Bab 06

1006 Kata
Vania menatap tubuhnya sendiri di cermin kamar mandi yang berembun setelah mandi pagi. Gaun pendek yang hanya satu jengkal dari pangkal pahanya itu sebenarnya gaun tidur biasa, tetapi di tubuhnya sekarang terlihat seperti pakaian yang sengaja dipilih untuk memancing perhatian. Rambutnya yang dicepol asal justru membuat wajahnya terlihat lebih muda dan segar, seperti gadis yang sedang menyembunyikan niat gila untuk mengejar pria jauh lebih tua. Dia mengembuskan napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini bukan ide bodoh. Tetapi kenyataannya jelas: kemarin malam dia tidak bisa tidur setelah melihat Jevan duduk di sofa bersama seorang wanita yang tidak memakai apa pun. Adegan itu menghantam hatinya terlalu keras, membuatnya akhirnya sadar kalau dirinya sudah menginginkan Jevan jauh lebih lama dari yang dia sadari. Vania berdiri mematung beberapa detik di depan cermin. Dia mengangkat dagunya sedikit. Mata cokelatnya menatap balik. Gadis itu terlihat panik, campur aduk, tetapi ada tekad kecil yang tumbuh. Dia merapikan gaunnya, meski tidak ada yang bisa dirapikan dari gaun pendek itu. Jantungnya berdetak semakin keras. Vania bergumam pada dirinya sendiri, suara kecil, hampir seperti bisikan. "Ini gila… tapi kalau dia belum menikah, kalau dia tidak punya istri, kalau dia masih sendiri… kenapa tidak?" Memang benar: Jevan bukan papanya. Dia hanya menampungnya. Menganggapnya seperti anak. Tapi rasa itu… rasa itu tidak pernah terasa seperti hubungan ayah-anak sejak awal. Yang menyakitkan hanyalah kenyataan bahwa Jevan tidak pernah melihatnya sebagai perempuan. Perlakuannya selalu hangat, baik, penuh perhatian, tetapi sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan. Vania mengusap rahangnya, mencoba memberikan sedikit kontur dengan jari. "Sial… aku benar-benar terlihat seperti mau menggoda dia." Dia tertawa getir. Tetapi rasa sakit semalam—saat melihat wanita asing itu menempel pada Jevan—menghilangkan sebagian dari rasa malunya. Vania merasa harus melakukan sesuatu. Harus melangkah. Karena jika tidak, dia akan terus menjadi tamu yang dianggap anak kecil, tidak pernah dipandang sebagai perempuan yang bisa dimiliki. Dan Vania tidak sanggup lagi melihat Jevan bersama wanita lain. Perlahan dia membuka pintu kamar. Koridor lantai atas masih sepi, cahaya matahari pagi masuk dari jendela panjang. Jantungnya seperti hendak meloncat saat mengingat bahwa Jevan pasti sudah bangun. Dia menelan ludah dan menuruni tangga perlahan. Saat sampai di lantai bawah, aroma kopi tercium dari dapur. Vania mengambil napas dalam-dalam, mencoba terlihat santai. Dia berjalan pelan, dan begitu melewati ruang makan, langkahnya terhenti. Jevan berdiri membelakanginya, hanya memakai kaus hitam tipis dan celana rumah. Langsung saja seluruh wajah Vania memanas. Gaun pendek yang tadinya tampak indah kini terasa seperti dosa berjalan. Dia memalingkan wajah, mengecap canggung, mencoba terlihat tenang. Tetapi Jevan mendengar langkahnya. Pria itu menoleh. Matanya sedikit membesar, seperti terkejut melihat penampilan Vania pagi itu. "Sudah bangun?" suara Jevan tenang, tetapi tatapan matanya sedikit turun ke gaun pendek itu sebelum cepat-cepat naik lagi ke wajah Vania. Vania merasa lututnya melemas. "Tentu saja dia terkejut," pikirnya. "Siapa yang tidak?" Sambil memaksa senyum gugup, Vania menghampiri meja. "Aku… cuma mau ambil air," katanya pelan. Suaranya hampir pecah, tetapi dia berusaha mempertahankannya. Jevan memperhatikannya beberapa detik. Tatapan itu membuat tubuh Vania semakin panas dan gugup. Ada sesuatu di mata pria itu—bukan tatapan ayah, bukan tatapan penjaga. Tapi tatapan pria dewasa yang baru sadar bahwa gadis kecil yang ia tampung tidak lagi kecil. Vania langsung membuang wajahnya. Tidak boleh terlalu berharap. Tidak boleh. Ia mengambil gelas, isi air, tetapi tangan tremornya membuat air sedikit tumpah. Dia menggigit bibir, ingin mati rasanya karena malu. Jevan mendekat, mengambil kain lap, mengeringkan meja. "Pelan saja, Vania," ucapnya lembut. "Kamu masih mengantuk, ya?" Nada hangat itu membuat Vania nyaris ingin menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena dia tahu, dirinya bisa jatuh lebih dalam lagi kepada pria itu. Ia meneguk air cepat-cepat lalu berjalan menjauh ke arah ruang keluarga, mencoba mengatur napas. Tetapi Jevan mengikuti dari belakang. Vania berhenti. Jevan berdiri dekat sekali. Terlalu dekat. "Kamu tidak biasanya pakai baju seperti itu pagi-pagi," kata Jevan lirih. Jantung Vania terasa seperti meledak. Ia menahan napas. Suaranya bergetar saat dia menjawab. "Aku… k-kepanasan tadi malam." Vania memaki dirinya dalam hati. Jawaban apa itu?! Terdengar sangat menggoda tanpa disengaja. Jevan terdiam beberapa detik. Tatapannya turun sebentar ke leher Vania, lalu naik lagi. Vania merasakan seluruh kulitnya merinding. "Tidak sakit badanmu? Tidak masuk angin?" tanya Jevan akhirnya, suaranya terdengar seperti ia menahan sesuatu yang tidak ia sadari. Vania menggeleng cepat. "Enggak… aku baik-baik saja." Pagi itu terasa panjang sekali bagi Vania. Selain grogi, dia terus memikirkan pertanyaan yang sejak semalam membuat dadanya sesak. Siapa wanita itu? Kenapa di pelukan Jevan? Apa Jevan sering membawa wanita ke rumah? Dan… apakah Vania pantas cemburu? Saat Jevan berjalan kembali ke dapur, Vania duduk di sofa ruang tengah, menatap layar TV yang tidak ia pahami. Dia memegang pipinya yang panas, memikirkan langkah berikutnya. Haruskah dia mencoba mendekati Jevan? Lebih agresif? Lebih berani? Atau menunggu? Tetapi menunggu hanya membuat Jevan semakin jauh, semakin sulit diraih. Pria seperti Jevan bukan tipe yang sendirian terlalu lama. Selalu ada wanita yang ingin memilikinya. Sudah banyak, dan Vania tahu itu. Dan kalau dia terus diam, suatu hari dia mungkin akan melihat Jevan menggandeng wanita lain—wanita dewasa yang jauh lebih cocok. Pikiran itu membuat hatinya ngilu. Vania meremas rok pendeknya. "Kalau aku tidak bergerak sekarang, aku bakal kehilangan dia," gumamnya pelan. Dia menatap ke arah dapur. Cahaya matahari memantulkan siluet tubuh Jevan. Pria itu bergerak tenang, dewasa, maskulin, terlalu menawan untuk dibiarkan begitu saja. Dan Vania sadar… dia tidak hanya menyukai Jevan. Dia menginginkannya. Wanita yang gila itu memikirkan langkah besar. Langkah yang bisa jadi keputusan terbodoh dalam hidupnya, tapi juga bisa menjadi satu-satunya kesempatan mendekati pria itu. Vania menggigit bibir bawahnya, mengumpulkan nyali. Dia tidak lagi mau menjadi gadis kecil di rumah ini. Dia ingin Jevan melihatnya sebagai perempuan. Sebagai seseorang yang bisa ia sentuh, ia peluk, ia miliki. Dan pagi itu, tekad itu tumbuh semakin kuat. Jika Jevan belum menikah… maka peluang itu masih ada. Dan Vania akan mempertaruhkan semuanya. Untuk memiliki Jevan. Walaupun harus mengorbankan harga dirinya memiliki lelaki yang begitu jauh umurnya di atasnya. Vania tak peduli. Umur bukanlah penghalang yang terpenting ... Vania bisa memuaskan lelaki itu di atas ranjang nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN