"Aksa nganterin kamu?" mba Putri langsung masuk ketika pintu kubuka.
"Nggak diturunkan di jalan, kan?"
Gontai langkahku, berakhir di meja makan, yang masih kosong. Karena aku baru bangun, ketika getaran ponsel yang tidak berhenti.
Kepalaku menelungkup, di atas lengan yang bertumpu.
"Aksa nggak nanya-nanya?"
Mba Putri masih berbicara, sedangkan yang kuinginkan sekarang tidur. Karena aku baru bisa tidur jam tiga, setelah membalas pesan Adib, dan menunggu balasan pesan darinya yang tak kunjung kuterima.
Toleransi perusahaan tempatku bekerja, memang kuacungi jempol. Karena setelah lembur semalaman, hari ini kami diliburkan.
"Kalau Mba nggak bisa jemput, kabarin aku saja."
Entah apa yang dimasak mba Putri, aku tidak tahu. Kepalaku terasa berat, dan inginku saat ini, benar-benar tidur.
Dentingan sendok dan piring beradu tidak ku gubris. Aku hanya ingin tidur. Dan, mataku sinkron dengan perintah otakku. Karena, semakin lama, kebisingan yang ditimbulkan mba Putri perlahan hilang.
"Tunggu di sini dulu. Yang punya tempat belum bangun."
"Ada apa menyuruhku ke sini?"
"Ck, tunggu aja dulu."
Meski samar, tapi aku yakin, kalau aku sedang tidak bermimpi.
Itu suara mba Putri dan seseorang.
Perlahan aku bangun. Menapak setengah sadar pada bumi Tuhan. Dan terpaku pada dua makhluk ciptaan-Nya yang sedang berbicara serius.
"Sudah bangun?"
Manikku mengarah pada mba Putri. Dan, selanjutnya mba Putri berteriak heboh dan menarikku ke kamar.
"Jilbabmu mana, Han!?"
Jilbab?
Astagfirullah.
"Kenapa Mba bawa pak Aksa ke sini?"
Mba Putri bergumam tidak jelas, dan sempat kudengar ia mengumpat.
"Ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Maksudnya, kami."
Aku mendengkus pelan. Pagiku rusak, dan mood-ku untuk kembali bergelung dalam selimut, juga hancur.
"Kamu mandi dulu, aku temanin Aksa."
Tidur saja tidak lagi kuinginkan, apalagi menyiram tubuh yang masih terbalut piyama ini.
Dan yang lebih memalukan, aku tampil dengan keadaan yang memalukan di depan atasanku.
Meski piyama menutupi seluruh tubuhku, tetap saja mahkotaku terpampang dengan jelas.
Mba Putri, apa yang kau lakukan?
Tidak ingin mengurangi rasa hormat pada atasanku, aku keluar setelah membersihkan tubuhku.
"Itu Hana sudah keluar. Kita sarapan sekarang ya?"
Aku menunduk menyapa hormat atasanku. Kemudian menarik bangku, duduk di samping mba Putri.
"Biasanya Hana yang masak, tapi dia baru bangun. Maklum kalau lagi halangan, dia sering kesiangan."
"Uhuk-uhuk."
Apa-apaa mba Putri. Kenapa harus mengatakan hal yang tidak penting dan sangat memalukan itu, sehingga membuat pak Aksa terbatuk.
Sebenarnya sungkan, harus makan satu meja dengan orang nomor satu di tempatku bekerja. Tapi, jauh tidak sopan kalau aku tidak bergabung.
"Makan Aksa." sikap mba putri sangat tenang.
Kalau memang benar mereka pacaran, betapa santainya hubungan itu. Dan, sangat cocok karena kematangan keduanya.
Mba putri delapan tahun lebih tua dariku. Dan, Sepertinya, kedua orang itu sebaya.
Tidak ada adegan romantis. Tapi, bagiku mereka cukup manis. Makan saling bertatapan.
Aku kangen Adib...
"Teh aja, ya."
"Aku mau langsung, Put."
Mba Putri tidak mengindahkan ucapan pak Aksa. Karena, ia sudah mengambil panci dan mengisi air untuk dipanaskan.
"Sabar, kenapa sih. Santai aja. Lagian hari ini kamu free."
Cukup manis bukan?
Mba putri berdiri menghadap kompor, pak Aksa duduk berbalik, melihat kegiatan mba Putri.
Lagi...
...dalam hati, aku menyebutkan nama Adib.
Sejak tadi malam, ia belum membalas pesanku. Harusnya, aku senang, kalau Adib bersikap seperti itu. Tapi, nyatanya hatiku tidak menerima itu.
"Arini apa kabarnya?" mba Putri meletakkan tiga cangkir di meja makan.
Harusnya, cukup dua, kan? Karena saat ini aku ingin masuk. Mengecek ponsel yang sudah tiga puluh menit lebih belum kulihat.
"Baik."
Kini, mba Putri tidak duduk di sampingku lagi. Dan, hal itu membuatku canggung.
"Nggak nanya-nanya, aku?"
Entah benar atau tidak, aku bisa menangkap raut kesal pak Aksa. Tapi, tatapanya tak sedikitpun teralihkan dari mba Putri.
"Sering."
"Hari ini, kita jemput Arin ya?"
"Putri."
"Maaf Mba, Bapak. Saya ke dalam dulu." aku menyela obrolan keduanya. Lama-lama di sini, aku ikut baper.
Tidak mesra, tapi cukup mengingatkanku padanya.
"Kamu siap-siap ya Han. Kita keluar sebentar, ya kan Aksa?"
Mba aku mau tidur. "Mau ke mana?"
"Temenin Mba."
Aku melirik ke arah pak Aksa, berharap atasanku itu menolak ucapan mba Putri. Tapi, pak Aksa tidak mengatakan apapun.
Aku melangkah, keluar dari ruang makan, masuk ke kamarku.
Setelah menemukan ponsel, aku tidak menerima pesan apapun dari Adib. Rasa kecewa semakin menyeruduk sisi hatiku.
'Mba aja yang pergi. Aku beneran ngantuk.'
Aku melepaskan jilbabku, dan membaringkan tubuhku setelah mengirimkan pesan pada mba Putri. Mataku terpejam, antara lelah juga ingin menghilangkan rasa kecewaku.
"Aksa udah nungguin. Cepetan, dua puluh menit!"
Suara mba Putri terdengar nyaring, aku meringis. Kenapa mantan kakak iparku bersikap seperti ini.
Ini weekend loh.
Seharusnya, dia menghabiskan waktu dengan pak Aksa.
"Hana!" mba Putri menarik selimutku, hingga mau tidak mau aku harus melihat wajah mengesalkannya pagi ini.
"Mba. Aku beneran ngantuk. Lagian, aku tidak mau jadi obat nyamuk. Mba aja ya?"
"Sebentar kok---"
"Mba, plis...aku pulang jam 1 semalam. Kepalaku pusing banget."
Aku tidak mengada-ngada tentang keadaanku. Selain rasa kantuk, kepalaku juga berat karena tidak menemukan balasan pesan dari Adib.
Mba Putri melihatku dengan seksama. Paksaan tadi berubah raut iba. Ia melangkah keluar, setelah menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
Sepeninggal mba Putri, kupandangi ponsel yang sudah terbuka screen lock-nya. Masih sama, tidak ada notice apapun layar atas.
Kebimbangan mulai bergelayut, antara membiarkan dan melupakan sesuatu yang sedang kunantikan.
Bukankah ini yang kuinginkan? Adib menjauh dengan cara perlahan?
"Aku pulang, kunci pintunya!" kepala mba Putri melongok di balik pintu kamar.
"Hm."
"Nanti kamu ketiduran. Kunci dulu."
Aku menurut, mengenakan hijabku sebelum keluar. Tidak ada lagi pak Aksa, mungkin sudah pulang.
"Cari siapa?"
"Hah?"
Mba Putri tersenyum, jelas membuatku bingung. "Ada orangnya nggak diopen, giliran pulang, dicari deh!"
Siapa yang cari?
Astagfirullah.
"Mba nguping apa, sih?"
Mba Putri mengambil tas-nya. Ia menuju ke pintu keluar. "Nanti malam, Mba jemput."
Keningku terasa berdenyut, "Ke mana?"
"Pernikahan teman Mba."
"Kenapa nggak ngajak pak Aksa?" kali ini, aku sedang tidak ingin menerima undangan dari siapapun.
Sungguh, seandainya mba Putri tahu kerangka pikiranku, ia tidak akan menambahkan dahan memusingkan itu.
"Kamu mau, aku ajak dia?"
Aku berdecak, apa salahnya ajak pacar sendiri. Tanpa sadar, aku membenarkan gosip yang tengah menghangat di kantor.
"Terserah Mba aja. Kalau nggak jadi pulang, aku tinggal."
Tawa mba Putri menggema. Cantik sih, tapi hari ini beneran mengesalkan.
"Oke. Jangan lupa. Mba jemput habis maghrib. Dandan yang cantik ya. Bye Hana!" cipika-cipikinya, terlalu bersemangat.
Nafasku terhembus perlahan, ketika sosok mantan kakak iparku, menghilang dari pandanganku.
Dan aku, bersiap kembali larut dalam rindu yang menyesakkan.
Salahku sendiri, karena terlalu tinggi meletakkan asa. Melambungkan perasaan yang tersambut tanpa memikirkan konsekuensi sekarat.
Jiwaku lelah, namun hati mengingkari. Dan, logika mengambil satu keputusan tepat.
Setidaknya, ini yang bisa kulakukan.
Jodoh di tangan Tuhan. Simbol hati yang tak pernah ku ingkari.
Meski kita tidak harus bersama, yakinlah. Rasa ini pernah ada...entah sampai kapan.
?
?
?
Omelan mba Putri, tidak kutanggapi. Aku hanya duduk manis mengikuti arahannya. Sebagai ganti telah membuatnya kesal, karena harus menungguku selama setengah jam di bawah.
"Lagian, ngapain sih ganti-ganti nomor!" tangannya cekatan, memberi pewarna pada bibir tipisku.
Dan, dia masih membahas perihal nomerku yang tidak aktif. Karena, sudah kupikirkan, ini yang terbaik.
Dia...
...terlalu sempurna.
Dan restu itu, bukan untukku.
Keningku berkerut, melihat tidak suka hasil polesan mba Putri. "Terlalu merah Mba."
"Tidak terima protes!"
Senyum masamku menghiasi cermin yang membayangi wajahku.
"Sudah. Yuk!"
Sekali lagi, aku mematut diri di depan cermin. Ini, bukan aku. Apa yang sudah dilakukan mba Putri?
Tarikan tangan mba Putri tidak bisa kutolak. Karena aku menyadari kesalahan yang aku lakukan, dan angka jam pun sudah semakin merangkak naik.
Perlahan, aku menyingkap rok, ketika masuk ke mobil yang dikendarai mba Putri.
Bukan sekali dua kali, tapi hingga tiba di tempat acara aku mendengar mba Putri mengumpat kesal. Kemacetan kota Bandung, tidak mengenal waktu. Apalagi malam minggu begini.
Ramai dan meriah, dengan alunan musik yang bersenandung bahagia, ikut merasakan kebahagiaan mempelai. Dan, aku terbawa suasana itu.
"Baru sampai?"
Aku menoleh, dan melihat atasanku berdiri di depan kami.
"Iya nih, jemput bidadari dulu."
Lirikan mba Putri membuatku canggung. Karena harus bertemu lagi dengan atasanku.
Untungnya, pak Aksa, tidak memperhatikanku.
Pasangan itu, tidak bosan-bosannya membuatku kikuk.
Tanganku digandeng mba Putri cukup erat. Dan, rencanaku menjauh barang sebentar tidak terlaksana.
"Arini ikut?"
"Ada, lagi sama Haz."
Sungguh, aku tidak ingin berada dalam obrolan mereka.
"Haz di sini?"
Pak Aksa mengangguk, tapi matanya tidak lagi menatap mba Putri. Dan, aku sedikit leluasa.
"Pantes." aku tahu, nada sinis mba Putri dalam kalimat itu ditujukan pada pak Aksa.
Senyum pak Aksa dengan pandangan matanya ke suatu arah, ku ikuti.
Seorang wanita dewasa, cantik, dan juga berjilbab sedang menggendong gadis kecil. Kurekam lagi, hal yang sebenarnya tidak perlu kulakukan.
Ada keanehan.
Binar mata pak Aksa menggembirakan, sekaligus syahdu. Seakan terhanyut dengan pemandangan itu.
Kemudiaan aku kembali pada mba Putri. Ingin mengetahui bagaimana responnya.
Ketika menemukan maniknya, tanganku yang bebas mengusap lembut lengannya.
"Tenang saja. Semuanya baik-baik saja."
Aku mengaminkan dalam hati, mendengar sugesti positif mba Putri, untuk dirinya. Ujian kami berbeda. Kalau aku tidak mendapatkan restu, mba Putri terang-terangan memilik sekutu.
"Kalau jodoh tidak akan ke mana Mba," bisikku.
"Dia bukan jodoh Aksa. Percaya pada Mba."
Aku mengangguk. Dalam hati berdoa. Agar perjuangan cinta mba Putri tak setragis kisahku.
"Kamu percaya, kan?" tatapan memohon mba Putri kuangguki dengan cepat.
Mba Putri pasti sangat mencintai pak Aksa. Lantas, kalau binar mata pak Aksa sekemilau itu pada wanita di sudut sana, kenapa ada ikatan antara atasan dan mantan kakak iparku?
Serumit itukah sebuah hubungan?
Aku meninggalkan mba Putri, karena saat ini aku merasa haus. Kisah kami memang tidak sama, tapi itu kembali membuatku mengingatnya...
...juga, merindukannya.