2

1820 Kata
"Adib..." "Tenang saja. Ummi ramah, nggak galak." Mataku mampu menyembunyikan rasa khawatir, tidak dengan hatiku yang sejak lima menit lalu, turun dari mobil Adib. Dan ketika Adib meninggalkanku di ruang tamu, kukumpulkan rasa percaya diriku, yang sempat tercecer saat mobil Adib memasuki pelataran rumahnya. "Siapa? Wanita yang kamu ceritakan itu?" "Dia ada di depan. Ummi temui dulu." Jantungku kembali bergemuruh, mendengar suara Adib dan Umminya. Meski tidak bisa melihat mereka, dari sini aku bisa menebak raut ummi Adib yang belum kukenali. "Sebelum Ummi bertemu dengannya, Ummi mau tanya dulu." Ucapan wanita yang disebut Ummi oleh Adib, kembali terdengar. "Kamu sadar, mau menikahinya?" "Adib sadar Mi." "Umurnya 30tahun, dan dia seorang janda? Kamu..." Kakiku dengan cepat berlari keluar, tidak sanggup mendengar kelanjutan kalimat yang sudah bisa ditaksir benakku. Air hangat mengalir, membasahi wajah yang kututup dengan jilbab. Pergi dalam keadaan perasaan yang meluruh itu, nyata sesak. Namun, harus kulakukan agar hatiku tidak terlalu dalam membekas. Suara lembut ummi Adib terus terngiang. Dari tutur katanya, ummi Adib baik. Dan, aku tidak menyalahkan penilaiannya terhadap umur dan statusku. Tapi, air mataku tak ingin berkhianat. Nyatanya, ucapan itu sakit. Deringan gawai dalam tas tidak kutanggapi. Berkali-kali, dan aku bisa menulikan telinga sampai taksi yang kutumpangi berhenti di depan kontrakanku. Mengguyur tubuh dengan air dingin menjadi pilihanku, saat masuk ke rumah yang sudah ku tempati tiga tahun terakhir ini. Mencoba tidak mengingat lagi kejadian satu jam yang lalu. Ketukan pintu, bersamaan dengan panggilan masuk kuabaikan. Aku ingin tenang sebentar... ...sebelum memberi waktu untuk Adib bicara. "Hana! Buka, Hana!" Aku memejamkan mata, ketika suara Adib memanggilku dengan keras. Aku tahu... ...pria itu sama paniknya denganku. "Hana!!" Perlahan, pintu kubuka. Sosok Adib, berdiri di depanku dengan nafas terengah. "Kamu mendengarnya----" "Bisa kita bicara besok, Adib?" lebih baik esok, atau kapan saja. Asalkan jangan sekarang. "Hana---" "Kumohon." nada pintaku, menyuarakan kesungguhan. Adib melepaskan kusen pintu, tidak dengan matanya. Yang mungkin sama merahnya dengan mataku. Pintu kembali kututup, tanpa menunggunya pergi. Karena jujur, saat ini aku tidak bisa berbicara menggunakan logikaku. Dan, aku tidak ingin seperti itu. 'Aku di luar. Berat langkah ini pergi.' Pesan Adib meluruhkan air yang sudah tergenang sejak tadi. Dari balik tirai, aku melihatnya. Setengah tubuh laki-laki itu, memenuhi netraku. Gawai dalam genggamanku, kembali bergetar. 'Jangan mundur Han, kita berjuang bersama.' Tanganku meremat baju, menepuk d**a yang tak henti berdenyut, dengan rasa sakit yang menikam. Hatiku jatuh pada orang yang salah. Membuncahkan rasa pada ketenangan yang berujung sakit. 'Han...aku menyayangimu.' Dalam isak tangis, aku masuk ke kamar. Meninggalkan bayangan Adib, di luar sana. Harusnya, saat itu aku sadar. Harusnya, saat itu aku tahu diri. Pada siapa hatiku jatuh. Dia masih muda, masa depannya masih panjang. Dan, sangat tidak mungkin jika aku berdiri di sampingnya. Kenapa aku berani bermimpi, pada sesuatu yang tidak akan pernah bisa kugapai. Lelahku menuai mimpi... Mimpi yang pernah kulakukan dua tahun yang lalu, ketika menerima Adib menjadi kekasihku. Saat itu, ia menjadi mahasiswa yang sedang praktek di rumah sakit tempat ibuku dirawat. Intensitas pertemuan yang terlalu sering, membuat kami dekat. Hingga ibu keluar dari rumah sakit, hubungan kami terus berlanjut sampai ke tahap ini. Dua tahun, bukan waktu yang singkat untuk memutuskan rasa yang terlanjur menyelinap. Kami saling terbuka, jujur dan sabar atas hubungan yang sering LDR karena pendidikannya. Dia mengenalku dengan baik... Juga, keluargaku. Meski ia menceritakan keluarganya, aku sering menolak ketika Adib mengajakku bertemu dengan mereka. Alasanku, terbukti, kan? Hari ini... ...aku mendengar penolakan itu. ****** Kalau sedang berada di Jakarta, Tacaffe tempat yang sering kami kunjungi. Selain letaknya yang tidak terlalu dekat dengan pusat keramaian, tempat itu juga menyuguhkan kenyamanan bagi pengunjungnya. Lagipula, aku dan Adib sudah sangat dekat dengan pemilik cafe tersebut. Dan, pertemuan kali ini, harusnya terjadi dua hari yang lalu. Namun, sengaja kuundurkan dan bertemu dengan Adib hari ini. "Karena besok aku berangkat, makanya kamu ngajak ketemu hari ini?" Kupandangi wajah pria yang sudah mewarnai hatiku selama dua tahun. Sosok yang belum halal untuk kusandarkan keluh kesahku. "Maaf." Senyum Adib, meluruhkan asa yang sudah ku susun sejak di kostan. "Bicaralah Hana. Lebih dari kata maaf yang ingin kudengarkan." Tangan dalam pangkuan terasa dingin, dan basah. Irama jantung saling berkejaran. Apa yang akan kukatakan, tidak hanya membuat luka di hatinya. Tapi, untukku juga. Dan, aku harus mengatakannya. "Kita selesaikan saja, Adib." Kelopak mata jernih itu mengerjap sekali, raut bingung menghentakkan dadaku. "Kita di sini, memang akan menyelesaikan masalah beberapa hari yang lalu. Dan, aku juga akan menjelaskan semuanya." Adib tidak mengerti, "Hubungan kita Adib... Itu yang ingin kuselesaikan." Wajah pria itu pias, ada senyum getir yang tak ingin kumaknai di bibirnya. "Hana...jangan bicara sembarangan." "Aku serius Adib." "Farhana!" Ini kedua kalinya, Adib menyebutkan nama lengkapku, setelah perkenalan dua tahun silam. "Dari awal aku sudah pesimis dengan hubungan ini. Tapi, dengan tidak tahu diri, aku masih ingin bertahan." "Sekarang, kenapa memilih mundur?" Ketegasan suara Adib berkurang, seiring dengan perasaan pilu merambat ke ulu hati. "Kamu masih muda. Masa depanmu masih panjang, seandainya bukan aku yang mendampingimu kelak, bersyukurlah. Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang lebih baik." Embusan nafas Adib terdengar berat dan dalam. Kekecewaannya sama besar sepertiku. Matanya tak lagi melihatku, ada gusar dan amarah yang dipendamnya. "Aku tidak melepaskanmu. Setelah selesai koas, aku akan meyakinkan Ummi." "Adib." Tatapan Adib membungkam mulutku. Hanya mata, yang menguraikan kalimat yang akan kukatakan. "Dan, aku akan menikahimu, setelah semuanya selesai." Hatiku bergetar, menyaksikan kesungguhan cinta pemuda di hadapanku. "Adib---" "Tunggu aku Hana. Aku yakin bisa membuat Ummi menerima hubungan kita." Kamu tidak mengerti. Aku juga seorang wanita, mungkin akan menjadi Ibu jika saja Tuhan tidak menggariskan takdir ini untukku. "Seandainya aku berada di posisi Ummi, mungkin aku juga akan mengambil sikap yang sama. Semua Ibu di dunia ini, ingin yang terbaik buat anaknya." Nyatanya, isi hatiku tidak didengarkan Adib. Karena, sebuah kotak sudah berada tepat di hadapanku. "Simpan ini. Pakailah, ketika aku kembali." Kotak kedua dalam satu bulan ini. "Aku...tidak bisa menerimanya---" "Simpan saja." Kepalaku tertunduk, menyerap semua lara yang semakin merebak kian terasa pahitnya. Kesungguhan pria itu... Ketulusannya... Tidak ada percakapan selama kami berada di mobil menuju kostan. Pikiranku berkelana, bernostalgia pada akhir kisah yang tak berujung, hingga mobil Adib berhenti di depan konstan. "Angkat teleponku seperti biasa. Jangan menghindar." Insya Allah, sahutku dalam hati. "Aku turun." aku mengatakannya, tapi tubuhku tidak menyertai ucapanku. "Jaga diri baik-baik. Itu amanahku. Saat aku kembali, aku akan menjemputmu." Setitik air bening jatuh dengan sempurna. Karena ucapan Adib, mengisi kehangatan yang tidak pernah kosong selama dua tahun ini. Mungkin, ini akhirnya. Akhir kisahku dengan Adib Cakrawala. ****** 'Jangan lupa sarapan, aku berangkat dulu.' Isi pesan Adib masih sama setelah dua bulan ia Koas. Ada titik temu yang memutuskan hubungan kami, namun tidak diterima pria itu. Setelah membalas pesannya, tanganku dengan cepat merapikan hijabku. Hari ini, hari pertama aku bekerja, tentu saja tanpa sepengetahuan Adib. Perusahaan tekstil terbesar di Bandung, menerima lamaranku. Tidak murni semata, karena ada campur tangan mantan kakak iparku mba Putri, yang merekomendasi. Pemilik perusahaan tempat yang akan kugeluti nanti, teman seperjuangannya dulu saat di bangku kuliah. Fasilitas keperluanku, juga ditanggung mba Putri selama berada di Bandung. Jabatannya di Firma hukum, cukup menghidupiku. Begitu, katanya. "Sudah selesai?" Suara mba Putri membuatku menoleh ke pintu kamar. "Sudah Mba." "Kita berangkat sekarang." Tanpa membantah aku mengikuti langkahnya keluar. Mengunci pintu apartemen sebelum meninggalkan tempat itu untuk delapan jam ke depan. "Kapan mau belajar nyetir?" tanya mba Putri ketika mobilnya keluar dari basement. "Tidak usah Mba. Aku bisa naik grab." Mba Putri berdecak, "Kamu belum tahu aja, gimana disiplinnya tempat kamu bekerja." Di mana-mana perusahaan memang menerapkan yang satu itu kan? "Seengganya, kalau bawa mobil sendiri, kamu bisa menghandle waktumu." Mungkin... Tapi...ini terlalu berlebihan. Fasilitas dan pekerjaan yang diberikan mba Putri sudah lebih dari cukup untuk membantu adik iparnya ini. Mobil mba Putri memasuki area parkir perusahaan. Cukup luas, dan berderet ratusan mobil di pagi ini. Degub jantung mengiring langkahku di samping mba Putri. "Gugup?" Aku memaksakan senyumku. "Dibawa santai aja. Mba dengar karyawan di sini ramah-ramah." Aku mengaminkan dalam hati. Berharap hari pertama bekerja semuanya akan berjalan dengan baik. "Bapak di dalam?" "Iya Bu." Bisa kulihat, interaksi mba Putri dan wanita yang lebih muda dariku terlihat akrab. Setelah wanita yang ku prediksi sekretaris atasanku itu mengubungi entah siapa, tidak lama pintu di depan kami terbuka. Dan sesosok yang muncul di hadapan kami berdiri tegap. Mba Putri menarikku ke dalam, setelah kami dipersilahkan masuk. "Aku anterin, biar kamu kenal dan karyawanmu nggak macem-macem sama adikku." Kalimat pertama mba Putri, tanpa pendahuluan yang baik itu semakin membuatku gugup. "Lagian interview kemarin, kamu nggak ada," sambung mantan kakak iparku. Karena kami dan atasan baruku duduk berhadapan, aku bisa melihat wajah atasanku. Satu kata... ...berwibawa. "Sebentar." Akhirnya aku bisa mendengar suara atasanku. Ia bangun, menghubungi seseorang dan kembali ke tempat kami berada. "Liana yang akan mengantarkannya." ucapan itu ditujukan pada mba Putri. Dan, tidak lama wanita yang kami temui di luar tadi masuk. "Antarkan ke Departemen supervisor produksi." Aku bersiap, memulai hari dengan kegiatan baruku. "Semangat Han, kabarin Mba saat jam pulang nanti." Aku memberikan senyum terbaikku pada mba Putri. Dalam hati mengucap ribuan syukur karena karunia-Nya yang di perantara melalui mantan kakak iparku. Meninggalkan ruangan atasan, aku berjalan di belakang Liana, sekretaris atasanku. "Family bu Putri?" "Iya," sahutku pelan. Liana menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dan memeluk lenganku, seperti kami sudah akrab. "Mereka pacaran?" Apa? Wajah Liana menghadap penuh ke arahku. Aku menggeleng, "Saya...tidak tahu." "Bu Putri sering ke sini. Dan, satu kantor akan heboh setiap kedatangannya." Benarkah? Kami melanjutkan langkah, dan tangan yang melingkar di lenganku tadi sudah terlepas. "Oya, kita belum kenalan. Namaku Liana, sekretaris terkece, dan ketua tim Lele turah di group perawan nggak laku-laku." Sementara tangan itu terulur, aku menetralkan suara batukku. Apa katanya tadi? Lele Turah dan perawan nggak laku? "Hana." nama singkat itu, kusebut perlahan karena tenggorokanku masih perih. "WA mu? Nanti kita akan satu group, biar kamu nggak ketinggakan info." Allahu... Siapa yang sedang mengajakku bicara sekarang? Dan, runtut t***l ku tidak sampai di sini, setelah nomor WA kuberikan, di depan ruanganku, aku juga menyetujui ajakan makan siang Liana. Perkenalan dengan sepuluh orang tim departemenku, berlangsung cepat. Karena mereka sedang disibukkan dengan pekerjaannya. Alhasil, hanya empat nama yang berhasil ku ingat. "Cek ini saja, sebagai awal kegiatan." lupa, entah siapa namanya, memberikanku sebuah draft. Aku mengangguk. Dan mulai research sub sesuai draft di layar komputer yang sudah menyala. Ada lima puluh draft per-sub yang ditampilkan layar. Satu persatu, jemariku men-ceklist data yang susuai dengan layar. Cukup menyita perhatianku, dari teman-teman baru. Angka dan huruf-huruf itu menempel dengan jelas di manikku. Hingga tepukan di bahu, menolehkan kepalaku. Dan melihat wanita bertubuh tambun dan masih cantik di usianya yang tidak muda lagi. Dia Mba Carla. "Makan siang dulu, ada yang nungguin di luar." "Terimakasih Mba," kataku sopan, dalam hati bertanya-tanya, siapa yang menungguku. Aku baru di sini, siapapun tak ku-kenal. "Lupa janji?" "Liana?" "Yuk. Mereka udah nungguin." Janji apa? Getar ponselku mengalihkan perhatianku dari Liana. 'Aku sedang makan siang di kantin. Kamu udah makan?' Dia... ...akan selalu ada, kapan dan di manapun aku sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN