Pagi itu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Vania sudah bangun sejak subuh, meski semalaman ia nyaris tidak benar-benar tidur. Matanya sedikit sembap, tetapi ia memaksa dirinya bergerak. Ia tahu kalau ia tetap berdiam diri, ia akan tenggelam dalam pikiran-pikiran yang tidak seharusnya ia miliki. Jadi ia memutuskan untuk turun ke dapur dan membuat sarapan—untuk dirinya, untuk Jelita, dan… untuk Jevan.
Hanya menyebut nama itu saja membuat dadanya kembali terasa sesak.
Ia membuka lemari dapur, mengambil bahan-bahan, dan mulai membuat croissant beku yang harus dipanggang ulang. Tangannya bergerak otomatis, tanpa benar-benar fokus. Pikiran tentang kejadian semalam terus menabrak-nabrak kepalanya seperti gelombang besar yang tidak pernah berhenti.
Ia memotong-motong stroberi untuk selai, memperhatikan warnanya yang merah cerah. Sekali-sekali ia berhenti hanya untuk menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa perih yang muncul tanpa permisi.
Vania menatap adonan di depannya dengan suara hati yang terdengar mencemooh dirinya sendiri.
Dia siapa?
Hanya numpang.
Hanya anak yang Jevan “angkat” sementara sebagai bentuk kebaikan hati.
Tidak lebih.
Dan Jevan… Jevan jelas bukan pria yang bisa ia miliki. Bukan pria yang seharusnya ia pikirkan sampai sejauh itu. Bukan pria yang bisa ia dekati hanya karena perasaannya kacau.
Tapi kenapa perasaannya masih seperti diremas setiap kali mengingat posisi wanita itu semalam… terlalu dekat dengan Jevan?
Vania memejamkan mata.
"Aku bodoh sekali…" bisiknya tanpa suara.
Ia menggoyangkan kepala pelan, seolah ingin mengusir seluruh pikiran gila yang melintas. Ia menatap croissant yang mulai mengembang di dalam oven dan mencoba mengalihkan pikirannya.
Namun detik berikutnya—
“Pagi.”
Suara berat itu muncul dari belakangnya.
Vania hampir menjatuhkan spatula yang sedang ia pegang. Jantungnya melompat begitu tinggi sampai rasanya akan keluar dari dadanya. Ia memutar tubuh pelan-pelan, mencoba bersikap tenang.
Jevan berdiri di sana.
Dengan kaos hitam polos, rambut sedikit berantakan, dan mata yang masih terlihat mengantuk. Tapi justru karena itu ia terlihat semakin… menarik. Terlalu menarik.
“Tadi aku dengar ada yang bangun lebih dulu,” ucap Jevan sambil berjalan mendekati meja dapur. “Kamu bikin apa?”
Vania merasa tenggorokannya mengering tiba-tiba.
“A-a-aku…” Ia menelan ludah, mencoba mengontrol suaranya. “Croissant, Pa—maksudnya, Pak. Sama selai strawberry.”
Jevan mengangkat alis. “Kamu masak untuk siapa?”
Vania ingin mengatakan untuk semua.
Tapi yang keluar justru, “Untuk… Bapak juga.”
Ucapannya terdengar begitu pelan, hampir seperti gumaman. Tapi Jevan mendengarnya.
Jevan tersenyum kecil. Senyum itu membuat d**a Vania kembali berdebar gila-gilaan. Ia memalingkan wajah, berpura-pura sibuk mengaduk selai agar Jevan tidak melihat pipinya yang mulai memerah.
“Aroma croissant-nya enak,” ucap Jevan sambil berdiri di sebelahnya, begitu dekat hingga Vania bisa mencium aroma aftershave dan sabun dari tubuhnya. “Kamu bangun jam berapa?”
“Jam… jam lima,” jawab Vania sambil menunduk.
“Kelelahan?” Jevan memiringkan kepala, menatap wajahnya yang sedikit sembap. “Matamu merah.”
Aduh.
Jangan begitu cara menatapnya…
Vania merasa lututnya melemah.
“Enggak apa-apa,” jawabnya buru-buru. “Cuma… kurang tidur.”
“Kenapa?”
Pertanyaan itu menusuknya keras.
Ia tidak bisa bilang karena melihat Jevan bersama wanita semalam.
Ia tidak bisa bilang karena hatinya pecah.
Ia tidak bisa bilang karena ia cemburu.
Ia tidak bisa bilang karena ia merasa ingin memiliki pria yang bahkan tidak seharusnya ia pikirkan.
Jadi ia hanya tersenyum tipis. “Kepikiran macam-macam.”
Jevan menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca pikiran gadis itu. Sorot mata pria itu membuat Vania ingin lari.
Ia buru-buru kembali mengatur croissant di atas piring, menjauhi dekatnya Jevan.
Tapi semakin ia menjauh, semakin Jevan melangkah mendekat.
Vania menelan napas gugupnya.
Kenapa dia harus berdiri sedekat ini…?
“Vania,” panggil Jevan pelan, tapi suaranya berat dan dalam, membuat bulu kuduknya meremang.
“Ya?”
“Terima kasih sudah repot-repot bikin sarapan.”
Nada Jevan tulus. Hangat.
Dan itu justru membuat Vania makin goyah.
Ia memaksakan senyum. “Sama-sama…”
Tapi pikirannya berlari jauh.
Apa mungkin ia bisa memiliki Jevan?
Tidak.
Tidak mungkin.
Itu pikiran gila.
Vania menggeleng pelan, mencoba menepis semuanya. Tapi rasa itu tidak mau hilang.
Justru semakin kuat.
Ia menoleh pelan pada Jevan yang sedang memperhatikannya. Pandangan pria itu lembut, tapi ada sesuatu yang tidak bisa ia baca. Sesuatu yang membuatnya semakin takut… dan semakin ingin mendekat.
Vania meneguk ludah.
Haruskah ia menggoda Jevan?
Haruskah ia mencoba?
Haruskah ia melakukan sesuatu yang bisa membuat pria itu menatapnya bukan sebagai anak seperti Jelita… bukan sebagai seseorang yang hanya menumpang… tapi sebagai perempuan?
Ia buru-buru menepuk pipinya sendiri dalam hati.
Tidak.
Itu gila.
Itu nekat.
Itu… terlalu berbahaya.
Ia menggeleng pelan.
Jevan memperhatikannya. “Kamu kenapa menggeleng?”
Vania tersentak kecil. “Nggak. Nggak apa-apa.”
Jevan tertawa kecil. “Kamu ini lucu.”
Lucu.
Hanya lucu…?
Vania menunduk lagi.
Ia berharap pagi itu cepat berakhir.
Karena semakin lama ia berdiri berdua dengan Jevan di dapur itu, semakin ia merasa hatinya akan lepas kendali.
Namun ia tidak tahu…
Bahwa Jevan terus memperhatikan setiap geraknya.
Setiap helaan napasnya.
Setiap getir di mata gadis itu.
Dan sesuatu dalam diri Jevan mulai bergerak pelan.
Sesuatu yang tidak bisa ia akui.