Diana berlari dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat seiring kakinya berlari ke arah gedung tempat suaminya dikabarkan berada. Hatinya mencelus kecewa begitu tiba di tempat yang ditunjukkan lewat GPS. Hotel.
Wanita itu mencoba berpikir optimis bahwa mungkin Dimas hanya lelah dan malas pulang mengingat mereka sedang bertengkar. Akan tetapi, tetap saja ada begitu banyak pertanyaan bercokol di kepalanya.
Jarak pulang ke rumah gak jauh, kenapa Dimas ke hotel? Bukannya mereka sepakat untuk hemat, kenapa Dimas membuang uang banyak hanya untuk check-in? Apa ... apa benar yang dikatakan semua orang bahwa dia ... bersama wanita lain?
Diana bergegas menghampiri meja resepsionis. Wajahnya tampak panik. “Mbak, apa ada orang yang check-in atas nama Radimas Aditya?”
Resepsionis itu tidak langsung menjawab, malah balik bertanya, “Maaf, jika boleh tau, Mbak siapa ya? Tidak sembarang orang bisa kami beri tau, takutnya ada sesuatu yang tidak diinginkan.”
“Saya istrinya.” Diana menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya.
Jelas cincin saja tidak cukup kuat untuk meyakinkan orang bahwa dia istrinya seorang Dimas yang cukup terkenal di beberapa kalangan. Cincin seperti itu bisa ditemukan di banyak toko perhiasan.
“Sumpah, Mbak, saya istrinya,” ujar Diana gusar. Inginnya langsung masuk lift dan terobos kamar tempat Dimas ‘entah melakukan apa’ itu, tapi ya percuma kalau dia tidak tau pasti di unit mana suaminya berada. Yang ada hanya bikin ribut.
Mbak resepsionisnya saling berpandangan sama temannya sesama resepsionis. Well, memang tidak mudah meyakinkan orang-orang. Apalagi meski cantik, pakaian Diana yang tidak mewah itu cukup menjadi pertanyaan benar tidaknya bahwa dia istri sutradara terkenal Radimas Aditya.
“Mbak sudah buat janji?” tanya si resepsionis. “Jika belum, saya harus minta izin Pak Dimasnya dulu.” Dia mengangkat gagang telepon dan mendekatkan ke telinganya, tapi urung begitu mendengar ujaran wanita yang dilayaninya.
Diana mengerang pelan. “Saya ke sini buat mastiin sesuatu, Mbak. Suami saya gak bakal jujur kalau saya bilang saya mau nyamperin dia.”
“Tunggu?” Diana terhenyak. “Jadi bener dia di sini? Dia check-in di hotel ini?”
Mbak resepsionisnya mengangguk pelan. “Betul. Beliau pesan kamar untuk dua orang, tapi tadi ada wanita yang menanyakan kamar atas nama Pak Dimas,” terang resepsionis tersebut.
Kakinya terasa lemas sampai-sampai nyaris ambruk jika tak berpegangan pada meja resepsionis. Pupus sudah harapannya bahwa Dimas tidak akan mendua. Pikiran positif apalagi yang bisa Diana manfaatkan untuk menutupi kehancuran hatinya? Tidak mungkin ada hal yang melibatkan pekerjaan di KAMAR HOTEL.
Hati seorang istri mana yang tidak akan hancur jika dihadapkan pada posisi Diana?
Temannya mbak resepsionis berbisik ke si mbak yang tadi bicara dengan Diana sambil meliriknya. Diana sendiri terlihat terguncang, mengabaikan tatapan orang-orang di sampingnya yang sedang check-in kamar hotel.
“Kamarnya nomor dua kosong empat, Mbak.”
Secepat kilat Diana langsung masuk ke lift yang hampir tertutup, menekan semua angka di lift karena dia lupa bertanya ada di lantai berapa. Dia takut menangkap basah Dimas sedang berbuat hal tak senonoh, tapi lebih menyakitkan jika dia terus berpura-pura tidak tahu. Aroma parfum, bill-bill yang menunjukkan Dimas mengeluarkan banyak uang, apa lagi yang bisa diharapkan Diana bahwa rumah tangganya tidak berada dalam ambang perceraian?
Lantai satu, Diana turun. Dia tetap menyusuri satu per satu meski semua nomor kamar di lantai itu hanya dua digit.
Lantai dua, masih sama. Tidak ada nomor kamar yang dimaksud.
Diana coba peruntungan langsung ke lantai enam. Berhasil, nomornya berada di akhir satu sembilan. Jantungnya kembali berdetak kencang begitu kamar Dimas ketemu. Tangannya mendadak malas saat diangkat ke udara, agak gugup untuk mengetuk.
‘Kalau benar Dimas di dalam sana lagi apa pun itu, aku nyerah.’
Tok tok!
Belum saja kewarasan Diana kembali, balasan seseorang dari dalam kembali mengacaukan akal sehatnya. “Siapa?” Diana mengais sisa-sisa optimisnya bahwa mungkin dia adalah asisten Dimas yang kebetulan menumpang bersama Dimas padahal Dimas tidak sengaja pesan kamar berkapasitas dua orang.
Semoga.
Balasan wanita dari dalam ruangan tempat Dimas memesan kamar itu berhenti pada kalimat tanya, tidak ada tanda-tanda hendak keluar. Diana kembali mengetuknya dengan hati yang susah payah dia rangkai.
“Ck. Siapa sih?”
Diana sudah menyiapkan mentalnya menghadapi siapa pun dia yang ada di dalam. Entah itu asisten Dimas atau siapa pun wanitanya, jika dia punya alasan, dia akan mencoba mendengarkannya. Akan lebih bagus kalau Dimas yang menjelaskan semuanya, bahwa ini hanyalah salah paham.
“Mau ap—”
Mata Diana membelalak terkesiap, sementara wanita yang membuka pintu kamar itu hanya dilanda keterkejutan sesaat. Sungguh, siapa pun itu wanita yang terciduk bersama suaminya Diana sudah bertekad untuk melawannya. Namun ... kenyataan siapa yang bermain di belakangnya jauh lebih menyakitkan untuk diterima.
Tubuh Diana nyaris terhuyung ke belakang, untungnya dia bisa menahannya untuk mendapatkan penjelasan dari kedua orang yang berarti bagi hidupnya itu. “A-Aiva?”
Wanita yang disebut Aiva itu sama sekali tidak menunjukkan rasa malu karena hanya ditutupi handuk atau rasa bersalah karena kedapatan berselingkuh dengan suami sahabatnya—ups! Mantan sahabatnya. Aiva malah menyeringai dan bersandar ke pintu dengan tampang puas. “Jadi lo udah tau tentang suami lo?”
Tatapan tajam Diana goyah, dileburkan dengan lelehan air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Wanita itu tidak lagi merasakan amarah yang tadi meronta-ronta, hatinya hancur lebur sampai tidak bisa merasakan lagi emosi saat ini. Suami dan sahabatnya ... sungguh kombinasi gila yang sukses membuatnya hilang rasa dalam sekejap.
“K-kamu ... kenapa kamu di sini, Ay?” Dengan suara bergetar Diana bertanya. Lututnya sudah lemas sampai dia berpegangan pada dinding.
Bukannya menjawab, Aiva malah memandangi kuku jarinya dan balas bertanya, “Menurut lo?”
“Di mana Dimas?” Diana melihat ke dalam kamar melalui celah yang tak tertutupi tubuh Aiva. “Dia gak ada di sini, ‘kan?”
“Sayang!”
Hanya satu kata, tapi mampu membuat sekujur tubuh Diana bak tersengat listrik. Itu ... suara Dimas. Apa katanya tadi? Sayang? Pada ... Aiva?
Sejurus kemudian Dimas muncul di belakang tubuh Aiva sambil memeluk wanita itu mesra, tanpa melihat ke arah Diana yang notabene istri sahnya. “Sayang, kenapa ninggalin aku, sih?” Mendengar nadanya yang merajuk, Diana merasa sesak.
Barulah setelah beberapa detik di sana, Dimas sadar keberadaan Diana. Sama seperti Aiva, Dimas bukannya merasa tak enak karena terciduk menyeleweng oleh istrinya sendiri justru malah marah. “Ngapain lo di sini, hah?!”
“Kenapa kamu yang marah? Harusnya aku yang marah, Dimas!” balas Diana tak kalah membentak. Tak lagi peduli penghuni lain di lantai itu atau beberapa pasang mata yang menyaksikan langsung perkelahiannya.
Dimas berdecak, lalu setelah mengecup singkat pipi Aiva dia menghampiri Diana. Di luar dugaan, pria itu justru mencengkeram rahang Diana dan menekannya ke dinding. Sorot matanya tajam dan berbeda, tak pernah Diana lihat Dimas memancarkan sorot mata seperti itu. “Lo ganggu gue sama Aiva tau gak? Pergi!” Diana dihempaskan ke samping, sontak tubuhnya terjatuh.
Selepas Dimas kembali ke sisinya, Aiva menyeringai dan terkekeh menertawakan nasib Diana yang dicampakkan suaminya sendiri. “Denger, ‘kan? Suami lo aja nyuruh lo pulang. Jadi, hush, hush,” usirnya didukung gerakan tangan.
Sekuat tenaga Diana meyakinkan diri bahwa dia masih memiliki kekuatan dan harga diri untuk dipertahankan. Dia bangkit meski keadaannya sudah tak karuan. Wajah penuh peluh dan air mata, belum lagi rambutnya yang agak acak-acakan.
Jika ada orang yang pantas melihatnya menangis, itu bukan orang-orang yang sudah mengkhianatinya. “Jadi bener kamu selingkuh sama Aiva, Mas?” tanya Diana sekali lagi. “Jawab!”
“Iya!”
“Kenapa?!”
“Ya karena gue bosen sama lo. Lo miskin, katro, gak bisa nyenengin gua. Aiva jauh lebih baik daripada lo tau gak? Gue nyesel dulu nikahin lo.”
Diana tersentak ketika jarinya tanpa sadar tertusuk jarum mesin jahit. Titik kecil itu mengeluarkan darah, tapi dia masih bersyukur kejutan rasa sakit itu menyelamatkannya dari kembali berkubang dalam pasir hisap masa lalu. Ah, sampai kapan dia harus teringat lagi dan lagi insiden menyakitkan itu?
“Bun, kepala Ica kok pusing, ya?”
Diana langsung menghentikan kegiatannya menjahit pakaian begitu mendengar keluhan Disha. Bocah itu terkulai lemas di kursi tua ruang tamu yang hanya bersekat dinding tipis dengan tempat mesin jahit diletakkan. Tangannya memijit-mijit pelipis.
“Ica gak enak badan?” tanya Diana mengambil tempat di samping Disha. “Anget,” komentarnya terhadap suhu tubuh putrinya yang lebih hangat dari biasanya.
Disha kembali mengeluh, “Pusing, Bunda.” Dia memeluk Diana dan mengulang keluhannya berkali-kali seolah setiap keluhan bisa meringankan sakit kepalanya, juga bergerak gelisah. Seluruh tubuhnya lebih hangat, bisa dirasakan Diana dengan berdekatan begini.
“Bunda bilang jangan suka main sore-sore. Banyak angin, Ca.”
Diana membiarkan Disha beristirahat, sampai putrinya itu tertidur sambil terus bergumam.
“Biasanya kalau kamu sakit, Dimas juga ....” Wanita itu menggigit bibir, nyaris saja kembali membuka luka lama. Tanpa sadar tangannya mengepal di belakang tubuh Disha.
Dulu, Dimas dan Disha memang sering sakit di waktu yang sama. Bahkan jika penyebabnya berbeda, anak dan Ayah itu entah kenapa bisa sakit secara bersamaan. Mungkin itu yang dikata orang ikatan batin. Otomatis Diana harus merawat Disha yang waktu itu masih bayi, juga merawat Dimas yang kadang tetap bekerja sekenanya dari rumah.
Ketika dijalani menyebalkan memang, tapi begitu diingat seperti ini, yang dirasakan hanya rasa rindu dan memancing kesedihan.
Sadar, Diana! Dimas sudah tidak lagi jadi milik kamu. Dia suami Aiva sekarang, batin Diana mengingatkan diri sendiri.
“Kenapa aku selalu keinget kamu terus, sih, Mas?” gumam Diana dengan tatapan kosong.
***
“Sayang, aku kayaknya gak enak badan deh,” Dimas mengeluh pada Aiva tentang kesehatannya yang dirasa agak menurun. Dia menumpukan dagunya pada bahu Aiva dan bermanja pada istrinya.
Aiva tidak fokus pada Dimas, sibuk melihat-lihat majalah fashion. “Lagian udah tau harus kerja malah mabuk-mabukan. Lagi dipantau juga. Minta obat sama Inah gih, aku mana tahu hal begituan,” balasnya tak mengalihkan pandangan. Wanita itu juga tak merisaukan suhu tubuh Dimas yang terasa panas.
Dimas melenguh sambil menutup mata, mengistirahatkan sebentar tubuhnya yang dipaksakan mengejar take adegan untuk menutupi keterlambatan syuting mereka. Dia bahkan tidak makan siang, tidak bergantian dengan co-sutradara yang disediakan PH, berjam-jam bekerja dalam beberapa hari. Belum lagi pusing yang belum hilang efek mabuk semalam, masih untung bisa fokus dan tidak terpengaruh.
Dia sudah mendapat teguran keras dari PH dan jika dia mendapatkannya lagi, bisa-bisa karier yang susah payah dibangunnya akan hancur hanya karena hal sepele. Yah, sebenarnya solusinya yang sepele, cukup jangan biarkan istrinya mengacau. Namun, Dimas tidak bisa. Berjauhan hanya akan membuatnya tidak tenang.
Aiva mengernyit ketika merasakan Dimas hanya diam di bahunya tanpa berkata apapun lagi. Dia melirik, berdecak kesal sambil mengumpat, “Ck! Malah tidur lagi.” Aiva sengaja menganggu tidur Dimas dengan menggerak-gerakkan bahunya sehingga Dimas terjatuh dan lunglai ke sisi sofa yang lain.
Awalnya wanita itu acuh, membiarkan suaminya tidur dengan posisi yang tidak enak itu. Aiva melanjutkan kegiatannya memeriksa gaun baru yang mungkin bisa dibeli untuk koleksinya.
Sampai majalah itu terbuka di halaman tengah, Dimas benar-benar tidak bergerak selama itu. jika diposisikan nanti ketika bangun, pasti tubuhnya akan sakit sekali begitu digerakkan, tapi itu tidak cukup menggerakkan hati Aiva untuk memindahkannya atau mengubah posisi suaminya menjadi lebih nyaman.
“Ck. Nyusahin banget sih nih orang,” cibir Aiva melirik sejenak. Dia berpikir kalau memang posisi itu menyakitkan, Dimas akan bangun sendiri dan pindah ke sofa yang lebih panjang. Suruh siapa mendesak Aiva yang duduk di sofa yang berkapasitas dua orang untuk duduk.
“Diana ....”
Aiva menegang, sontak menoleh dengan matanya yang melotot. Apa katanya tadi?
Wanita itu panik langsung mengguncang bahu Dimas dan memanggil, “Mas? Mas?” berkali-kali, tapi Dimas tidak kunjung bangun dari tidurnya. Badannya begitu panas, terutama di bagian dahi dan lehernya. Aiva berkeringat dingin dan berkali-kali menggeleng ketika Dimas kembali menggumam.
“Diana.”
Tidak bisa, tidak bisa seperti ini dan tidak akan Aiva biarkan. Dimas tidak boleh mengingat Diana meskipun itu hanya dalam mimpi.
Dia menyambar ponselnya dan men-dial sebuah nomor. Nada tunggu itu terdengar begitu lama, padahal Aiva hanya menunggu sampai deringan ketiga. “Halo? Dimas sakit, dia ngigo nama Diana, kok bisa gitu?” semburnya pada lawan si lawan bicara.
“...”
“Kurang? Kurang apanya, sih? Minggu lalu gue udah kasih banyak sampai ambil dari rekening Dimas.” Aiva berkata penuh emosi sambil berjalan ke sana-sini sambil tetap mengawasi Dimas.
“...”
“Gila lo. Di mana gue bisa dapetin barang kayak begituan?”
“...”
Aiva berdecak. “Ya udah. Nanti gue mampir kalau kosong.”
Sambungan itu diputuskan sepihak oleh Aiva, tapi ternyata bukan untuk menyudahinya. Dia kembali men-dial satu nomor yang berbeda dari nomor tadi.
“Halo? Nanti temenin gue ke tempat ‘itu’, kayaknya Dimas mulai gawat.”
“...”
“Dia juga nyuruh gue beli barang-barang aneh. Lo yang beliin ya? Mana bisa Dimas jauh-jauh dari gue.”
“...”
“Oke, bye.”
Rasa panik dan cemas yang melingkupi Aiva tak kunjung sirna. Dia bergerak gelisah di depan sofa yang ditiduri Dimas. Tanpa sadar tangannya meremas-remas katalog fashion lalu beralih menjambak rambutnya sendiri. Tidak, dia tidak siap kehilangan semuanya sekarang. Dia belum puas akan semua balasan atas dendamnya yang tak kunjung usai.
“Diana, ... dasar lo cewek sialan,” gumamnya dengan sorot mata tajam, tak jelas ditujukan pada siapa mengingat orang yang dimakinya tak ada di sana.
Melirik Dimas, Aiva sadar suaminya itu harus diberi obat, atau apa pun yang bisa meredakan sakitnya dan berhenti menggumamkan nama wanita yang tidak boleh diingatnya itu. Sayangnya, mana pernah Aiva menangani orang sakit. Jika dirinya sendiri saja terkadang Aiva abai dan memaksakan diri beraktivitas sampai tubuhnya sembuh sendirinya. Mana mungkin Dimas seperti itu?
Well, selain istri yang buruk, Aiva bahkan tak cukup menyayangi dirinya sendiri.
“Inah. Inah!” serunya memanggil sang asisten rumah tangga.
Dari arah dapur, wanita paruh baya yang mengenakan daster rumahan itu tergopoh-gopoh menghampiri sang majikan. Dengan napasnya yang masih menderu, Inah berujar pelan, “Iya, Nya?”
Aiva melirik Inah dingin, lalu menunjuk Dimas dengan dagunya. “Dimas sakit. Ambilin obat buat dia.” Wanita itu malah duduk dan kembali mengambil majalah lain dari bawah meja untuk dibacanya. Dia memang masih cemas dan gelisah, tapi tentu saja bukan tentang fakta bahwa Dimas sakit. Dia khawatir Dimas kembali ingat mantan istrinya.
Inah memandang tak enak terhadap Dimas yang tidur dengan posisinya yang pasti tidak nyaman itu, merasa kurang ajar jika menyentuhnya tanpa izin. “Tuan sakit apa, Nya?”
Aiva berdecak, lalu membanting majalahnya ke meja seraya bersungut-sungut, “Ya mana gue tau. Lo periksa aja sendiri.” Setelah itu, sang nyonya pergi tanpa merawat Dimas suaminya sedikit pun.
Dalam hati, Inah mencibir sikap nyonyanya ini yang tidak peduli sama sekali pada suaminya. Inah sudah bosan bertanya-tanya dan menerka-nerka apa alasan tuannya lebih memilih wanita yang kerjanya ke salon dan memikirkan diri sendiri, dibanding nyonyanya dulu yang meski sederhana, tapi hatinya kaya.
Memang Inah tidak tinggal bersama Diana dan Dimas dulu, mengingat keinginan Diana untuk hidup sederhana dan meminta Dimas meninggalkan segala kemewahannya. Akan tetapi, beberapa bulan terakhir sebelum perpisahan, Diana sempat tinggal di sini atas paksaan Dimas. Dalam waktu yang singkat itu, Inah jelas tahu bagaimana watak Diana yang jelas jauh lebih baik dibanding Aiva.
Sifat Diana kadang terlihat dingin dan sinis, tapi sebenarnya tidak. Dia sosok ibu yang baik dan istri yang cakap. Tak jarang Inah dilarang membantunya di dapur dengan alasan seorang istri harus memasak untuk keluarganya dengan tangannya sendiri. Nyonya terbaik yang pernah mengupahnya bahkan dalam waktu singkat.
Sedangkan Aiva? Dia benar-benar mencerminkan seorang pemilik rumah yang mengambil minum pun tidak mau dilakukan sendiri. Inah sering kewalahan dengan semua permintaannya terkait hal-hal sepele.
“Kenapa ya den Dimas malah ceraiin non Diana?” gumamnya tak mengerti.
***
Nah, apakah kalian juga berpikiran sama kayak bi Inah ini??
To be continued.