Gimana kerjaanmu?"
"Sejauh ini baik-baik aja Mba."
"Teman-teman?" kejar mba Putri.
"Mereka baik, ramah juga. Aku mulai terbiasa dengan mereka."
Mba Putri menyeruput jus melonnya. Makan siang dihari kelima aku bekerja di perusahaan ini.
Ucapan Liana tempo hari memang benar. Tentang karyawan yang berdesas-desus saat mba Putri menungguku di kantin.
Dalam lift, aku juga mendengar kasak kusuk panas.
"Aksa gimana?"
Aku melihat mba Putri, ketika ia menyebutkan nama atasan kami.
Dan, bingung mendengar pertanyaan itu. "Gimana apanya?"
Karena setelah hari pertama aku dikantor, tidak pernah lagi melihat beliau. Dan, aku juga tidak berharap bertemu dengan orang nomor satu di Megatex itu.
"Ya atasanmu itu, apa lagi memangnya?"
"Aku bawahannya. Mana tahu. Lagian, kalau aku harus bertemu dengannya, pasti karena aku melakukan kesalahan."
Mba Putri tersenyum, senyum yang sedikit aneh. Dan, aku kembali teringat ucapan Liana tentang sesuatu antara mba Putri dan Pak Aksa.
Tapi, aku tidak berani bertanya, hal yang menjadi kekepoan Liana dan tim absurdnya.
Lagipula, haknya mba Putri berhubungan dengan siapapun, terlebih statusnya yang masih single.
Kematangan mba Putri sebagai wanita, membuatnya layak menjalin hubungan dengan pak Aksa, yang sama-sama sudah sukses di bidang mereka masing-masing.
"Ya janganlah, Han. Masa belum satu minggu kerja, udah kena skors!"
Aku tersenyum, saat mba Putri mengatakan itu. Layaknya ibu yang sering mengomeliku.
Makananku sudah habis, tapi isi piring mba Putri masih tersisa.
"Udah mau jam dua, aku tinggal ya Mba."
"Oh oke! Mba nunggu Aksa nih, mau ke sini katanya."
Ucapan mba Putri tidak kutanggapi lagi. Bergegas aku mengambil dompet juga ponselku, meninggalkan mba Putri karena harus kembali ke ruangan.
Mengerjakan tugas yang kutunda sejak jam makan siang. Biasanya, aku titip makan siangku pada Dara, teman divisiku. Tapi, karena ajakan mba Putri, aku berakhir di kantin yang ada di lantai dua.
"Lemburnya nggak bisa ditunda?"
Mataku teralihkan pada sosok Dara yang baru saja masuk.
"Kenapa?" mba Carla bertanya dengan lipatan keningnya.
Wajah muram Dara terlihat jelas.
"Jadwal dating-ku, malam ini. Lagian, kenapa mendadak lembur sih? Biasanya juga info dulu jauh-jauh hari."
Mataku kembali fokus pada objek dalam layar. Sesekali menyimak keluhan Dara, serta kekehan uda Roni dan celutukan Cipta.
"Dating tanpa ujung. Nggak bosan lo?"
"Bosan apanya? Malah gue bosan nyandang status perawan."
"Mulut lo, beneran lulusan UI?" suara Cipta terdengar sinis.
"Mau lembur satu minggu? Ngobrol aja di situ!" pedes dan nusuk, kalimat mba Carla mengakhiri obrolan tersebut.
Aku sendiri tidak berani melihat mba Carla. Selain ucapannya benar, dia juga yang paling tua di antara kami.
Tumpukan berkas dari lapangan, sudah tertumpuk di mejaku juga teman-teman. Banyak data yang harus kami periksa sebelum diserahkan pada tim penyeleksi.
Butuh kejelian dan konsentrasi penuh, ketika mengolah lembaran-lembaran tersebut.
Pernah aku berpikir, menjadi supervisor tidak sesulit yang sedang kuhadapi sekarang. Tapi, kini aku tahu kerumitan pekerjaan ini.
Namun, ada syukur yang terselip. Karena, pekerjaan ini adalah keinginan yang harus tertunda dulu.
Ketika layar ponsel menyala, karena notice pesan, aku sempat melirik angka jam.
Kumundurkan bangku, agar memiliki akses untuk merenggangkan otot tangan juga leher yang terasa kaku, karena sudah hampir empat jam berada di depan layar.
"Capek Han?"
Senyumku terbit, membalas tanya Dara. "Lumayan."
Sepertinya, dia sudah lama memutar kursinya ke arahku, karena melihat bagaimana santai posisinya.
Departemen kami cukup luas, untuk sebelas orang. Dengan letak meja kerja berjarak dua meter. Ruangan ini juga lengkap dengan kulkas mini dan dispenser.
Ada dua buah sofa besar, yang diletakkan di depan kaca pembatas bangunan. Yang berhadapan langsung dengan gedung pencakar lainnya.
"Maaf, Han. Lo kerja seharian begini, anak-anak sama siapa?"
Kegiatanku yang sedang membuat segelas kopi latte instan, terhenti. Hanya sebentar, karena selanjutnya aku mengaduk minuman panas ini setelah ku-masukkan gula takar, dan membawa cup tersebut ke meja kerjaku.
"Aku nggak punya anak."
"What!?"
Pekikan Dara, menarik perhatian teman-teman yang sedang fokus pada pekerjaan mereka.
Dara berdeham, sambil memamerkan giginya.
"Serius lo?"
"Hm."
Mataku sempat melirik pada teman-teman yang lain. Yang terganggu karena suara Dara.
Teman-teman divisiku, welcome dengan statusku. Tidak ada yang menanyakan kelanjutan status yang sedang ku sandang.
"Lo nggak niat nikah lagi?"
Pertanyaan Dara ditertawakan Cipta, "Lo yang ngebet, kenapa limpahin ke Hana?"
Dan Cipta, mendapat tatapan tajam Dara.
"Eh laki, ini obrolan cewek. Terang ya kuping lo!"
Cipta tertawa.
Mba Carla, Roni, Hasna, dan juga Pandu terlihat sudah bergerak. Ada yang membuat kopi, pindah ke sofa juga ada yang ke kamar kecil.
Sementara empat lainnya, Gio, Meta, Fany dan juga Tama, sudah duluan keluar. Membeli pesanan makan malam kami.
Dari semua teman-teman divisiku, ada enam orang yang sudah berkeluarga. Dan empat di antaranya masih jomblo.
"Kalian ngobrolnya di tempat terbuka. Jangan salahin kuping gue dong!"
Aku tersenyum mendengar pembelaan Cipta. Salah satu jomblo yang tidak akur dengan dengan Dara.
"Mba Putri siapa kamu, Han?"
Kini mataku tertuju pada Hasna, wanita yang sudah memiliki satu anak.
"Mbak-nya almarhum suamiku."
"Wah, kalian sedekat itu ya? Padahal, statusnya udah mantan."
Iya, keluarga almarhum Bagaskara, memang sebaik itu. Mereka hanya berdua, tidak ada sanak saudara yang lain.
"Lo pasti udah dengar gosip mantan kakak ipar lo, secara lo juga pernah keluar dengan sekretarisnya si Bos."
Akhirnya, aku kembali mendengar kabar itu.
"Atau, lo sebenarnya sudah tahu, hubungan mantan kakak ipar lo dan pak Bos?"
Kali ini, lagi, aku membalas dengan senyuman. Karena, sungguh aku tidak tahu menahu kejelasan kabar itu.
"Sumpah Ra. Gue baru tahu, lo sama si Liana itu kembar!"
"Apasih lo, cunguk!?"
Dara melempar pulpennya ke arah Cipta yang berdiri tidak jauh darinya.
"Dara, Departemen kita bersih dari area gosip. Selentingan apapun, tidak kita bicarakan di sini. Apalagi tentang atasan kita. Orang yang memberi tunjangan hidup untuk keluarga kita!"
"Mamam tuh!!"
Setiap ucapan Mba Carla, selalu bijak dan menimbulkan keseganan yang luar biasa pada diriku.
Semprotan Cipta ditanggapi tatapan tajam oleh Dara, tidak pada mba Carla. Meski tidak sesegan diriku, Dara cukup menghargai wanita itu.
Pintu ruangan terbuka, oleh empat orang yang diberi tugas untuk membeli makanan.
"Tiga bungkus nasi Padang, empat bungkus pecel lele. Dua roti bakar, dan dua burger. Kepada pemesan, diharap mengambil pesanannya sesuai selera!" pengumuman Tama, jomblo yang juga sering mengusili Dara membuat kami tertawa.
Dan, kali ini, aku juga melihat tawa mba Carla.
"Minuman gue?" Dara melesak di kerumunan teman-teman. Sedang aku, menunggu di sofa.
Menyesap kopi latte, sambil menikmati suasana senja. Ponselku tak henti bergetar, menandakan panggilan masuk.
Aku, tidak pernah menerima panggilan di kantor, kecuali berbalas pesan. Itupun jika penting atau sempat.
Kadang, aku baru membuka pesan ketika berada di apartemen. Dan, rentetan pesan Adib lah yang paling banyak.
"Makan dulu Hana."
"Iya Mba," sahutku kalem.
Mba Carla duduk di sebelahku, diikuti Dara, Fany, Meta, dan Hasna.
Hasna, Fany dan Meta sudah berkeluarga. Jadi, busa dikatakan Dara yang masih jomblo di antara kami. Aku sendiri? Jangan masukkan, karena statusku berbeda, meski sudah janda.
Mereka menikmati makan malam, sembari menunggu adzan maghrib.
Aku juga membuka bungkusan nasi padang. Dan menikmati makan malam pertamaku dengan teman-teman sekaligus lembur pertamaku.
Karena aku sedang halangan, tinggallah aku dengan mba Carla. Karena yang lain bersiap ke musholla yang ada di lantai atas departemen kami.
"Pertanyaan Dara nggak usah diambil hati. Dia memang secerewet itu."
Ucapan mba Carla menghentikan kunyahanku.
"Tidak baik membicarakan orang lain, apalagi tentang pak Aksa."
Aku juga setuju. Tapi, mulutku tak menjawab apapun.
"Saya sudah bekerja selama sepuluh tahun lebih di sini. Semenjak perusahaan ini, masih di tangan orang tua pak Aksa."
Rasa tertarikku pada topik yang dipilih mba Carla, mungkin terlihat kentara. Karena, kunyahan dalam mulutku, terasa lamban.
Mba Carla menyamankan posisinya. Kacamatanya dilepaskan, dan menampakkan bekas jepit di sisi hidung bangir beliau.
"Bekerja di sini, sampai pensiun pun tidak menjadi masalah untukku." elaan nafas mba Carla terdengar samar. "Banyak perusahan di luar, yang menjanjikan gaji besar, tapi loyalitas dan toleransi perusahan tidak dikedepankan."
Runguku menyimak dengan baik, perkataan mba Carla. Dan satu kesimpulan mewakili penilaianku pada Megatex di bawah kekuasaan Aidil Angkasa.
Obrolan panjangku dengan mba Carla, terhenti ketika anak-anak kembali dari musholla. Dan, kami melanjutkan pekerjaan kami hingga selesai.
Aku menguap, ketika rasa kantuk menyerang. Membuka screen lock, dan terkejut melihat angka satu.
Mataku berpendar, melihat sekeliling. Semuanya masih pada tempat yang sama dengan posisi yang berbeda.
Aku tersenyum. Dari sebelas jumlah kami, hanya aku, Hasna dan Tama yang masih terjaga. Yang lainnya sudah tepar, dengan posisi yang sangat tidak elegan.
Apalagi Dara. Kepalanya, mendongak penuh di sandaran kursi dengan mulut terbuka. Namun, tetap cantik. Dan mba Carla, entah bagaimana caranya, beliau merengsek di bawah meja.
"Hana, bangunkan semuanya. Ini bukan lembur, tapi camping."
Tama tertawa dan menuju ke meja Dara. Sementara aku, membangunkan yang lain.
Pesan mba Putri dan Adib, tertangkap netraku ketika membuka ponsel. Dan, pesan dari Adib yang pertama kubuka.
'Ngapain?'
'Hana.'
'Sudah masuk waktu ashar, udah sholat?'
'Centang dua, tapi warnanya masih gelap.'
'Lagi di jalan, atau kamu di mana?'
'Han...'
'Hana...'
'Farhana..."
Diaku calling...
"Assalamualaikum," sapaku ketika mengangkat panggilannya.
"Wa'alaikumsalam. Terbangun, atau gimana?" suara dari seberang sana terdengar lelah.
Aku, lembur. "Sedang di rumah sakit?" alihku cepat.
"Iya."
Dari sini, aku bisa mendengar elaan nafas Adib. Terasa berat dan meremukkan dadaku.
"Tidak mau memberitahuku, ke mana saja sore ini. Pesanku, baru saja diread."
Maaf. "Aku keluar sebentar. Ponselku tertinggal."
"Dan, pulang langsung tertidur?"
Aku tahu, kalimat Adib menyindirku.
"Sudah kubilang, jangan mengabaikanku. Cukup jarak, yang menyiksaku."
Sekali lagi, aku mengucapkan kata maaf dalam hatiku.
"Adib---"
"Jangan katakan apapun. Tidurlah."
Kumohon... Jangan seperti ini. Kalimat itu hanya terucap dalam hati.
Sambungan terputus, setelah Adib mengucapkan salam. Aku tahu, dia kecewa dengan sikapku. Tapi, ini caraku bertahan, agar dia mau menerima keputusanku.
"Putri menghubungimu?"
Hampir saja, telepon dalam genggamanku terlempar. Karena suara yang berada tepat di belakangku.
Pak Aksa?
"Tidak."
Tatapan atasanku sedikit bingung, dan menular padaku.
"Dia meminta saya untuk mengantarmu."
Apa?
Mba Putri bercanda?
Kenapa harus pak Aksa?
Dia lupa siapa lelaki di hadapanku?
Sementara sekelibat tanya dalam benakku, suara pak Aksa kembali terdengar.
"Mari, ini sudah sangat larut." tubuh pak Aksa berbalik. Sepertinya beliau buru-buru.
Aku sadar, posisiku yang baru berumur tidak genap satu minggu di perusahaan ini. Oleh karena itu, dengan sopan aku menolak utusan mba Putri, yang diwakilkan pada orang yang salah.
"Aku bisa naik taksi, Pak."
Tubuh yang sudah keluar dari lobi, berbalik kembali ke arahku.
"Saya tidak ingin cari masalah dengan mbakmu."
Kali ini, aku tidak membantah. Dan mengikuti atasanku dari belakang. Dalam hati, bersyukur, semua teman-teman, sudah pulang dan keadaan kantor cukup sepi.
Pesan dari Adib, kembali kuterima, ketika mobil pak Aksa melintasi jalan di bawah temaram langit menyongsong aura subuh.
'Kalau tidak mau jujur padaku, setidaknya jangan bohongi hatimu.'
Mataku terpaku pada pesan tersebut.