Bab 04

616 Kata
Vania terbangun di tengah malam karena rasa haus yang tiba-tiba menyerangnya. Tenggorokannya terasa kering, dan udara kamar yang dingin justru membuatnya semakin gelisah. Ia mengusap wajahnya perlahan, meraih cardigan tipis yang ia letakkan di ujung ranjang, lalu bangkit pelan agar tidak membangunkan Jelita di kamar sebelah. Rumah itu pada tengah malam selalu sunyi dengan cara yang berbeda. Suara kipas angin, dentingan ringan jam dinding, dan langkah kakinya sendiri yang menyentuh anak tangga kayu terasa jauh lebih keras dari biasanya. Ia menggenggam pegangan tangga sambil menuruni satu per satu, mencoba tidak membuat suara. Namun ketika ia sampai di lantai bawah, langkahnya terhenti mendadak. Cahaya dari ruang tengah tidak terlalu terang, hanya lampu kecil yang biasanya digunakan untuk penerangan malam. Tapi cukup untuk membuat Vania melihat sesuatu yang membuat dadanya seolah diremas. Di sofa ruang tengah… Jevan sedang bersama seorang wanita. Vania membeku, tubuhnya terasa seperti kehilangan fungsi. Wanita itu duduk sangat dekat dengan Jevan, terlalu dekat, dengan posisi yang jelas menunjukkan keintiman yang melampaui batas apa pun yang ingin Vania lihat. Rambut wanita itu terurai berantakan, kulitnya yang terlalu tersingkap membuat situasi itu terlihat jelas sebagai sesuatu yang tidak seharusnya disaksikan oleh siapapun. Jevan terlihat seperti baru saja terbangun atau baru saja menyadari sesuatu. Bahunya telanjang, napasnya tidak teratur, dan wajahnya mengarah sedikit ke wanita itu, seolah mereka baru saja berada dalam momen yang tidak seharusnya terlihat oleh siapapun. Vania tidak melihat semuanya secara detail—ia tidak sanggup. Penglihatannya seperti berkabut. Yang ia lihat hanya garis besar yang cukup untuk membuat dunia di sekelilingnya runtuh dalam sekejap. Ia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Ia tidak tahu siapa wanita itu. Ia tidak tahu kenapa Jevan bersama wanita itu di tengah malam. Ia bahkan tidak tahu apakah wanita itu sering datang. Tapi satu hal yang ia tahu: Hatiku sakit… Kenapa? Vania langsung membalikkan badan sebelum suara apa pun keluar dari mulutnya. Napasnya tercekat di tenggorokan. Matanya panas. Jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut kedengarannya memenuhi seluruh rumah. Ia naik tangga dengan terburu-buru, hampir terpeleset karena panik. Dadanya terasa sesak, seakan ada beban berat menekan dari dalam. Begitu sampai di kamarnya, ia menutup pintu perlahan tapi tergesa, lalu menyandarkan tubuhnya ke pintu itu sambil memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya menutupi mulutnya, menahan suara isakan yang hampir pecah. Kenapa aku… merasa seperti ini? Kenapa aku merasa seolah… dikhianati? Ia tidak punya hak apa pun untuk merasa seperti itu. Jevan bukan siapa-siapa baginya. Jevan hanyalah papa dari temannya. Jevan hanyalah pria dewasa yang memberinya tempat tinggal sementara. Jevan hanyalah seseorang yang… beberapa hari ini membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Vania merosot perlahan hingga ia duduk di lantai, lututnya tertekuk, sementara air matanya akhirnya jatuh. Tidak deras, tapi cukup untuk menunjukkan betapa kacau perasaannya. Ia memukul dadanya pelan. “Apa-apaan sih aku…? Kenapa aku kayak gini…?” Pemandangan itu terulang-ulang di benaknya. Bagaimana posisi wanita itu. Bagaimana Jevan tampak. Bagaimana intimnya suasana itu. Dan bagaimana hal itu menghancurkan sesuatu dalam dirinya yang bahkan belum pernah ia akui. Setelah beberapa menit, Vania memaksakan dirinya berdiri. Ia mendekati jendela kamarnya dengan tangan gemetar. Malam begitu hening, tapi pikirannya justru penuh suara. Ia menatap pantulan dirinya sendiri di kaca. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, dan napasnya tidak teratur. Ia terlihat kacau. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja patah hati. Tapi bagaimana mungkin ia patah hati pada pria berusia 45 tahun yang bahkan tidak memandangnya sebagai apa pun selain teman anaknya? Vania menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan besok. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menatap Jevan. Ia bahkan tidak tahu apakah ia bisa berada di rumah ini tanpa merasa sesak lagi. Yang ia tahu hanyalah satu hal: Malam itu mengubah semuanya. Dan ia tidak siap menghadapi akibatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN