“Ca, udah baikan?”
Diana mengusap kening Disha yang masih terasa panas walau sudah dikompres berkali-kali. Disha jarang sakit jika bukan karena hal-hal tertentu, makanya mendadak sakit begini membuat Diana cemas. Dia khawatir bahwa sakitnya ini adalah gejala untuk sakit yang cukup serius. Ahh, jangan sampai.
Disha terbangun setelah tertidur beberapa jam, lalu meletakkan tangannya di antara mata dan kening sebelum mengeluh, “Badan Ica masih lemes, Bun.”
“Ica harus sehat, dong, ‘kan nanti mau masuk sekolah.”
“Hah? Sekolah?” Disha duduk tegak dari tidurnya yang setengah berbaring ditumpu bantal, wajahnya terlihat ceria meski masih terlihat lesu dan tak bertenaga. Senyum terbit di antara bibir pucatnya.
Wanita itu mengangguk kecil, sedikit terharu dengan semangat anaknya yang ingin menimba ilmu sejak lama. “Ica mau? Tapi kalau Ica gak sembuh-sembuh, gak jadi deh sekolahnya.”
“Mau, Bun, Ica mau sekolah!” Anak kecil itu tiba-tiba berdiri dan mengangkat tangannya, membuat Diana langsung sigap kalau-kalau Disha masih pusing dan jatuh terhuyung. “Tuhh, Ica udah sehat, Bun.”
Diana terkekeh kecil, lalu meminta Disha kembali duduk. “Nanti Bunda jahitin baju buat Ica biar pas. Buku sama perlengkapan yang lain nanti kita beli bareng-bareng di pasar, mau?”
“Mau, Bun. Yeee sekolah! Sekolah!”
Diana tak henti-hentinya tertawa menyaksikan bagaimana gembira anaknya yang beranjak semakin besar itu. Disha melompat-lompat kecil di ranjang dengan posisi masih duduk. Begitu mudah seseorang yang masih polos itu merasa bahagia.
Deringan telepon berbunyi nyaring dari ruang tamu, tak kunjung berhenti meski Diana berlagak tak mendengarnya dan fokus pada Disha. Masalahnya, tak banyak orang yang tahu nomor teleponnya. Kemungkinan terburuknya seseorang yang tidak ingin didengarnya. Namun, deringan itu tetap tak berhenti dan Disha sendiri yang menyuruhnya mengangkat telepon.
Begitu melihat penelepon yang tertera di layar, Diana merasa tubuhnya panas dingin. Tidak, itu bukan Dimas, tapi berhubungan dengan mereka. Reaksi yang ditimbulkan tubuhnya selalu seperti ini, bahkan jika hanya mengingatnya.
Penelepon itu ... Inah. Karena memang hanya dia yang tahu nomor teleponnya untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu yang penting dan menyangkutnya.
“Halo, Nah?”
[“Halo, Nya.”]
“Panggil Diana aja. Saya ‘kan udah bukan Nyonya kamu lagi.” Diana tidak pernah suka bagaimana orang-orang selalu mengingatkannya pada masa lalu meskipun tanpa disengaja. “Ada apa nelepon?”
[“A-anu ....” ] Inah terdengar ragu untuk mengatakannya.
“Kenapa, Nah? Kamu mau curhat lagi kalau Aiva sering mabuk-mabukan?” Asisten rumah tangganya itu kerap kali mengeluhkan perangai nyonya barunya yang mengganggu. Diana jelas hafal perilaku buruk Aiva yang belakangan diketahuinya sebelum menikah dengan Dimas. “Ada apa? Saya gak bisa lama-lama nerima telepon, Ica lagi sakit.”
[“Non Disha juga sakit, Nya ... Bu?”] kata Inah. [“Itu, Nya, tuan sakit.”]
Deg. Diana merasakan satu detakan keras yang membuat tubuhnya menegang. Jadi ... Dimas benar-benar sakit sesuai dugaannya? Jadi Dimas dan Disha benar-benar sakit di waktu yang sama?
Diana tergagap, “Te-terus, kenapa kamu nelepon saya? Bilangin istrinya dong.”
“Nyonya gak peduli sama tuan. Tadi aja pergi gak tahu ke mana.”
“Mereka emang punya ikatan batin,” gumam Diana perihal Dimas dan anaknya. Satu lagi persamaan yang membuatnya semakin merasa miris bahwa Disha harus terpisah dari ayah biologisnya.
“Ya udah. Kompres aja pakai air hangat, terus kasih teh. Suruh istirahat. Nanti kalau bangun, kasih sup. Kalau belum turun panasnya, kasih obat.”
“Baik, Nya. Makasih banyak.”
Diana memijat pelipisnya, merasa pusing dan kembali dilanda perasaan sendu. Semua kenangan ini ... masih saja menyiksanya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi Aiva sudah siap dan memberikan Dimas obat yang mengandung dosis obat tidur yang tinggi. Aiva malas meladeni sikap rewel Dimas yang protes dia pergi tanpa pamit atau tanpa mengajaknya. Bagusnya, pria itu mungkin butuh istirahat dan Inah akan menganggapnya wajar.
Sambil mengapit teleponnya antara bahu dan rahang, Aiva bolak-balik dan memastikan semua hal yang diperlukannya sudah berada di dalam tas. “Halo? Barang-barangnya udah lo siapin?”
[“Udah, tapi kemarin gue nyari kembang warna kuning kosong. Sekarang aja sekalian deh, lo juga ‘kan harus ambil rambut Dimas.”]
Aiva melirik Dimas yang tertidur lelap. Kemudian mengobrak-abrik lacinya untuk mencari sesuatu. Ternyata sebuah plastik kecil berperekat dan sebuah gunting. Dia menimbang-nimbang untuk mengambil serta gunting kuku. “Rambut aja? Biasanya ‘kan sama kuku.”
[“Gak usah. Lagian dia ‘kan lagi sakit, menurut gue gampang kepengaruhin.”]
“Ya udah, bentar lagi gue berangkat. Lo tunggu di tempat biasa nanti gue jemput.”
Aiva mematikan sambungan teleponnya, meletakkannya ke dalam tas. Dia mengingat-ingat bulan apa sekarang ... bulan 5. Menurut si Mbah, jika helaian rambut disesuaikan dengan bulan maka khasiatnya akan lebih ampuh.
Diguntingnya perlahan helai rambut Dimas sepanjang tiga centi, lalu dimasukkan ke dalam plastik. Sisa rambut yang terjatuh ke kerah dan bantal Aiva bersihkan pakai kuas make-up untuk menyembunyikan kedoknya atau pertanyaan konyol Dimas nanti.
“Kayaknya segini udah cukup,” gumamnya. “Nah! Inah!” Aiva berteriak memanggil Inah dengan intonasi tinggi, santai saja karena obat tidur sudah bekerja, Dimas tidak mungkin bangun.
Tak lama kemudian, Inah datang dan agak ragu memasuki kamar karena sudah dilarang memasuki kamar majikannya sejak Aiva masuk ke rumah ini. “Iya, Nya?”
“Gue mau pergi. Lo jagain Dimas.”
Aiva melenggang pergi, sementara Inah menggerutu pelan, “Biasanya juga gak dijagain.”
Selama diberi izin memasuki kamar sang majikan, Inah mengedarkan pandangannya dengan tatapan menelisik. Rasa penasarannya tak terbendung perihal alasan dia tak boleh asal masuk ke sini. Tak lama, dia menutup hidungnya. “Bau apa ini?” gumamnya mencari sumber bau. Semacam bau parfum campur kemenyan ... aneh banget. “Kayaknya baunya gak asing ....”
Sebenarnya, apa yang disembunyikan Aiva di kamarnya ini?
Sementara itu, mobil yang diberi Dimas untuk Aiva bergerak meninggalkan parkiran rumah Dimas dan dikendarai menuju timur. Tatapan matanya mengawasi trotoar di belakang, takut-takut ada yang mengikuti. Suruhan seseorang yang mencurigai misalnya.
Di tengah perjalanan, Aiva menghentikan mobilnya di depan sebuah gang kecil. Tak lama, muncul seseorang berpakaian serba hitam menenteng kantong kresek dan masuk ke mobil Aiva.
“Mana barang gue?” tanya wanita itu begitu si pria membuka topinya. Sebut saja pria itu Pi.
“Nih.”Pi menyerahkan kantong kresek, lalu mengeluarkan bungkusan rokok beserta pemantiknya. “Lo mau?”
“Gak, Dimas berisik kalau cium bau rokok,” tolak Aiva selagi dia memeriksa barang bawaan Pi. “Tinggal kurang bunga kuning, ‘kan?”
“Yo’i. Di deket Mbah Surya seingat gue ada deh yang jual bunga tujuh warna gitu.”
Aiva menelisik gang di belakang Pi sambil mendelik. “Gak ada yang ngikutin lo, ‘kan?”
Pi terkekeh. “Apaan sih? Lo kira kita ini buronan apa sampe ada yang ngikutin segala?”
Aiva tak merasa ucapan Pi lucu, tapi dia bungkam. Entah kenapa belakangan ini dia merasa dibuntuti dan tak aman setiap kali hendak berkunjung ke Mbah Surya. Seolah ada yang mengekorinya. Tidak mungkin, ‘kan kalau itu Diana?
“Cuma antisipasi aja,” gumamnya.
Tempat Mbah Surya terletak di perbatasan Ibukota dengan kota sebelah, Bekasi. Jaraknya sekitar satu jam dari batas kota dan menempuh jalan minim penduduk, letaknya agak menjorok ke hutan. Jika diperhatikan, mayoritas penduduk di pedalaman ini memang masih menganut paham kuno yang sarat akan ilmu leluhur.
Sebelum benar-benar sampai di tempat yang dituju, Aiva menghentikan mobilnya di sebuah lapak dekat TPU di mana menjual air untuk ziarah kubur dan kembang tujuh rupa. Bukan hal baru, tapi Aiva lebih memilih membelinya di Jakarta karena Mbah Surya juga menyarankan agar bunga itu bersamanya paling tidak selama beberapa jam untuk menguatkan efek pada target.
Aiva menyodorkan sejumlah uang pada Pi yang ditanggapi pria itu dengan helaan napas kesal. "Gue lagi, gue lagi," keluhnya tetap turun, sedangkan Aiva mengamati dari dalam mobil.
Bicara soal pelaku ilmu hitam, di Jakarta juga banyak. Ada yang secara terang-terangan malah. Namun, selain karena rekomendasi, Aiva perlu menenangkan diri sejenak dari hiruk pikuk kota Jakarta. Berada di kawasan minim penduduk begini sekalipun niatnya jelek, dia tetap merasa seolah bebannya menguap sementara.
Pi kembali dengan seikat bunga warna kuning dan beberapa dupa.
"Kenapa lu beli dupa? Emang Mbah Surya ada nyuruh gitu?"
Yang ditanya menggeleng. "Enggak. Sebenernya gue gak beli, dupa ini juga gak dijual. Cuma pas yang jual tau kita bakal ke Mbah Surya, dia ngasih ini," jawab Pi sama herannya dengan Aiva. Mereka tak pernah disuruh membawa dupa, paling semacam kemenyan untuk dicampur parfum Aiva guna lebih mengikat Dimas. Selebihnya, mereka main aman lewat sesajen, doa yang sering disenandungkan Aiva dan sebuah parfum untuk mengikat Dimas ketika jauh darinya.
Jarak dari penjual tadi ke tujuan utama sekitar beberapa menit dan menempuh jalan yang lebih dalam ke hutan. Jangan salah, meskipun letaknya sulit digapai, nyatanya kesanteran Mbah Surya sudah merambah ke kota-kota tetangga. Hanya mereka yang punya janji yang akan dilayani.
Tiba di rumah semi permanen yang merangkap tempat praktik Mbah Surya, sudah disambut seorang pria desa yang sibuk menghitung lembaran uang duduk berjaga di posnya—di depan pintu. Istilahnya resepsionis.
Pria itu, Ican, langsung tersenyum lebar ketika mobil Aiva memutar dan parkir di sana. “Pelanggan setia dateng.”
Aiva mendelik begitu keluar dari mobil. “Berisik lu.” Diikuti Pi, Aiva sempat mengambil amplop tebal dari kursi belakang beserta keresek yang tadi dibeli Pi. Dia melempar amplop itu, langsung ditangkap Ican. “Nih, dua kali lipat. Pastiin Dimas jangan sampai kayak kemarin lagi.”
Merasakan bagaimana tebalnya amplop itu saja Ican langsung berseri-seri. Bayaran yang disiapkan Aiva memang tidak pernah main-main. “Siap, gih masuk. Si Mbah udah nungguin lo.”
“Can, lo ngerokok?”
Sontak Aiva menoleh saat Pi tidak ikut masuk ke dalam, malah duduk di samping Ican dan menawarinya rokok. “Lo gak nemenin gue lagi?”
“Ya elah, yang punya urusan ‘kan lu,” ujar Pi sambil menghembuskan napas berasapnya.
“Tapi ini semua ide lu. Lu juga ‘kan dapet bagusnya. Yang ada malah gue yang rugi, tapi gue yang keluar duit,” balas Aiva bersungut-sungut. Tapi ya mau gimana, Pi malah semakin asyik merokok dan mengabaikannya.
Alhasil, dia masuk sendirian. Ruangan itu seperti biasa bau kemenyan dan hal-hal lain yang akrab di indera penciumannya. Ruangan yang banyak dipasangi kain hitam mencegah cahaya dari luar masuk dan menambah kesan 'hitam' pada siapa pun yang berkunjung.
Di dalam sana, pria tua dengan pakaian kuno berupa baju pangsi beserta blangkon sudah duduk di depan meja sesajen. Aiva menyapa kikuk, “Halo, Mbah.”
Mbah Surya sudah biasa dikenal tidak banyak bicara, hanya ketika ritual dalam jasanya saja. Sekalipun pada Aiva yang menjadi langganannya bertahun-tahun, sikapnya tidak mengistimewakan wanita itu.
“Semua barangnya siap?” tanya Mbah Surya begitu Aiva duduk di depannya.
“Sudah, Mbah.”
Satu per satu bawaan dikeluarkan Mbah Surya dari keresek. Dia menatanya di meja sesajen dan melengkapinya dengan foto Dimas yang selama bertahun-tahun ini dipakai. "Mari kita mulai."
***
Sudah empat hari, tapi kondisi Dimas belum pulih benar. Pria itu masih terlihat lemas dan pucat, bahkan dokter bolak-balik memeriksa karena dia tak kunjung membaik. Belum lagi tekanan dari sambungan telepon petinggi PH yang terus berdering di telepon rumah karena ponsel Dimas tidak dinyalakan.
Siapa yang repot? Tentu saja hanya Inah. Aiva hanya sesekali merawatnya ketika Dimas sudah mengigau nama mantan istrinya. Selalu seperti itu.
Di tengah-tengah kerja rumah dan memastikan keadaan majikannya baik-baik saja, Inah dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang masuk tanpa menekan bel. Begitu tahu siapa gerangan sang tamu, Inah refleks membungkuk.
“Eh, Tuan,” sapa Inah.
Rupanya Adam yang datang. Masih dengan pakaian kantornya, dia mengunjungi kediaman sang putra dihiasi wajah masam. Kepalanya menoleh ke sana-sini sambil berkacak pinggang. “Di mana Dimas? Dia gak masuk berhari-hari. Dasar tidak bertanggung jawab,” gerutunya kesal.
“Den Dimas sakit, Tuan. Sudah empat hari panasnya gak turun-turun.”
Adam mengernyit. Dimas sakit? Dimas bukan tipe orang yang mudah sakit, dan jika diingat-ingat belakang ini sering sekali drop. Adam sejak lama merasa janggal dengan hal itu. “Sudah dibawa ke dokter?”
Inah gelagapan. Apa yang akan terjadi kalau dia bilang nyonya rumah melarang Dimas ke mana-mana? Ah, tidak. “Euh, anu, den Dimasnya gak mau.” Tidak ada pilihan lain atau keadaan jadi runyam.
Pria berkepala enam itu memijat lelah pelipisnya, lalu kembali bertanya, “Mana Aiva?”
“Non Aiva pergi dari pagi.”
“Pergi? Di saat suaminya sakit? Benar-benar ....” Adam menggeleng sambil terkekeh tak percaya. Belang menantunya semakin terlihat membuatnya menyesali sudah merestui pernikahan mereka dan mendepak Diana dari rumah.
Panjang umur, wanita itu datang di saat mereka sedang membicarakannya. Aiva berjalan memasuki rumah tanpa menyadari bahwa mertuanya berada di sana dengan raut wajah marah. Adam langsung menghardiknya, “Aiva, dari mana kamu? Dimas sakit. Bukannya merawat kamu malah kelayapan.”
Aiva menoleh, tapi bukannya merasa malu atau tak enak karena sang mertua tahu belangnya, wanita itu malah menampilkan raut wajah lelah dan terang-terangan tidak menerima kehadiran Adam. “Duhh, Pah, aku capek. Lagian sekali sakit gak papalah. Gara-gara Papa juga ‘kan ngadu ke PH jadi Dimas kerja mati-matian?”
“Kamu pikir semuanya terjadi tanpa alasan? Kamu, semuanya gara-gara kamu. Kalau kamu gak datang ke tempat kerja Dimas dan mengacau, kerjaannya gak akan begini.”
“Ck. Jadi Papa ke sini cuma buat nyalahin aku? Mending Papa pulang aja deh, berisik tau gak.” Aiva berbalik pergi dan melanjutkan perjalanannya menaiki tangga.
Adam mendengus, “Ternyata aku salah menyetujui Dimas menikahi kamu.”
Sontak mendengar itu Aiva berhenti. Dia melayangkan tatapan tak terima dan tersinggung. “Apa Papa bilang?”
“Telinga kamu masih berfungsi, tidak ada yang perlu diulang,” balas Adam.
“Jadi maksud Papa aku istri yang buruk, begitu?”
“Jadi kamu sadar?”
Aiva terkekeh, lalu bersedekap d**a dan memandang Adam seolah ngajak ribut. “Terus kalau bukan aku, siapa yang cocok jadi istri Dimas? Diana?”
Adam mengangguk samar. “Sayangnya ya. Dia seorang istri yang jauh lebih baik dari kamu.”
“Oh, gitu? Jadi Papa nyesel dulu udah benci Diana dan lebih mendukung aku?”
“Jika bukan Dimas yang milih kamu, aku tidak akan mengusik rumah tangga putraku dengan Diana.”
“Percuma, Pa. Dimas, dia udah jadi milik aku sekarang.” Wanita itu terkekeh percaya diri.
“Saat Dimas sudah muak, kamu akan ditendang langsung dari keluarga ini.”
“Tapi Mama suka sama aku, Pa. Aku masih punya sekutu.” Ah ya, jika bukan karena bantuan mama mertuanya untuk menyingkirkan Diana, tentu Aiva tidak akan sampai di titik ini. “Oh, dan selama tiga tahun, buktinya Dimas gak pernah tuh muak sama aku.”
Adam menggeram. Rupanya menantunya ini jelmaan medusa dan wanita licik yang entah bagaimana caranya mampu memperdaya Dimas. “Sialan kamu, Aiva.”
“Pa!” Seseorang—Dimas—menghardik Adam dari lantai atas. Dia dipapah Inah menuruni tangga seraya memprotes, “Papa apaan sih ngomongnya kayak gitu ke istri Dimas?”
“Dia sendiri gak menganggap kamu suaminya,” ujar Adam muak. Dimas benar-benar sudah dibutakan wanita itu.
Meski terlanjur mendapatkan respons tak enak, Aiva langsung mengambil alih Dimas dan menggandengnya, menyentuh dahinya dan bertingkah perhatian. “Kamu udah baikan?”
Adam sudah tak menyenanginya, maka setidaknya Aiva harus membuktikan bahwa Dimas masih menginginkannya walau tanpa bertingkah pun Dimas pasti masih bertekuk lutut. Entahlah, Aiva merasa gelisah belakangan ini.
Dimas tersenyum lebar ketika Aiva memperhatikannya, lalu beralih pada Adam. “Tuh, Papa liat, ‘kan? Aiva istri yang baik buat Dimas.”
Hanya karena ada Dimas, Adam mengulas senyum tipis dan bergumam, “Dasar penjilat.”
Aiva menuntun Dimas yang ingin duduk dan berbincang dengan Papanya di ruang tamu. “Ada apa Papa ke sini?”
“Kamu harus sudah sehat Senin nanti. Kamu udah sering bolos, dan Senin nanti batas jatah bolos kamu. Kalau kamu masih mau pegang proyek itu, kamu harus masuk Senin nanti.”
“Iya, Pa. Ini Dimas udah baikan kok, ‘kan dirawat Aiva.” Tatapan penuh cinta Dimas seolah memuji Aiva yang ‘katanya’ merawatnya, padahal siapa pun tahu wanita itu tidak pernah repot bahkan untuk menyeka keringatnya.
Aiva sendiri berkata dalam hati, ‘Dih, kapan coba gue ngerawat dia?’
“Iya, sayang. Kamu makanya cepet sembuh.” Aiva menyeka keringat di dahi Dimas dan memaksakan tersenyum.
Dimas mengangguk sambil tersenyum lebar, terlihat bahagia hanya dengan mendapat perlakuan sederhana wanita itu.
Sementara itu saksi dari ke-uwu-an pasutri itu mendengus tak suka. Adam berdiri, senantiasa mendelik tak habis pikir pada putranya. Dia harus segera mencari tahu apa yang terjadi. “Ya sudah, Papa pergi dulu.”