Bab 01
Hujan ringan baru saja reda ketika Vania Arshan berdiri gemetar di depan pagar tinggi rumah megah tiga lantai itu. Tangannya masih memegang tas lusuh yang sudah sobek di bagian bawah, berisi pakaian seadanya yang bahkan tidak cukup untuk tiga hari. Ia baru saja diusir dari kos karena tiga bulan tidak membayar. Semua barangnya ditumpahkan begitu saja oleh ibu kos, tanpa belas kasihan.
Jelita, temannya, menarik napas panjang ketika melihat wajah Vania yang sembap.
“Van… masuk aja dulu. Kamu lihat nanti.”
Vania menatap rumah itu seperti menatap istana.
“Jel… ini rumah siapa?”
“Rumah aku. Ya rumah Papa aku.”
Vania menelan ludah, tidak percaya.
“Jel… kamu yakin aku boleh masuk? Aku bahkan… kelihatan kayak pengemis.”
“Masuk.” Jelita menggenggam pergelangan tangannya. “Papa aku nggak bakal biarin kamu tidur di jalan.”
Gerbang terbuka otomatis. Dan Vania melangkah masuk.
Begitu pintu utama terbuka, hawa dingin AC, aroma kayu mahal, dan lantai marmer mengilap menyapa langkah mereka. Lampu kristal besar menggantung megah, sementara tangga melingkar ke lantai dua berdiri seperti karya seni.
Vania tercekat.
“Astaga… Jel…”
“Udah duduk di sofa itu. Papa bentar lagi turun.”
Vania duduk ragu-ragu, hampir tidak berani menyentuh sandarannya. Tasnya ia taruh di lantai, disembunyikan sedikit karena malu.
Jelita berlari ke arah dalam rumah.
“Papa! Ada yang mau Jeli kenalin!”
Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar. Vania menegakkan tubuhnya tanpa sadar. Lalu dari arah tangga muncul seorang pria berusia 45 tahun—tinggi, bahu lebar, rahang tegas, mata gelap yang tajam, dan aura dominan yang membuat siapa pun otomatis menunduk.
Jevan Garvino.
Ia turun perlahan, pandangannya langsung mengarah pada gadis berusia 20 tahun yang duduk kaku di sofa.
Tatapannya menusuk.
Diam—tapi intens.
Vania bahkan lupa bernapas.
Jelita mendekati ayahnya.
“Pa, ini Vania. Temen Jeli dari SMA. Dia… lagi ada masalah.”
Jevan menatap Vania dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bukan tatapan merendahkan—tapi tatapan analitis, seolah ia bisa membaca seluruh hidup gadis itu hanya dari satu kilatan mata.
“Masalah apa?” suaranya berat, dalam, membuat jantung Vania bergetar.
Vania berusaha bicara.
“S-saya… baru diusir dari kos, Pak.”
“Kenapa?”
“Saya… belum bayar tiga bulan.”
“Kenapa tidak bayar?”
Vania menunduk.
“Karena saya kehilangan pekerjaan.”
Jevan tidak menoleh pada Jelita.
“Jeli. Bawa air minum buat dia.”
“Baik, Pa.”
Setelah Jelita pergi, Jevan berjalan mendekat. Setiap langkahnya terdengar mantap, membuat Vania makin tegang. Ia berhenti tepat di depan sofa, berdiri, menatap gadis itu dari atas.
“Nama kamu siapa?”
“Va… Vania Arshan, Pak.”
“Umur?”
“Dua puluh.”
Jevan menyipitkan mata, menatapnya lebih dalam.
“Kamu kelihatan lebih muda dari itu. Kurus sekali.”
Vania tersentak.
“Maaf, Pak…”
“Kamu makan teratur?”
“A-ah… nggak selalu.”
“Jelas.”
Vania menggigit bibir, merasa dirinya seperti ditelanjangi.
Jevan lalu berjongkok di depannya.
Dekat.
Sangat dekat.
Sampai Vania bisa melihat dengan jelas bulu mata pria itu, garis halus di sudut matanya, dan aura kuat yang membuatnya ingin lari dan diam di tempat secara bersamaan.
“Dengar, Vania.”
“Mulai hari ini kamu tinggal di sini.”
Vania langsung menggeleng cepat.
“T-tidak, Pak! Saya cuma ikut Jelita sebentar. Saya nggak mau merepotkan.”
“Kamu merepotkan?” Jevan menaikkan alis. “Tidak.”
“Tapi—”
“Tidak ada tapi.”
“Pak Jevan, saya—”
“Sssst.”
Vania terdiam seketika. Ia bahkan kehilangan kata-kata.
Jevan menatapnya tanpa kedip.
“Kamu teman Jelita. Dan kamu butuh bantuan. Itu cukup.”
Vania menelan ludah keras-keras.
“Kenapa… Bapak baik sekali pada saya?”
“Saya tidak baik.”
“Saya hanya tidak suka melihat anak seusiamu tersia-siakan.”
Vania memejam mata sebentar, menahan perih di dadanya yang tiba-tiba muncul.
Jevan bangkit berdiri dan melipat kedua tangannya.
“Mulai malam ini, kamu tidur di kamar lantai dua. Baju kamu akan dibelikan. Kamar mandi bersih. Makan tiga kali. Setelah kamu stabil, baru kita bicara soal pekerjaan.”
Vania menggeleng lagi, suara gemetar.
“Pak… saya nggak enak. Saya orang asing. Bapak bahkan baru ketemu saya…”
“Saya tidak butuh waktu lama untuk menilai seseorang.”
“Tetapi—”
“Kalau kamu takut, kamu bisa tanya saya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya Jelita. Di rumah ini kamu tidak sendiri.”
Vania menatapnya, hampir tidak percaya.
Lalu Jevan menambahkan kalimat yang membuat napas Vania benar-benar terhenti.
“Kalau kamu nyaman suatu hari nanti… kamu boleh panggil saya ‘Papa’.”
Vania membeku.
Wajahnya memanas.
Jantungnya serasa meledak.
“P—apa!??”
Jevan menoleh sedikit, matanya berbinar lucu melihat reaksinya.
“Kenapa kaget?”
“S-saya… saya nggak pernah…”
“Saya bahkan nggak punya Papa sejak kecil…”
Jevan berjalan mendekat lagi, kali ini menundukkan tubuhnya sedikit.
“Kalau begitu…”
“Belajarlah pelan-pelan.”
Vania memegang ujung bajunya, berusaha menahan gemetar.
“Pak Jevan… saya… saya benar-benar nggak tau harus berkata apa.”
“Katakan saja kamu akan tinggal.”
“Saya… akan tinggal, Pak.”
Tatapan Jevan berubah lembut—namun auranya tetap kuat.
Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Bagus.”
Jelita muncul dari dapur membawa air.
“Pa, Vania nangis ya?”
Vania tersentak.
“T-tidak! Aku cuma—”
Jevan menyelipkan kedua tangannya ke saku.
“Jeli, mulai hari ini Vania tinggal bersama kita. Jaga dia.”
Jelita tersenyum lebar.
“Yay! Aku punya teman sekamar!”
Vania menatap Jevan sekali lagi.
Dan entah kenapa… pria berusia 45 tahun itu terasa seperti dinding kokoh pertama yang pernah menyambutnya dalam hidup.
Sore itu… langkah kecil Vania memasuki rumah besar itu menjadi awal dari perubahan besar yang tidak pernah ia bayangkan. Dan Vania tidak tahu bagaimana kedepannya dia dengan … lelaki tampan yang baik hati.