Vania menonton tivi di ruang tengah bersama Jelita. Suara acara komedi yang diputar hanya menjadi latar belakang, karena pikiran Vania jauh melayang. Sesekali ia melirik ke arah Jelita, memperhatikan raut wajah temannya yang terlihat begitu tenang sambil memeluk bantal kecil.
Sudah tiga hari Vania tinggal di rumah itu, dan selama tiga hari itu pula ia terus bertemu dengan Jevan. Rasanya sulit menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya setiap kali pria berusia 45 tahun itu muncul di hadapannya. Ada sesuatu yang menggetarkan, sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan, dan sesuatu itu justru semakin kuat dari hari ke hari.
Namun sore ini, pikiran Vania justru berada pada hal lain. Ia menatap Jelita sekali lagi sebelum akhirnya berdeham pelan.
"Jelita," panggil Vania dengan suara yang dibuat senormal mungkin.
"Hmm?" jawab Jelita tanpa menoleh, masih fokus pada tivi.
Vania menggeser duduknya sedikit.
"Aku mau tanya sesuatu."
Kali ini Jelita menoleh, alisnya naik sedikit.
"Tanya apa? Kok serius gitu."
Vania menarik napas pelan. Ia sudah berteman cukup lama dengan Jelita, tetapi ada satu hal yang selalu membuatnya penasaran. Setiap kali Jelita bercerita tentang keluarganya, gadis itu hanya menyebut papanya. Tidak pernah sekali pun ada cerita tentang mamanya. Tidak foto, tidak kenangan, tidak anekdot kecil seperti kebanyakan orang.
Dan selama tiga hari tinggal di rumah itu pun, Vania tidak pernah melihat tanda-tanda keberadaan seorang ibu.
"Jelita," ulang Vania pelan, "mama kamu di mana?"
Pertanyaan itu membuat Jelita terdiam. Senyum kecilnya memudar dalam hitungan detik. Matanya yang tadi berbinar oleh cahaya tivi berubah sendu.
Vania langsung menyesal.
"Maaf kalau aku—"
"Tidak apa-apa," potong Jelita datar, mencoba tersenyum namun terlihat jelas senyum itu dipaksakan. "Mama aku... kabur sama laki-laki lain waktu aku umur sembilan tahun."
Vania membeku.
Jelita mengalihkan pandangannya ke arah jendela, seolah berusaha menghindari tatapan siapapun, termasuk temannya sendiri.
"Semenjak itu Papa enggak pernah nikah lagi," lanjut Jelita. "Papa bilang dia cuma mau fokus sama aku."
Kata-kata itu bergema keras di kepala Vania.
Papa.
Dan gambaran tentang Jevan langsung memenuhi pikirannya. Pria itu… hidup sendiri selama ini? Membesarkan Jelita seorang diri? Sementara dirinya tetap tampil tegar, kuat, seakan semua baik-baik saja?
Vania terdiam.
Jadi Jevan duda?
Detak jantungnya mendadak tidak beraturan. Ada rasa asing mengalir di dadanya. Rasa yang sudah tiga hari ini sebenarnya ia rasakan tapi terus ia tolak, dan kini… terasa semakin nyata, semakin tak bisa dihindari.
Jelita menoleh sedikit.
"Kamu kenapa bengong?"
Vania menggeleng cepat. "Enggak. Cuma... aku enggak tahu kalau mama kamu pergi."
"Udah lama banget kok," jawab Jelita sambil memeluk bantalnya lebih erat. "Sekarang aku cuma punya Papa. Dan aku enggak mau siapa pun bikin Papa sedih lagi."
Vania terdiam lama. Kata-kata itu terasa berat dan tenggelam ke dalam pikirannya.
Namun pikirannya tidak berhenti di situ. Justru semakin liar.
Jadi Jevan sudah lama sendiri.
Jadi Jevan bukan pria yang selama ini ia kira masih memiliki istri yang entah sibuk di luar negeri atau bekerja jauh.
Jadi… kemungkinan itu ada.
Pintu menuju dapur tiba-tiba berbunyi pelan. Vania tersentak halus ketika mendengar langkah kaki seseorang. Jevan muncul dari arah dapur, mengenakan kaus hitam sederhana dan celana rumah. Rambutnya sedikit basah, seolah baru selesai mandi setelah bekerja seharian.
Aura dewasa itu kembali memenuhi ruangan tanpa perlu usaha sedikit pun.
Vania langsung menunduk, pura-pura memperhatikan tivi. Tapi mata dan pikirannya tidak bisa bohong. Hatinya langsung berdebar, melebihi biasanya.
Jevan berjalan melewati mereka sambil memegang gelas air.
"Sudah makan sore?" tanyanya pada Jelita.
"Sudah, Pa." Jelita tersenyum kecil.
Jevan mengangguk, lalu menatap sekilas ke arah Vania. Tatapan singkat itu saja sudah cukup membuat tubuh Vania seolah membeku. Tidak ada yang istimewa dari cara Jevan memandangnya, tapi justru karena itulah perasaan itu semakin mengacaukan dirinya.
"Baik, kalau kalian mau minum jus, bilang saja," ujar Jevan sambil menuju lorong.
Vania mengangguk pelan meski Jevan sudah tidak melihatnya.
Begitu sosok pria itu menghilang, Vania menghembuskan napas panjang, seakan baru melewati sesuatu yang melelahkan.
Jelita memperhatikan Vania dengan tatapan penuh penilaian.
"Kamu tadi tegang banget."
"Enggak," bantah Vania cepat.
"Wajah kamu merah."
"AC dingin," elaknya.
Jelita memiringkan kepala. "Vania..."
"Apa lagi?"
"Kamu naksir Papa aku, ya?"
Pertanyaan itu menusuk seperti petir yang menyambar di ruangan yang sempit. Vania sampai hampir menjatuhkan remote tivi dari tangannya.
"Gila! Enggak!"
"Yakin?"
"Yakin!"
Jelita mendengus. "Hmm… kalau kamu bilang begitu, ya sudah."
Tapi tatapannya jelas tidak percaya.
Vania menutup wajah dengan bantal.
Harusnya ia bersikap lebih normal.
Harusnya ia tidak menunjukkan apa pun.
Namun kebenaran itu memang sudah tidak bisa ia sembunyikan dari dirinya sendiri.
Sejak hari pertama melihat Jevan, ada sesuatu dalam dirinya yang bergerak. Sejak melihat pria itu berenang dengan hanya memakai celana pendek, d**a bidangnya menyisakan kesan yang terlalu kuat. Sejak melihat tetesan air jatuh dari rambutnya, sejak melihat ketenangannya, dan sejak…
Vania menelan ludah. Ia bahkan tidak berani melanjutkan pikirannya.
Sore itu, rumah terasa kembali tenang. Namun di dalam kepala Vania, semuanya justru semakin bising. Ia tahu, tinggal di rumah ini mulai menjadi sesuatu yang rumit. Perasaannya tidak boleh seperti ini, tetapi ia justru semakin tidak bisa mengelak.
Dan yang paling membuatnya takut adalah satu hal:
Bagaimana kalau Jevan juga menyadari perubahan dalam diri Vania?
Karena setiap kali mereka berpapasan, setiap kali Jevan berbicara padanya, setiap kali pria itu menatapnya… ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang membuatnya ingin lari, tapi sekaligus ingin tetap berada di dekatnya.
Sesuatu yang membuat tiga hari terasa sangat panjang.