Pagi itu udara masih dingin, matahari pun belum sepenuhnya naik, namun Vania sudah bangun lebih dulu. Rambutnya ia ikat ke belakang dengan rapi, wajahnya diberi sedikit sentuhan tipis bedak agar terlihat segar. Tidak ada lipstik mencolok, hanya sedikit pelembap bibir yang membuat bibirnya tampak lembab alami.
Dia menatap dirinya di cermin kamar, memastikan penampilannya tidak terlalu berlebihan namun tetap cukup untuk membuat Jevan melihatnya sebagai perempuan. Pakaian olahraga yang ia pilih bukan kebetulan. Legging hitam ketat yang menempel di tubuhnya seperti kulit kedua, serta sport bra abu-abu yang memperlihatkan perut ratanya. Jaket tipis yang tidak ia rekatkan ritsletingnya dibiarkan sedikit terbuka, memperlihatkan bentuk tubuhnya tanpa terlihat vulgar.
Vania menarik napas pelan.
Inilah hari di mana ia ingin Jevan melihatnya.
Bukan sebagai gadis yang ia tanggung… tapi sebagai perempuan yang bisa membuat pria dewasa itu berhenti bernapas sejenak.
Dia turun ke lantai bawah dengan langkah ringan. Aroma kopi sudah tercium dari dapur.
Ketika ia masuk ke ruang makan, Jevan sedang menuangkan kopi hitam ke dalam mug. Pria itu memakai kaus gym hitam yang membentuk dadanya, dan celana training yang melekat di pinggang dan paha.
Saat Vania melangkah masuk, Jevan menoleh.
Tatapannya langsung jatuh pada Vania.
Terdiam.
Vania mendekat, bibirnya tersenyum lembut.
"Selamat pagi, Papa."
Kata itu meluncur begitu natural, seolah ia sudah bertahun-tahun memanggilnya begitu.
Padahal baru semalam dia memutuskan memanggil Jevan sebagai papa, karena dia sadar itu membuat dirinya semakin dekat, semakin melekat, dan Jevan akan semakin memperhatikan dirinya.
Jevan membalikkan tubuh sepenuhnya.
Tatapannya turun ke pakaian olahraga Vania, lalu naik lagi ke wajah gadis itu.
Untuk beberapa detik, Jevan hanya terdiam.
Vania bisa melihat rahang Jevan mengencang sedikit.
Dia menangkap itu sebagai tanda bahwa penampilannya berhasil memberi efek pada pria itu.
"Apa… kamu bangun lebih pagi dari biasanya," ucap Jevan akhirnya, suaranya sedikit serak pagi-pagi.
Vania tersenyum manis, sengaja membiarkan jaketnya sedikit bergeser sehingga bahunya terlihat.
"Aku ikut Papa gym pagi ini."
Jevan memandangnya, seperti memproses apakah ia salah dengar atau tidak.
"Kamu mau ikut?"
"Iya. Papa sudah bilang kan, aku boleh ikut kapan saja," jawab Vania sambil mendekat, duduk di kursi sebelah Jevan.
Pria itu mengangguk pelan.
Tatapannya kembali turun ke legging ketat itu.
Dan Vania tahu dia menang hari itu.
Setidaknya langkah pertama berhasil: membuat Jevan memandangnya bukan sebagai anak.
Jevan memalingkan wajah seolah ingin menjaga jarak, tetapi mata itu diam-diam kembali melirik ketika Vania meregangkan tubuhnya perlahan. Gerakan kecil itu membuat tubuhnya terlihat lebih ramping dan lentur.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Jevan.
"Belum. Tapi nanti saja. Aku ikut Papa dulu."
Jevan mengangguk dan mengambil kunci mobil.
"Ayo berangkat sebelum gym penuh."
Vania bangkit berdiri.
Ketika ia berdiri, posisi jaketnya sedikit turun, membuat garis tubuhnya semakin terlihat.
Jevan sempat menatap sekilas — tidak lama, tapi cukup untuk membuat perut Vania terasa seperti penuh kupu-kupu.
Mereka keluar rumah.
Udara pagi menyegarkan kulit.
Vania masuk ke mobil, dan Jevan duduk di kursi pengemudi.
Saat mobil melaju, Vania memperhatikan profil wajah Jevan. Pria itu tampak serius menyetir, namun dari sudut mata, Vania tahu Jevan masih memikirkan penampilannya.
Vania sengaja mengikat ulang rambutnya, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Gerakan itu membuat jaketnya naik sedikit, dan perutnya tampak sempurna.
Jevan menelan ludah pelan.
"Tolong pakai sabuk pengamannya, Vania," ucap Jevan, suaranya sedikit tegang.
Vania tersenyum kecil.
Ia dengan sengaja mencondongkan tubuh ke depan, mendekati Jevan, meski sabuk pengaman ada di sisi berlawanan.
Gerakan itu membuat aroma tubuhnya tercium oleh Jevan.
"Aku pakai kok, Papa."
Suara Vania lembut, nyaris seperti bisikan.
Jevan mengangguk cepat, kembali memfokuskan diri pada jalan.
Dan Vania menikmati setiap detik rasa gugup yang terlihat di wajah pria itu.
Sesampainya di gym, tempat itu masih belum ramai.
Lampu-lampu terang, musik pelan, dan aroma mesin treadmill yang baru dinyalakan memenuhi ruangan.
Jevan masuk duluan, lalu Vania mengikuti dari belakang.
Beberapa pria melirik ke arah Vania, namun Vania tidak peduli.
Yang ia pedulikan hanyalah Jevan.
Bagaimana pria itu menatapnya.
Bagaimana pria itu mengamati setiap langkahnya.
Dan bagaimana Jevan tampak lebih diam dari biasanya—seolah menahan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Vania naik ke treadmill sebelah Jevan.
Ia berlari pelan, tubuhnya bergerak ritmis.
Jevan berlari di treadmill sebelahnya, namun mata pria itu beberapa kali menoleh, memerhatikan.
Tubuh Vania berkeringat tipis, membuat kulitnya terlihat berkilau.
Legging hitam itu semakin menempel saat ia mulai berkeringat.
Sport bra-nya juga mulai lembab dan memperlihatkan garis tubuhnya lebih jelas.
Vania tahu.
Dia sadar betul.
Dia sedang menggoda.
Tapi menggoda secara halus, natural, dan tidak terlihat murahan.
Setelah lima belas menit, Vania memegang pinggiran treadmill, mencondongkan tubuh ke depan dan bernapas terengah.
Posisi itu membuat punggungnya membentuk lengkungan sempurna.
Jevan langsung memalingkan wajah, tapi dia terlambat.
Vania melihat semua itu.
Reaksi kecil.
Tatapan yang tidak bisa dibohongi.
Saat latihan beban, Jevan mengangkat barbel sambil sesekali memperhatikan Vania dari cermin besar di dinding.
Vania sengaja membungkuk sedikit saat mengambil dumbell yang jatuh.
Pelan, elegan, namun cukup untuk membuat Jevan berhenti mengangkat barbel beberapa detik.
Ketika Vania berdiri lagi, pandangan mereka bertemu.
Vania tersenyum kecil.
Jevan cepat-cepat memalingkan wajah.
Itu saja sudah cukup membuat hati Vania mekar.
Dia berhasil.
Dia sudah mulai mengusik batas yang selama ini dipertahankan Jevan.
Setelah sesi gym selesai, Jevan mengambil handuk kecil dan mengusap lehernya.
"Kamu kuat juga, Vania," kata Jevan, suaranya terdengar hangat.
Vania menatapnya sambil mengusap keringat di lehernya pelan.
"Aku bisa kuat selama Papa ada di sebelahku."
Jevan terdiam.
Pria dewasa itu tidak langsung menjawab, hanya menatap Vania dengan tatapan yang tidak bisa didefinisikan.
Ada ketertarikan.
Ada penyangkalan.
Ada rasa bersalah yang tidak perlu.
Ada kesadaran bahwa gadis itu…
bukan lagi gadis kecil.
Vania mendekat setengah langkah.
Jarak mereka begitu dekat hingga napas Vania menyentuh kulit Jevan.
"Papa…" ucap Vania pelan.
"Aku senang bisa ikut Papa hari ini."
Jevan hanya bisa mengangguk pelan.
Tidak berani bicara.
Tidak berani bergerak.
Karena jika ia bergerak sedikit saja…
dia mungkin akan menyentuh Vania tanpa sadar.
Dan Vania tahu itu.
Itu membuatnya semakin yakin.
Dia sudah mulai memasuki dunia Jevan.
Perlahan…
halus…
tapi pasti.
Langkah pertamanya berhasil.
Sekarang tinggal bagaimana membuat Jevan tidak bisa mengalihkan pandangan lagi.
Dan itu akan menjadi langkah yang jauh lebih berani untuk membuat Jevan menjadi miliknya.