bc

Di ujung restu

book_age16+
48
IKUTI
1K
BACA
goodgirl
sweet
coming of age
gorgeous
seductive
sacrifice
like
intro-logo
Uraian

"Aku ingin menikah lagi."

"Menikahlah, kamu sudah butuh pendamping."

🌻

"Aku ingin mengenalkan seseorang pada Ummi."

"Calon istri?"

"Iya."

"Bagaimana pendidikanmu?"

"Aku akan tetap melanjutkan, tapi aku ingin tunangan dulu."

Bagaimana, jika kedua anak lelaki sama-sama ingin menikah?

chap-preview
Pratinjau gratis
1
Semburat jingga sore itu mengilaukan setiap mata yang memandang. Keindahannya tak ada tandingan, karena kuasa-Nya bernaung di sana. Jingga itu, identik dengan senja. Waktu jeda pergantian sore menjelang malam. Dan, waktu itu banyak digunakan muda-mudi sekedar menghabiskan waktu penghujung sore atau mencari angle yang bagus untuk lensa. Dan, di sinilah aku berada. Di lantai atas, Tacaffe, dengan pria yang sudah mewarnai hariku dua tahun belakangan ini. Pria biasa yang membuat hari-hariku menjadi luar biasa. Sama seperti muda-mudi lainnya, yang duduk di sudut pilar menghadap langit yang akan segera berganti corak warna. Meski tak seusia mereka, aku bisa merasakan buncahan bergelombang ketika melihat semburat angkasa. "Aku ke musholla dulu!" Aku mengangguk, dengan seulas senyum mengiringi langkah priaku. Letupan pergantian semburat langit, datang bersamaan dengan kegembiraan ketika aku melihat wajah priaku. Ah... Maksudnya laki-laki yang sudah menjalin hubungan denganku. Adzan maghrib bertalu-talu, dari musholla yang terletak di samping Tacafee. Dan, bisa kutangkap, itu suaranya. Senyumku berkembang, dengan pikiran melayang. Dia memang masih muda, tapi sikapnya bisa mengimbangi kedewasaanku. Dan, setiap waktu, yang ia bicarakan, arah hubungan kami. Kadang, aku merasa minder karena usia dan juga statusku sebagai seorang janda. Tak pernah menyangka akan menjadi kekasih pria yang terpaut 8 tahun denganku, dan hatiku terpaut pada pria yang seharusnya menjadi adikku. Cukup lama, pikiranku berkelana, tentang sosok seorang Adib Cakrawala, mahasiswa yang memasuki semester akhir. Dan menjadi kekasihku. Hingga, bisa kudengar dehamannya dari belakangku. "Mikir apa, sih?" Senyumku mengembang, dengan manik tertuntun pada pria yang akan duduk berhadapan denganku. "Ingat, ini hari apa?" "Sabtu." Adib tersenyum, senyum yang selalu menggetarkan hatiku. "Beneran lupa?" Aku mengambil ponsel, dan melihat hari dan tanggal yang tertera di layar smartphone. Kemudian menunjukkan padanya, "Ini." Adib melihat sekilas, kemudian tatapannya kembali padaku. "Dua tahun yang lalu, kamu menerimaku." Mulutku terbuka, namun tidak ada satu katapun terucap. "Happy anniversary." Bibirku terkulum, mendengar ucapan Adib. Kegembiraan menyusup ke dalam relung dadaku. 30 tahun, dan baru kali ini aku merasa euforia yang mengugupkan sekaligus mendebarkan. Sebuah kotak yang sudah terbuka diletakkan Adib di atas meja, tepat di depanku. "Maaf. Anniv yang pertama tidak kita rayakan. Tapi, percayalah. Akan ada anniv selanjutnya." Aku mengaminkan dalam hati. Dua tahun bersamanya, LDR juga, namun tidak merenggangkan hubungan kami. "Bulan depan, aku Koas. Siap perjuangin LDR lagi?" Tawaku terasa ringan. Bagiku, dekat dan jauh sama saja. Yang penting komunikasi dan saling jujur. Tidak baik, untuk sering berdekatan karena status kami pacaran. Terlebih statusku. "Dan, minggu depan, aku akan ngenalin kamu ke ummi." Senyumku memudar, bersamaan kegamangan yang siap merenggut impianku setiap kali Adib membicarakan hubungan kami ke arah yang lebih serius. "Tidak terlalu cepat?" "Cuma bertemu. Bukan menikah. Karena, ummi mau aku menikah setelah menyelesaikan pendidikanku." Tanganku semakin dingin, maski rematan mengerat. Bukan tidak mau melangkah ke depan. Tapi, Adib masih muda. Lagipun, kekhawatiranku beralasan karena status janda yang melekat padaku, sejak lima tahun yang lalu. Bertemu dengan Adib, satu anugrah untukku. Apalagi, ketika hati kami saling jatuh pada rasa yang sama. "Bagaimana setelah koas-mu?" Mata Adib tampak tenang, hanya keryitan kening pemuda itu yang mengisyaratkan kebingungan. "Maksudku, biar kamu tenang saat kembali ke Jakarta nanti." dengan cepat kurakat maksud ucapanku. "Justru sebaliknya. Aku tidak akan merasakan tenang, sebelum mengenalkanmu pada ummi." Elaan nafasku terasa berat. Dilema kali ini sedikit menyiksa. Dari Adib, aku tahu bagaimana sosok ummi. Wanita yang sudah memberikan kasih sayang padanya. Dalam bayanganku, ummi itu baik. Perfect dan selektif pada pilihan anak-anaknya. Wanita itu, juga lembut meski tak terbantahkan. "Baiklah." Adib tersenyum. Matanya berbinar dengan semburat gembira. "Percayalah. Ummi pasti suka. Selain kamu berhijab, kamu keibuan. Beliau suka wanita sepertimu." Aku mengaminkan dalam hati. Mencoba berhusnudzon. Mengingatkan diri berkali-kali, tidak baik mendahulukan takdir. "Untukmu." Manikku memindai kotak yang disodorkan Adib. Kemudian, bergerak perlahan melihat manik jernih itu. "Buka dulu." Aku tahu se-berharga apa barang di dalam kotak tersebut. Walaupun aku tidak tahu jenis benda apa. "Adib---" "Hana." Hubunganku dengannya memang tidak pernah ada konflik. Aku dan Adib, sama-sama saling mengerti dalam hubungan kami. Mungkin, karena itulah, pemuda yang sudah mencuri hatiku mengambil sikap matang. "Pertemuan kita, hanya satu minggu. Paling lama sepuluh hari. Karena itu, ini sebagai tanda pengikat untukmu." Kotak hitam itu terbuka. Sebuah cincin emas. Dan, mampu menitikkan air mataku. Beriringan debaran yang tak menentu. Haru dan beban, datang bersamaan. Sanggupkah aku melangkah lebih lanjut?

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
57.1K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook