaan lebih kepada teman perempuannya dan bahkan tidak memikirkan untuk memulai hubungan lebih dari berteman.   Sisil si siswi cantik juga berbakat dan terkenal itu bahkan rela memutuskan pacarnya agar lebih fokus menerima friendzone dari Leon. Satu-satunya yang membuat Ia bertahan di situasi itu ialah Leon sendiri, karena prinsip Leon yang dibangun papanya itulah yang meyakinkan Sisil bahwa Leon tidak akan berpacaran dengan perempuan manapun sampai Ia diizinkan nantinya.   Bel pulang sekolah sudah berbunyi, tanda anak-anak diizinkan pulang ke rumah untuk beristirahat atau mengerjakan tugas-tugas sekolah. Leon yang saat itu hendak berjalan menuju lokasi dimana sepeda motor kesayangannya diparkirkan, mendapat pesan di ponselnya. Dilihatnya pesan itu dari notifikasi bar ponselnya, terlihat nama kontak Kak Ravi. “Leon, kamu udah pulang sekolah? Kalau udah, ntar ke cafe di depan kantor kakak ya. Temenin nongki ya udah jenuh banget nih.” Isi pesan itu meminta sedikit waktu dan kesediaan dari Leon. Namun, entah masih menyimpan kesal atau memang tidak ada waktu, Leon menutup ponselnya begitu saja tanpa membalas.   Sesampainya di rumah, Leon langsung mengurung diri di kamar. Mulai menulis di bukunya, Ia sudah mendapat ide menulis dari hasil begadang tadi malam. Ia berniat menyatukan genre horror dan thriller di tulisannya kali ini. Sudah ditemukannya ide menulis dengan sedikit kesan horror namun masih belum ada ide untuk memadukan dengan kesan menegangkan yang bisa menyisakan suasana menakutkan dan menciptakan rasa mual bagi pembacanya.   Tok... tokk... tok... “Nak, kamu ga turun makan malam?” tanya mama Leon dengan lembut. “Mama masak kesukaan kamu loh, udang asam manis, ayo makan bentar ya.” Sang mama meminta si anak untuk bergabung makan malam di meja makan. “Iya, ma sebentar,” sahut Leon singkat. Kemudian Ia pun membereskan bukunya dan menyembunyikannya. Meskipun mama Leon memanjakannya, tapi tetap mamanya memberi privasi ke anaknya makanya mamanya tidak membuka pintu kamar sebelum diizinkan dan dibukakan oleh si pemilik kamar.   Di meja makan terlihat papa Leon sedang bersiap untuk makan ditemani mama Leon yang sedang menyajikan makanan untuk papanya. Keduanya melihat ke arah Leon yang baru saja turun dari tangga dan berjalan ke arah meja makan. Leon tidak terlalu dekat dengan papanya. Bukan karena takut tetapi Ia hanya menyegani papanya dan tidak mau melakukan kesalahan di depan papanya. Hal itu yang menyebabkan keduanya menjadi canggung seiring bertambah usia Leon dan semakin bertambah pula aturan yang ditegaskan papanya.   “Kamu udah mau ujian sekolah ya?” tanya si papa singkat sambil menyantap makanannya yang telah tersaji. “iya, pa,” sahut Leon singkat sambil mengambil makanannya di meja makan. “kata mama kamu mau ikut lomba renang tingkat provinsi?” tanya papanya lagi, semakin terdengar seperti menginterogasi anak sendiri. “iya, pa,” jawab Leon masih singkat. Setelahnya keduanya diam dan fokus menyantap makanan masing-masing. Mama Leon yang menjadi saksi kecanggungan anak dan papa itu pun tersenyum kecil dan mencoba mencairkan suasana. “Papa tau gak kalo cerpen Leon yang baru itu udah rilis loh, itu mama simpan majalahnya di kamar,” seru mama Leon berusaha memamerkan bakat anaknya. “Oh ya, bagus dong.” Papa Leon menanggapi singkat tanpa apresiasi. Sebenarnya papa Leon bangga melihat anaknya, tetapi karena dirinya terlalu kaku dan tidak paham cara mengapresiasi anaknya yang sudah tumbuh semakin dewasa itu.   Sejak kecil Leon dan papanya tidak terlalu dekat, dan seiring waktu hubungan keduanya semakin canggung dan kaku. Papa Leon seorang pengacara yang memiliki firma hukum sendiri. Tentu saja sudah diakui kesuksesannya. Jam terbang yang cukup tinggi menjadikan papa Leon semakin jarang memiliki waktu bersama anaknya, bahkan kebiasaan tegas dan disiplin yang biasa Ia tampilkan saat bekerja terbawa ke rumahnya dan membuatnya semakin tampak kaku di depan si anak. Biasanya keluarga Hutama menghabiskan akhir pekan atau waktu liburan dengan berlibur ke luar kota, tapi sudah dua tahun sejak kesibukan papanya dan juga kesibukan Leon membuat keluarga bahagia itu tidak memiliki banyak waktu untuk berlibur.   “Sini ma, biar aku bantu nyuci piring kotornya,” pinta Leon berusaha membantu mamanya. Biasanya Leon yang membantu mamanya melakukan pekerjaan rumah, namun belakangan semenjak kegiatannya padat di luar rumah jadi Ia jarang membantu mamanya. “Yaudah mama yang beresin meja ya, ntar selesai ini biar mama yang lanjut nyuci biar kamu bisa belajar ya, Nak.” Mama Leon melanjutkan membereskan meja, sementara papa Leon duduk di teras rumah keluarga Hutama sambil menyesap nikotin batangan. Agak tidak adil melihat anak dan mama itu melanjutkan beres-beres setelah makan dan si papa malah asik bermain dengan batangan berasap itu. Sebenarnya kebiasaan keluarga Hutama ialah melakukan pekerjaan rumah bersama-sama jika ada kesempatan, namun kali ini kebiasaan itu sudah jarang dilakukan mengingat kegiatan papa Leon yang sangat padat dan hanya memiliki waktu istirahat di pukul 22.00. Karena hal itu, mama dan Leon membiarkan si papa menikmati waktu bersantainya.   Sudah pukul 23.00 dan malam ini sepertinya Leon masih akan tetap begadang melanjutkan menulisnya yang sempat tertunda. Diambilnya novel yang memiliki cover gelap dan memberi kesan menakutkan itu dan mulai dibacanya lagi, sambil sesekali Ia menuliskan ide yang muncul di kepalanya ke buku tempat Ia menulis cerita. Sama seperti malam kemarin, Ia begadang dan tertidur bersama dengan buku-buku menyeramkan itu.   Paginya Ia telat bangun lagi. Kali ini suara mama Leon lebih menggelegar lagi menghiasi rumah keluarga Hutama. Mama Leon sedikit keheranan melihat anaknya yang sudah telat bangun dua hari ini. Ia beranggapan kalau anaknya itu belajar hingga larut dan berakhir dengan kesiangan. Leon yang dibangunkan oleh ketukan pintu kamarnya dan teriakan mamanya itu malas-malasan berdiri dan bersiap untuk sekolah. Ditambah lagi hari ini sudah memasuki hari terakhir bersekolah dan bersiap menyambut akhir pekan, kemalasannya meningkat pesat. Ia berjalan pelan menuju kamar mandinya dan berbicara pelan menyahuti mamanya, padahal Ia sudah terlambat tapi tetap Ia melakukan semuanya dengan perlahan. 

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Marriage Aggreement

read
87.0K
bc

Scandal Para Ipar

read
707.9K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
639.9K
bc

Troublemaker Secret Agent

read
59.0K
bc

Patah Hati Terindah

read
82.9K
bc

JANUARI

read
48.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook