Sudah beberapa kali mereka kembali ke topik yang seperti ini. Hasilnya malah mereka diam-diaman dan berujung Dante tetaplah yang meminta maaf atas percakapan yang sama sekali tidak ia inginkan. Dante langsung menenggak air putih dingin yang baru saja ia tuangkan dari botol yang ia ambil dari lemari pendingin yang berada di dapurnya.
“Ka, aku katakan sekali lagi. Aku tidak akan menikah lagi. Aku ingin sendirian saja sekarang. Lagipula untuk urusan Daanya, bukankah ada Kaka yang akan mendampingi dan menjaganya? Memang Kaka sudah tidak ingin lagi menjaganya, sudah tidak sayang lagi padanya?” ucap Dante dengan nada kesal.
“Tidak bukan seperti itu maksud Kaka, Dante. Kaka akan terus menyayangi dan mendampingi Daanya. Kaka bahkan menganggap Daanya sudah seperti anak kaka sendiri, walaupun dia bukan anak dari rahim kaka. Oklah kita jangan bicara tentang Daanya. Kita bicara tentang kamu sendiri. Apa kamu tidak akan merasa kesepian? Biar bagaimanapun, kamu butuh sosok pendamping yang akan bisa menemanimu saat kamu sedang sakit, senang dan kamu bagi rasa lelah dan susahmu. Memangnya kamu bisa membagi setiap rasa yang kamu rasakan pada kaka? Tentu saja tidak bisa, Dante. Kaka punya mas Chris yang juga butuh kaka sebagai pendampingnya. Tolonglah kamu fikirkan sekali lagi. Sekali lagi tolong jangan pernah berfikir kaka sudah tidak menyayangi Daanya lagi. Kaka sungguh-sungguh menyayanginya seperti anak kaka sendiri.” Ucap Deliza dengan penuh kesabaran dan nada memohon pada adik satu-satunya itu.
“Ya, aku tau …” Dante hanya menjawab sekenanya.
“Kaka harap kamu mau fikirkan dirimu sendiri. Kamu juga tidak akan selalu muda dan sehat. Kita semua pasti akan menua dan memang itu sudah jalannya. Fikirkan jika kamu sedang sakit bagaimana dan siapa yang akan merawatmu?” Deliza memberikan argumennya lagi.
“Ada Daanya yang nantinya akan merawatku. Memangnya Kaka tidak akan mengizinkan Daanya untuk merawatku ketika aku sakit nanti?” sungut lelaki tampan tapi bertato itu.
“Astaga, jangan berfikiran negatif kamu sama kakamu ini, Dan. Tentu saja kaka pasti akan mengizinkannya. Tapi bagaimana jika saat itu Daanya butuh konsentrasi untuk belajar dan apa kamu bisa membayangkan jika suatu saat Daanya menginginkan keluar negeri untuk bersekolah. Apa kamu akan melarangnya? Atau jangan-jangan kamu malah ingin mengikutinya ke manapun Daanya pergi?” Deliza sedikit kesal dengan pertanyaan yang Dante ajukan. “Jangan banyak alasan Dan. Kaka minta kamu datang besok sore jam 5 ke Tasty Resto. Frea akan menunggumu di sana. Untuk urusan Daanya, aku akan menjemputnya besok siang sebelum jam makan siang. Mas Chris ingin mengajaknya ke mall. Jadi kamu tidak perlu takut dan bingung membawa Daanya ketika bertemu dengan Frea.” Ujar Deliza pada adik satu-satunya itu.
“Tapi Ka,” Dante ingin membantahnya.
“Papi ….” Panggil seorang gadis kecil yang memanggilnya dari arah depan kamarnya.
Dante langsung menoleh ke arah sumber suara dan melihat gadis kecil nan cantik itu yang kini mengalihkan atensinya. Lelaki tampan namun bertato itu langsung menaruh gelas yang sedari tadi ia pegang di kitchen island di dapurnya yang bernuansa putih.
“Apa Sayang?” tanya Dante begitu Daanya menghampirinya.
Tak lupa lelaki itu tersenyum lalu menggendong Daanya ke dalam pelukannya.
“Sudah, kamu urus Daanya dulu. Tolong sampaikan cium ibu untuk Daanya.” Ujar Deliza kemudian mematikan sambungan telponnya.
“Iya,” Dante juga langsung menaruh ponselnya di kantung celana joger hitam yang dipakainya.
“Papi bicala cama capa?” tanya bocah itu dengan muka yang masih mengantuk.
“Sama ibu Sayang, yuk kita tidur lagi. Daanya mau apa? mau s**u lagi atau air putih?” tanya lelaki itu dengan penuh kelembutan.
“Daanya mau dipeyuk Papi,” ucap anak itu kemudian melingkarkan tangannya di leher Dante.
Dante langsung tersenyum begitu Daanya memeluknya. Lagi-lagi ia sangat bersyukur karna kakanya benar-benar sukses mendidik anaknya dengan baik. Daanya begitu penurut dan juga sangat menyayangi dirinya.
“Yuk sekarang kita tidur lagi ya,” ajak Dante kemudian memeluk gadis kecil itu dan mengusap-usap punggungnya dengan sayang.
Daanya tak menjawab apapun, ia hanya menganggukkan kepalanya di ceruk leher Dante.
/ / / / / /
“Sekarang kita makan dulu,” kata Arik yang kini sudah menjijing kantung-kantung belanjaan berwarna coklat yang baru saja ia terima dari seorang lelaki yang mengantarkannya ke unit Aleta.
Lelaki itu tiba-tiba saja memesan layanan delivery order makanan cepat saji dari salah satu restoran yang terletak tak jauh dari apart milik Aleta. Nyatanya, mereka bertiga lapar juga setelah mendengarkan Aleta bercerita tentang apa yang terjadi dengan dirinya dan papahnya tadi pagi. Cerita dari Aleta sangat menguras emosi. Aleta dan Sienna saling bertukar pandangan. Mereka tak menyangka Arik akan sebegitu perhatiannya pada mereka. Dan kini dengan sigap lelaki itu membelikan makanan untuk mereka santap bersama.
“Ka, Na … makasih banget ya,” ujar Aleta begitu mereka bertiga sama-sama duduk di meja makan untuk menikmati makanan yang tersaji di depan mereka.
Walaupun bukan masakan yang istimewa, setidaknya makanan-makanan ini cukup untuk mengisi perut mereka yang sedang kelaparan.
“Makasih untuk apa, Sayangku?” tanya Sienna yang kini merangkul sahabatnya.
“Ya, kalau tidak ada kalian berdua sekarang di sini. Mungkin gw masih menangis karna terlalu kecewa dengan papah. Sungguh, ucapan papah benar-benar keterlaluan.” Ucap gadis itu yang kini mendung lagi karna perkataannya sendiri.
“Enggalah, kami akan selalu ada buat lo Ta. Lo ga usah khawatir, tadi kan gw sudah bilang kalau gw, Arik, dan keluarga gw akan selalu ada buat lo.” Kata Sienna kini menyandarkan kepalanya pada kepala Aleta.
Wajah Aleta yang tadinya mendung kini mulai sedikit-sedikit mau mengulas senyuman. Arik hanya bisa memandang kedua sahabat yang berada di depannya dengan senyuman tanpa mau menginterupsi kedekatan mereka.
“Udah jangan mendung-mendung mulu mukanya. Ntar ngalahin langit, mendingan sekarang kita makan. Udah pada lapar kan?” Ajak Arik pada kedua gadis yang berada di depannya.
Sienna langsung melepaskan rangkulannya dan kemudian mengeluarkan satu per satu kotak makanan dari kantung-kantung belanjaan berwarna coklat itu.
“Selamat makan,” ucap Aleta setelah berdoa.
“Selamat makan,” Arik dan Sienna juga berucap berbarengan sambil saling menatap satu sama lainnya.
Sienna sendiri menatap Arik dengan tatapan sengitnya. Sedangkan Arik malah tersenyum melihat tatapan dari kekasihnya itu. Biar bagaimanapun, Arik tau Sienna sedang kesal padanya. Tapi ia biarkan saja. Masih banyak waktu untuk mereka saling bicara tentunya ketika sedang tidak ada orang lain di sekitar mereka. Aleta sendiri tidak menyadari apa yang sedang dilakukan Sienna dalam beberapa detik yang lalu karna terlalu sibuk dengan makanan yang berada di depannya. Baru malam ini dirinya bisa makan. Walaupun perutnya kosong sejak siang. Tapi memang nyatanya ia tidak merasakan lapar karna sakit hati dengan ucapan papahnya sendiri.
/ / / / / /
Ting tong ting tong.
Suara bell ditekan oleh seseorang langsung terdengar begitu Sienna sedang mencuci tangannya di washtafel dapur. Arik sedang menata kasur kecil dibagian bawah ranjang kasur king size yang berada di kamar Aleta. Sedangkan Aleta sendiri sedang mengganti pakaiannya di walk in closet yang berada di kamarnya. Arik yang juga mendengar bunyi bell itu langsung keluar untuk mencari tahu siapa yang datang malam-malam begini ke apart Aleta.
Aleta sendiri tidak bilang apapun jika ia sedang menunggu seseorang untuk datang dan membuat Arik sendiri bertanya-tanya. Ternyata Sienna berusaha mencari tau kedatangan seseorang di depan unit melalui video door entry yang terpasang pada pintu unit apartemen milik Aleta, sahabatnya. Terlihat seorang wanita sedang berdiri di depan pintu unitnya. Wanita itu terlihat sangat elegan dengan balutan dress tanpa lengan berwarna hitam. Tak lupa, wanita itu juga menjinjing tas keluaran rumah mode dari Paris pada tangan sebelah kirinya yang berwarna hitam juga.
Wanita itu masih menunggu sang penghuni unit membukakan pintu untuk dirinya. Namun dalam 3 menit pertama tak ada satupun yang membukakannya. Arik segera menyusul Sienna yang masih mencari tau siapa yang datang. Sienna tidak mungkin sembarangan membukakan pintu sedangkan ia tidak tau siapa di luar sana yang ingin bertamu malam-malam begini.
“Siapa Sayang?” tanya Arik begitu Sienna memperhatikan dengan seksama wanita yang berada di depan pintu unit Aleta.
“Tante Eva, Sayang.” Sienna memberitahukan pada Arik wanita yang berada di unit apartemennya.
“Apa perlu kita bilang dulu pada Aleta? Jika dia datang ke sini?” tanya Arik pada Sienna, ia meminta pendapat pada kekasihnya itu.
Ting tong ting tong.
Bell dibunyikan lagi oleh wanita itu.
“Aku rasa ….” Sienna terlihat ragu dengan kalimat yang ingin ia sampaikan.
Tak lama, Aleta datang dan melihat sahabatnya itu sedang kebingungan.
“Ada apa?” Aleta bertanya sambil melangkah mendekat pada Arik dan Sienna yang masih bergeming di tempat mereka berdiri sebelumnya.
Arik langsung menunjuk layar LCD kecil yang dipasang di dekat dapurnya untuk mengecek keadaan di luar atau untuk berkomunikasi dengan pihak gedung. Aleta langsung melihat ke layar LCD dan sedikit membeliakkan matanya karna orang yang sedang berdiri menanti dibukakan pintu adalah orang yang menjadi sumber perdebatannya dengan papahnya. Dan lagi-lagi wanita itu menekan bell untuk yang kesekian kalinya.
“Aleta buka pintunya, saya tau kamu ada di dalam!” ujar wanita yang sedari tadi menunggu untuk dibukakan pintu itu kini menggedor pintu unitnya.
“Gw ga mau ketemu dia.” Aleta langsung mengambil keputusan.
“Lo ga bisa begitu, Leta. Mau sampai kapan seperti ini?” Arik mencoba memberikan pendapatnya.
“Tapi gw ga mau ketemu dia, Ka!” Aleta bersikeras.
Dok dok dok dok
“Saya tau kamu di dalam Aleta! Buka pintunya!” titah wanita anggun itu.
Aleta yang tadinya tidak mau bertemu dengan wanita itu kemudian melangkah dengan tatapan matanya yang sudah menyalang emosi.
Cekrek!
Aleta menekan handle pintu berwarna silver yang terpasang di pintunya. Ia langsung bersitatap dengan wanita yang sedari tadi membuat keributan karna tidak membuka pintunya. Arik dan Sienna saling merapat satu sama lainnya.
“Mau apa Hah?!” sentak Aleta begitu matanya saling bertemu dengan wanita yang ia anggap sudah mengambil papahnya.
“Saya ke sini hanya ingin bicara baik-baik sama kamu, Aleta!” kata Eva dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin.
Eva bukannya pura-pura baik sebenarnya. Eva selalu bersikap baik sesungguhnya pada Aleta. Bahkan semenjak wanita itu diperkenalkan dengan gadis yang akan menjadi anak sambungnya, ia tidak pernah berkata dan berperilaku kasar walaupun nyatanya Aleta tidak pernah bisa menerima segala yang terjadi dengan kehidupan papahnya sekarang ini.
Eva juga melangkahkan kakinya masuk ke dalam unit apartemen yang suaminya beli untuk anak satu-satunya itu. Aleta tak melarangnya, ia ingin tau apa lagi yang akan dibicarakan dengannya. Eva melihat Sienna dan Arik yang berdiri berdampingan. Arik juga menggenggam tangan Sienna yang sepertinya tidak nyaman karna kedatangannya malam ini sempat membuat keributan. Eva yang melihat Arik dan Sienna langsung menyapa Sienna yang sudah ia kenal sejak gadis itu dekat dengan anak sambungnya.
Sienna juga sempat tersenyum tipis pada ibu sambung Aleta yang sejak dulu tak pernah disukai sahabatnya itu. Padahal, Sienna tau jika Eva tak pernah menyakiti Aleta sedikitpun. Bahkan untuk bicara saja Eva selalu menggunakan bahasa yang baik didengar oleh lawan bicaranya. Eva bahkan sempat berbicara dengan Sienna untuk mengetahui keadaan Aleta yang nyatanya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya.
Malah semenjak di Jakarta, Aleta semakin membuat dinding tebal untuk Salman dan Eva. Mereka bahkan tak bisa menjangkau anak mereka sendiri. Itulah sebabnya, Ia mencoba membangun komunikasi dengan Sienna. Yang untungnya tidak ikut-ikutan membenci dirinya. Ia benar-benar lega karna Aleta memiliki sahabat yang baik yang bisa menjaganya. Bahkan ia sangat bersyukur karna Aleta memiliki keluarga baru di Jakarta yaitu keluarga Shailendra yang begitu menyayanginya. Walaupun sebenarnya ia merasa iri karna tidak bisa membangun komunikasi yang baik dengan Aleta, anak sambungnya.
Eva bukanlah seperti ibu tiri dalam dongeng. Ibu tiri yang digambarkan sangat kejam, selalu tidak suka dengan diri anak sambungnya, dan selalu memperlakukannya dengan tidak baik. Malah dalam beberapa kasus dalam hubungan ibu sambung dengan anak sambungnya yang saling berbicara kasar satu sama lainnya ketika terlibat dalam suatu pembicaraan.
Tapi, Eva bukan tipe wanita seperti itu. Eva sesungguhnya begitu menyayangi Aleta. Mencoba memberikan yang terbaik untuk Aleta dan berkomunikasi dengan gadis itu secara baik. Tapi nyatanya Aleta menganggap semua yang dilakukan oleh Eva adalah akting belaka untuk mendapatkan hatinya dan sewaktu-waktu akan menendangnya keluar dari kehidupan papahnya.
“Ta, kita tunggu di luar ya.” Sienna kini mengambil langkah untuk membiarkan Aleta dan Eva berdua bicara dari hati ke hati.
Aleta hanya mengangguk walaupun sebenarnya ia tau jika sahabatnya itu tidak ingin ditinggalkan saja berdua dengan wanita yang sangat ia benci sejak masuk ke dalam kehidupannya.
/ / / / / /