“Iya, Bu, saya minta maaf.” Diana berkali-kali membungkuk dan meminta maaf. Dia mengabaikan tatapan penasaran para tetangga yang tertangkap melalui ekor matanya.
Sebutlah bu Ovi, salah satu pelanggan jahit Diana itu terus-menerus mengomeli Diana atas kerjanya yang dianggap tidak becus dan tidak memuaskan. “Saya ‘kan sudah bilang, baju ini mahal! Kamu tidak akan mampu menggantinya, Bu!”
“Iya, Bu, saya tahu. Saya minta maaf,” ujar Diana entah ke sekian kalinya. Selalu begitu setiap kali pelanggannya melayangkan protes untuk hal-hal yang padahal sepele, tapi sering dibesar-besarkan. Gambaran nyata bahwa pelanggan adalah raja.
“Maaf-maaf, ya terus ini baju saya gimana? Saya belinya saja tiga ratus ribu, emang situ bisa ganti?” Ibu itu merendahkan Diana dari tatapannya yang meremehkan bagian dalam rumahnya yang terlihat karena mereka memang sedari tadi bicara di depan pintu. “Kayaknya makan aja udah susah, apalagi buat ganti baju saya.”
Diana mendongak, wajahnya agak mengeras biarpun sudah dibuat semenyesal mungkin. “Saya tahu saya salah, saya miskin. Untuk makan aja kadang susah, tapi tolong, jangan merendahkan saya begitu, Bu,” kata Diana tidak peduli nantinya akan dicap si miskin yang sombong atau gosip apa pun itu.
Bu Ovi makin menjadi-jadi, menyimpulkan seolah Diana membalas dan menantangnya. Cap si miskin yang sombong. “Ohh, jadi Anda tidak terima?” Wanita itu meludah ke samping. “Saya tidak akan mau jahit di sini lagi. Nanti yang ada semua baju mahal saya rusak.” Istri dari saudagar kaya itu pergi tanpa permisi dengan wajahnya yang masam.
Hanya helaan napas lelah yang bisa Diana dapatkan. Satu pelanggannya pergi meski bu Ovi baru satu kali memakai jasanya. Dia yakin, gosip tentangnya—bisa jadi yang bukan-bukan—akan menyebar ke desa ini tak akan lama lagi. Bu Ovi berkemungkinan besar akan menghasut dan mengajak ibu-ibu lain untuk tidak memakai jasanya lagi.
Padahal kalau dipikir-pikir, kesalahan Diana sepele—menurutnya. Jahitan di tepi ritsleting baju bu Ovi lepas di beberapa bagian dan ada kelim yang ingin diperbaiki, tapi benang yang digunakan Diana kontras sehingga jahitan tambahannya terlihat mencolok. Hanya itu. Diana juga bukannya tidak mengerti atau bagaimana, cuma warna benang yang ada tinggal warna hitam. Bu Ovi tidak mau dengar, ingin selesai hari ini karena ingin dipakai untuk menghadiri acara temannya.
Ahh, nasib. Bahkan dia tidak dibayar, hanya mendapat uang muka.
“Bundaa ....”
Disha mengintip dari balik tembok rumah tetangganya, perlahan keluar dan menghampiri Diana. Bocah itu langsung memeluk pinggangnya. “Eh, Ica dari kapan ada di sana?” Sejak sejam yang lalu Disha bermain dan tidak dia duga putrinya pulang lebih cepat. Diana khawatir Disha melihat semuanya dan berspekulasi yang tidak-tidak.
Wajah Disha bersembunyi pada perut Diana. “Bunda gak apa-apa?” tanya Disha terdengar pelan karena dia membenamkan wajahnya. Diana tidak langsung menjawab, malah mengusap rambut Disha.
“Emangnya bunda kenapa?”
“Tadi Ica liat Bunda dimarahin ibu-ibu tadi.”
Diana terkekeh. “Bunda gak dimarahin, sayang. Ibu-ibu tadi emang bicaranya keras, jadi kayak marahin bunda.”
Apa yang dikatakannya tidak semuanya bohong. Bu Ovi memang suaranya tergolong lantang, maklum biasa nyindir tetangga. Eh, khilaf.
Sebelum mendongak, Disha sempat-sempatnya ngusel-ngusel di perut Diana, membuat ibu satu anak itu kegelian. “Beneran?” Disha bertanya lagi ketika mendongak.
“Iyalah ... siapa yang berani marahin bunda?” Diana berwajah garang, lalu mencubit hidung Disha. “Bunda ‘kan super hero ya?”
Disha tertawa sambil mengangguk-angguk. “Iya, Bunda super heronya Ica.”
Diana ikut tersenyum. Terbersit rasa kasihan putrinya ini tumbuh tanpa peran seorang ayah, bahkan mungkin Disha tidak ingat seperti apa wajah Dimas mengingat mereka berpisah saat dia umur 2 tahun lebih. Terlalu dini untuk bisa mengingat dan membedakan wajah orang tuanya.
“Bunda, ... ” Disha memanggil. “Apa ayah gak bisa pulang lagi, Bun? Ica mau lihat wajah ayah, pasti ganteng. Ica juga pengen meluk ayah kayak Nina tiap kali ayahnya pulang.”
Wanita paruh baya itu tergugu, tak kuasa menjawabnya. Elusan tangannya di rambut Disha berhenti, berbanding terbalik dengan degup jantungnya yang berdetak kencang. Apa yang harus dia jawab? Rasanya sudah terlalu sering berbohong dan memberi harapan tanpa arti kepada putrinya ini.
“Oh iya, ayah ‘kan lagi kerja ya Bun buat Ica, biar nanti pulang bawa uang banyak.” Wajah Disha tampak ceria, kontras dengan wajah Diana yang datar dan tidak terbaca. Dia sebagai orang dewasa satu-satunya di sini merasa bersalah telah menipu anak selugu Disha. Apanya yang pulang? Mungkin Dimas sedang berbahagia dengan istrinya, dan kemungkinan bersama anak mereka.
Apa kata pulang yang selama ini dipercayai Disha bisa membawa Dimas kembali ke keluarga kecil mereka?
***
“Sayang, nanti aku mau liburan ya sama kenalan-kenalan aku dari klub kecantikan.”
Di tengah-tengah take adegan yang cukup penting, Aiva datang dan bergelayut manja pada Dimas membuat pria itu kehilangan fokus. Dia tidak bisa menilai sebaik apa scene yang diambil untuk bagian klimaks filmnya. Semuanya karena Aiva. Wanita itu tidak berhenti mengoceh dan mengacaukan konsentrasi Dimas, begitu pula kru lain karena suaranya yang lantang.
“Sayang, tolong kamu diem dulu ya? Ini adegan penting,” pinta Dimas lembut. Tidak seperti emosinya yang suka meledak-ledak, kepada Aiva dia selalu menjadi sosok yang penuh kasih sayang.
Aiva cemberut. “Jadi kamu lebih mentingin film ini dibanding aku, Mas?” rajuknya.
Astaga ... kuping para kru terasa panas mendengar interaksi pasutri itu. Banyak yang mengeluh diam-diam bahkan mencibir sikap tak tahu diri istri sutradara mereka, pun sang suami yang takut istri. Takut sama cinta beda tipis ya bund.
“Sayang ....”
Aiva seakan-akan memancing emosi orang-orang di sekitarnya dengan memperpanjang drama ‘menjijikkan’ mereka. Dia tidak mau disentuh Dimas sehingga pria itu terus-terusan membujuknya sampai lupa dengan take adegan yang sudah tidak ada harapan ini. Paling-paling seperti kemarin, mengandalkan kameramen saja tanpa adanya Dimas si sutradara. Ya habis bagaimana, daripada enggak kelar dan ngolor terus menerus.
Mereka merindukan masa-masa Dimas yang dulu, yang sederhana, tapi berjaya dengan caranya sendiri. Kinerjanya diacungi jempol dan membawa banyak kesuksesan dalam setiap film yang disutradarainya. Beliau sosok yang luar biasa, bersedia hidup susah demi memperjuangkan hubungannya dengan Diana. Mantan istrinya juga tak kalah baik, tak jarang kalau jarak lokasi syuting dekat, dia akan membawa lauk yang banyak dan rice cooker untuk makan bersama. Tidak mewah, tapi jauh lebih enak dari makanan cepat saji.
Keadaan berubah menjadi buruk ketika seorang wanita datang, menempatkan diri di antara rumah tangga harmonis Diana dan Dimas yang sudah dikaruniai seorang putri. Wanita yang kerap dipanggil pelakor dalam cibiran kru. Tak hanya Dimas, PH juga terkena dampak dari kinerja pria itu yang sama buruknya dengan mahasiswa pelatihan. Contohnya seperti sekarang ini.
Aiva, wanita itu akar dari semuanya. Tidak sedikit yang yakin dia pakai guna-guna. Apalagi Dimas tanpa ada masalah berarti bertengkar hebat dengan Diana dan mati-matian membela Aiva. Siapa yang tidak akan berprasangka macam-macam? Dia hanya wanita dengan kelebihan fisik, hanya itu.
“Kalau kamu gak suka aku di sini ya sudah.” Wanita itu dengan wajah tertekuknya menenteng tas dan menjauh dari Dimas, sengaja agar suaminya mengejar karena langkah kakinya tidak menunjukkan dia sedang ingin meninggalkan Dimas. Malah sengaja menghindar dengan caranya yang dicap lebai.
“Pak Bagus, gak mau ngapa-ngapain?” Salah satu kru film berbisik pada Bagus yang kali ini hanya diam.
Tubagus mengendikan bahu. “Susah dikasih taunya. Kayaknya cuma pak Indra yang bisa bilangin itu orang,” katanya menunjuk Dimas dan Aiva dengan dagu. Biasanya pria itu paling pantang melihat adegan macam-macam dari sutradaranya itu seperti terakhir kali, tapi kali ini dia tidak angkat suara. Hanya sorot matanya yang senantiasa memancarkan tatapan jengah.
Indra adalah pemimpin PH mereka, sosok yang diyakini sebagian kru bisa menghentikan aksi yang sangat mengganggu dan menghambat ketika syuting. Sebenarnya pak Indra bukannya tak tahu. Para kru termasuk Bagus sudah bergantian mengeluhkan sikap Dimas—tepatnya sikap Aiva. Hanya saja pria itu tidak percaya dan herannya selama nyaris 3 tahun ini tidak pernah memergoki aksi menjengkelkan Dimas dan Aiva secara langsung.
De ja vu. Seorang pria berkemeja datang di tengah-tengah jam take syuting, sontak mengernyit bingung ketika para kru dan artis nganggur. “Eh, ada apa nih?” tanyanya cukup keras, tapi tak cukup kuat untuk menginterupsi drama Dimas membujuk Aiva.
Dia Ilham, produser yang (kurang) bertanggung jawab dalam tugasnya mengawasi jalannya syuting. Mungkin dia terlalu tenggelam dalam citra lama Dimas yang sangat baik dan menutup mata dengan perubahan drastis yang dialaminya.
“Eh ke mana aja, Pak? Baru keliatan,” sindir Bagus.
Ilham garuk-garuk kepala. “Saya agak sibuk sama bisnis pribadi,” katanya, “terus ini kenapa pada diem? Itu Dimas kenapa?”
“Yah tiap hari juga gini, Pak, bosen liatnya,” timpal kru yang lain.
“Loh, kok bisa?”
“Bisalah, itu buktinya ada di depan Bapak sendiri.”
Ilham menggeleng tak percaya lalu berseru, “Dimas!” sampai pasutri itu menoleh. Dimas menegang, tapi tidak terlihat takut. Dia balik menatap Ilham. Orang yang melihat itu keheranan dengan emosi Dimas yang terkesan ... aneh? Harusnya dia minimal takut karena Ilham bisa memberhentikannya dari menjadi sutradara, tapi pria itu malah memedulikan Aiva.
“Kenapa?!” tanyanya cukup keras.
“Temui saya di kantor PH kamu.” Pria paruh baya itu berbalik dan meninggalkan lokasi syuting. Jujur saja, Ilham sama tidak becusnya dengan Dimas.
Well, sebenarnya mereka—kru film—tidak mengharapkan Dimas mendapat masalah karena bagaimana pun Dimas dulu adalah seorang sutradara yang baik sekali. Sikapnya juga jauh berbeda dengan yang sekarang, seolah keduanya adalah dua orang yang berbeda. Mereka hanya ingin Dimas bersikap profesional dan kembali menjadi sutradara yang dielu-elukan para krunya setiap habis satu proyek. Tiga tahun sudah cukup keburukannya tertutupi.
Dimas menoleh ke Aiva dan menggenggam tangannya. “Sayang, kamu jangan marah lagi ya?”
Astaga ... di situasi begini masih saja bisa bucin? Fiks, Dimas ‘sakit’.
***
Dimas tidak pulang ke rumah seusai disidang oleh orang-orang PH. Mood-nya sedang mengkhawatirkan untuk bertemu siapa pun yang mengetahui hal ini di lokasi syuting siang tadi, termasuk Aiva. Dimas takut dia emosi dan ujung-ujungnya ribut dengan Aiva.
Alih-alih pulang, Dimas mampir ke apartemen temannya, Putra. Mereka berkawan baik sejak kuliah dan juga berada di PH yang sama dengan jabatan yang sama—sutradara.
Putra terkekeh melirik Dimas yang sudah teler akibat menegak lebih dari satu botol minuman keras. “Lo minum karena pusing apa doyan? Banyak banget, gila.” Dia tidak ikut mabuk, malah menemani Dimas dengan bermain gim konsol.
Di bawah pengaruh alkohol, Dimas hanya bisa meracau, “Kacau guee. Dipecat bentar lagiii.” Pria itu meneguk kembali minuman tanpa repot-repot menuangkannya ke gelas.
“Abisnya lo nurut amat sama bini lo. Coba lo tegas dikit, kerjaan lo gak bakal ancur gini, Dim.”
“Berisik lo!” gerutu Dimas, “kerjaan gue ancur bukan karena Dianaaa.”
Putra bergeming mendengar racauan Dimas. Dia meletakan konsol gimnya dan mengguncang bahu Dimas yang bersandar dengan mata tertutup, tapi masih menggumamkan racauan tak jelas. “Siapa tadi?”
Dimas menepis Putra, malah menyodorkan botol minuman yang dipegangnya erat pada Putra. “Nihh, mending lo juga minumm, Put.”
“Ck. Lo udah kebanyakan minum, Dim, udah dulu,” hardik Putra merenggut botol minumnya, tapi tak bisa karena Dimas benar-benar mencengkeramnya. “Teler lo besok gak bisa kerja, setan.”
“Biarinnn. Gak peduli guee.”
Putra berdecih sebelum melanjutkan permainannya. “Sekarang aja gak peduli, ntar kalau ditegur stres lagi lo,” sindirnya geleng-geleng kepala, tak habis pikir sama jalan pikiran pria yang sudah berumah tangga itu. “Gaya nikah dua kali, kelakuan kayak bujang lapuk putus cinta.”
Beberapa menit Putra menghabiskan waktunya mengalahkan musuh dalam permainan, tidak ada racauan atau gumaman yang terdengar. Hanya suara-suara game yang mengudara di ruangan itu. Sepertinya Dimas sudah benar-benar teler sampai membuka kelopak matanya pun dia kewalahan.
“Diana ....”
Sontak Putra menoleh, lalu mendengus. Jika diingat-ingat, setiap mabuk Dimas memang selalu meracau nama Diana, bukannya Aiva yang sekarang istrinya. Entahlah, Putra sendiri tidak mengerti dengan rumah tangga temannya yang rumit.
“You lose.”
“Ck. Males gue,” umpat Putra melempar konsol gimnya sembarang arah. Dia melirik sinis Dimas yang tertidur di sofanya. Putra mendadak merasa kesal tanpa alasan yang jelas, kemudian ingin melampiaskannya pada Dimas yang menjadi sasaran empuk sebab tidak sadar.
“Woy, bangun lu.” Putra menendang-nendang tubuh Dimas, tapi Dimas tidak bangun atau bergerak sedikit pun. “Pulang sana ah, ntar bini lo nyariin makin runyam urusannya.”
Dimas malah kembali meracau tak jelas sambil mencari posisi tidur yang lebih nyaman. Seakan gangguan Putra tadi tidak dirasakan Dimas dalam pengaruh alkohol.
“Enak-enakan tidur nih anak,” Putra kembali menggerutu. Jarum jam menunjuk ke angka jam 11 malam, cukup malam untuk menyeret Dimas keluar dari apartemennya. Bukannya tak mau mengizinkan Dimas menginap, Putra agak benci orang yang mabuk makanya tidak ingin Dimas menginap. Dia tahu diri saja memberi temannya bantuan kecil karena Dimas sendiri sering membantunya.
Sadar bahwa dia tidak akan berhasil sendirian, Putra mengambil ponsel dan menelepon seseorang yang akan membantunya memulangkan Dimas. Tidak ada pilihan lain.
“Halo, Ay? Dimas di apartemen gue. Sini lo.”
Ya, Putra menelepon istri Dimas untuk membawanya pulang. Tentu saja ini bukan kali pertama Dimas mabuk di apartemennya dan kejadiannya selalu seperti ini.
Selagi menunggu Aiva sampai, Putra membuka laptop dan melanjutkan pekerjaannya yang diminta meninjau sebuah naskah film yang rencananya akan dia pegang. Memang seharusnya bukan tugasnya, tetapi baguslah kalau akhirnya dia yang akan jadi sutradaranya. Putra menyeringai misterius. Tinggal beberapa film lagi, maka Putra akan menjadi sutradara nomor satu di PH.
“Ahh, sial, gue mati-matian ngegantiin lo, sedangkan lo malah mabuk-mabukan kayak gini,” gumamnya kesal. Putra menginginkan kompetisi yang fair, bukan seolah Dimas menyerahkan semuanya begini.
Ting!
Mau tak mau Putra beranjak untuk membukakan pintu bagi Aiva. Dia terkekeh sinis begitu membuka pintu dan mendapati Aiva dengan outfit-nya yang ‘gila’. Lantas Putra menyindir, “Lo mau jemput suami lo apa mau ngegoda gue, hah?”
Bayangkan saja, di jam selarut ini, Aiva mengenakan dress warna maroon tanpa lengan dan hanya sebatas tumit, heels, dan make-up yang Putra tebak sengaja dia kenakan tadi, bukan bubuhan yang belum dibersihkan. Jujur saja, Putra langsung berpikir, she’s like a bit*h.
Aiva berdecak. “Lo kayak gak tau gue aja ah.”
“Ay.” Putra mencekal Aiva sebelum dia masuk. “Tadi dia ngigo Diana lagi.”
Sontak Aiva menatap Putra agak terkesiap. “Serius lo?” Saat Putra mengangguk, dia langsung menerobos masuk tanpa izin yang punya tempat. Putra berdecih, enggak istri enggak suami sama-sama ngerepotin.
Ck. Ck. Dikira tadi Aiva buru-buru masuk mau bawa Dimas pulang atau marah-marah karena Dimas ingat mantannya, malah mengambil botol yang masih tersisa dan meneguknya santai di samping Dimas. Putra mengeluh sambil memijat pangkal hidungnya. “Woy! Malah ikutan mabok lu. Bawa sana si Dimas, pusing gue nyium bau alkohol.”
“Iya, bawel, ah. Bentar lagi napa sih.”
Putra kembali duduk di kursi kerjanya dan menekuni naskah film digital lewat laptopnya, membiarkan pasutri itu sama-sama larut dalam pengaruh alkohol tanpa ada niatan sedikit pun untuk bergabung. “Jangan sampe apartemen gue ancur gara-gara lo berdua,” pesannya tanpa mengalihkan pandangan.
“Gak asyik lo, malah kerja,” kata Aiva mulai dikuasai alkohol, “sini gabung.”
“Ogah.”
“Kolot banget lo gak mau minum.”
“Biarin. Hidup gue ya emang gini.”
Malas mendengar racauan atau hal apa pun yang bisa merusak mood-nya, Putra menyalakan teve dengan volume suara yang lumayan kencang. Dia bisa mendengar Aiva mengucapkan sesuatu, tapi tidak ambil pusing dan meneruskan pekerjaannya.
Bermenit-menit berlalu seiring kursor di layar laptopnya bergerak turun dan menggulir halaman. Turun ke bawah sampai akhirnya kembali menemui pembatas pada perpindahan latar dan waktu yang diajukan. Mata Putra mulai terasa lelah terlalu lama menatap layar. Tanpa disadari hari sudah berganti dan jam bergerak ke angka satu.
Putra memutuskan untuk menghentikan sejenak pekerjaannya agar esok tetap bugar untuk kembali bekerja dan meninjau persiapannya menyutradarai film begitu proyek yang dikerjakan Dimas selesai. Dia harus tampil prima jika tidak ingin kehilangan lagi proyek film.
“Hadeuhh, bukannya ngejemput malah ikut mabuk,” komentarnya terhadap Aiva yang ikut teler. Padahal ‘kan tujuan Putra nelepon Aiva supaya dia jemput Dimas, eh malah ikut-ikutan mabuk. Memang sih Aiva dari dulu juga suka mabuk jadi Putra enggak begitu heran.
“Put ....”
“Hm?”
Mata Aiva tampak sulit untuk terbuka meski dia berusaha. Jalannya sempoyongan mendekati Putra. “Dimas ... sampai kapan gue harus pake—” Sebelum menyelesaikan ucapannya, wanita itu terjerembap karena tersandung karpet ruang tamu. Aiva langsung diam, apa mungkin dia pingsan?
“Bodo amat. Ngapain juga gue urusin.” Tidak sedikit pun Putra merasa harus membantu keduanya, yang ada dia harus menolong dirinya sendiri. Bau alkohol semakin memenuhi ruangan membuatnya semakin pusing. “Kayaknya gue harus pulang. Gak mungkin gue tidur di sini.”
***
Ngerasa pusing gak sih bacanya? Sama, aku juga nulisnya pusing :’(
Sebenarnya aku mempertimbangkan buat alurnya lurus-lurus aja, enggak usah random begini. Tapi ya kejutan sama konfliknya emang lebih ‘jleb’ kalau pakai alur campuran, aku cuma takut yang baca bosan dan merasa jalan ceritanya membosankan atau malah kayak enggak nyambung gitu.
Mungkin kesannya kayak banyak plot hole, tapi percayalah setiap adegan udah aku pikirkan matang-matang supaya enggak mubadzir. Baca-baca lagi, ada hal-hal penting kok yang aku selipin di setiap scene.
Love, Andy
Jangan dulu bosen bacanya. Chapter awal-awal emang bagian garing sampai kalian menemukan alasan kenapa cerita ini harus dibaca, yang pastinya sejak awal sudah sebisa mungkin aku tonjolkan. See you tomorrow.