Bab 02

874 Kata
Sudah tiga hari Vania tinggal di rumah besar itu, dan setiap harinya ia tidak pernah benar-benar bisa bernapas dengan normal. Bukan karena tekanan, bukan karena takut—melainkan karena keberadaan Jevan Garvino yang terlalu besar, terlalu kuat, terlalu mendominasi ruang manapun ia masuki. Pria itu seperti pusat gravitasi yang menarik pandangan Vania tanpa ampun. Dan hari itu… sesuatu terjadi. Pagi itu matahari memantulkan cahaya ke permukaan kolam renang yang luas di belakang rumah. Udara masih sejuk ketika Vania keluar ke halaman, berniat menggantung handuk. Ia memakai kaus kebesaran milik Jelita dan celana pendek yang sedikit longgar. Rambutnya diikat seadanya. Ia hanya ingin menghirup udara segar— Namun langkahnya berhenti. Tubuhnya membeku. Di tengah kolam, Jevan sedang berenang. Hanya dengan celana pendek hitam, torso telanjang, dan d**a bidang yang memecah permukaan air. Setiap kali ia mendorong tubuhnya ke depan, otot-otot punggungnya bergerak seperti garis yang ditarik sempurna oleh tangan pemahat. Bulir-bulir air mengalir turun dari rambut hitamnya, menuruni leher kokoh, jatuh ke d**a yang lebar dan kuat. Gerakannya tenang, tapi memancarkan sesuatu yang liar—seperti kekuatan yang sengaja dikendalikan. Vania tidak bernapas. Ia ingin mundur, tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Ia hanya berdiri mematung, memandang pria berusia 45 tahun itu dengan campuran panik dan… sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat dadanya bergetar aneh. Jevan melihatnya. Ia berhenti berenang. Tangan besarnya meraih tepi kolam, lalu ia naik dengan satu gerakan kuat. Air jatuh dari tubuhnya seperti tirai kristal. Dan ketika ia berdiri, Vania baru sadar betapa besar pria itu. Lebih besar dari yang terlihat ketika memakai kemeja. Vania menelan ludah. Jevan menyibak rambut basahnya ke belakang. “Sejak kapan kamu berdiri di situ?” Vania tersentak. “A-aku… baru… barusan…” Jevan menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapan itu bukan tatapan menggoda—bukan. Tapi tatapan seorang pria dewasa yang menilai sesuatu dengan intensitas yang membuat Vania sulit berdiri tegap. “Kamu terlihat pucat, Vania.” “Aku—nggak apa-apa, Pak.” Jevan berjalan mendekat. Semakin dekat, semakin Vania menggigit bibir, berusaha mengatur napas. Tubuhnya basah, dan udara pagi yang dingin tidak mengurangi panas yang dipancarkan tubuh itu. “Kamu seharusnya sarapan dulu.” “I-iya.” “Kenapa suaramu bergetar?” Suara itu rendah, berat, dan terlalu dekat. Vania menggeleng cepat. “Nggak! Aku cuma… kaget.” “Kaget lihat saya?” Vania langsung memaling wajah. “Bukan! Maksudnya—ya… eh—nggak… saya cuma—“ “Vania.” Ia memanggil dengan suara tegas. Vania menatapnya, meski dadanya seperti mau pecah. “Lihat saya.” Pelan, Vania mengangkat pandangan. Mata gelap itu langsung menangkapnya. “Kamu takut saya?” “Tidak.” “Gugup?” Vania tersentak. “Nggak… juga.” Jevan mendekat setengah langkah. Hanya setengah langkah—tapi ruangan terasa menyempit. “Kamu selalu gugup setiap melihat saya sejak tiga hari lalu.” “Ngg—nggak.” “Bohong.” Vania memalingkan wajah cepat-cepat. Jevan menghela napas. Lalu mengambil handuk besar dari kursi dan menaruhnya di bahu, tapi tubuhnya masih meneteskan air. “Vania.” “Ya?” “Kamu nyaman tinggal di sini?” “Ya… sangat.” “Bagus.” Jevan menegakkan tubuhnya. “Kalau begitu, kamu tidak perlu malu melihat saya. Tidak ada yang salah dengan rumah ini. Tidak ada yang salah dengan saya.” “Aku nggak malu!” Kalimat itu meluncur terlalu cepat. Jevan mengangkat satu sisi alis. “Oh?” “Aku cuma… nggak terbiasa.” “Tidak terbiasa dengan apa?” “Dengan… orang seperti Bapak.” Jevan terdiam sejenak. Lalu, dengan suara yang lebih rendah: “Orang seperti saya… bagaimana menurut kamu?” Vania kehilangan kata-kata. Tubuhnya panas. Ia mencoba menjawab tapi suaranya tidak keluar. Jevan mendekat lagi, tetapi kali ini ia merendahkan tubuhnya sedikit untuk menyesuaikan tinggi Vania. Keduanya berdiri begitu dekat hingga Vania bisa merasakan sisa hawa hangat dari tubuh Jevan. “Kamu boleh jujur pada saya.” “Aku… aku cuma…” Vania memeluk lengan sendiri. “Aku cuma nggak pernah tinggal dengan… laki-laki yang… sebesar itu.” Jevan terdiam sepersekian detik. Lalu ia terkekeh tipis. Hanya sedikit, tapi cukup membuat Vania makin bingung. “Saya mengerti.” “…” “Kalau begitu… pelan-pelan saja. Kamu belajar terbiasa dengan saya.” Vania menatapnya lemah. “Tapi… setiap Bapak dekat… aku jadi…” Jevan mencondongkan wajah sedikit. “Jadi apa?” Vania menelan ludah keras. “Jadi deg-degan.” Hening. Udara seolah berhenti bergerak. Jevan mengamati wajah Vania beberapa detik, seolah mengukur setiap reaksi kecilnya. Lalu ia berdiri tegak lagi. “Itu wajar.” “Wajar?” “Kamu masih muda. Kamu belum terbiasa berada dekat pria dewasa.” Ia mengencangkan handuk di pinggang. “Tapi kamu aman di sini.” Vania mengangguk pelan. Tapi jantungnya masih belum stabil. Jevan berjalan melewatinya, tetapi berhenti tepat di sampingnya. Ia menundukkan wajah sedikit, suaranya hampir berbisik. “Dan Vania…” Vania menoleh perlahan. “Kalau kamu terus menatap saya seperti itu…” Jevan mendekatkan mulutnya ke telinga Vania. “…kamu akan membuat saya salah paham.” Vania membeku. Wajahnya merah. Napasnya kacau. Jevan berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi. Sementara Vania berdiri saja di pinggir kolam… dengan lutut lemas dan jantung yang berdebar begitu keras hingga ia takut Jelita bisa mendengarnya dari lantai dua. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN