5

1129 Kata
"Dia...Hazriana. Wanita yang pernah menjadi kekasih Aksa." Nggak tahu, kenapa mba Putri menceritakan tentang wanita yang kulihat ada dalam binar mata pak Aksa malam itu. Mungkin, mba Putri ingin curhat. "Saat itu, Aksa belum menikah dengan Gayatri Sabrina. Almarhum istrinya." Apa? Jadi, pak Aksa...duda? "Keluarganya sangat memandang status. Bukan sosial, lebih ke moral." Aku tidak mengerti ucapan mba Putri. Dan, ingatanku kembali ke tiga malam yang lalu. Tidak ingin menerka, tapi kadar kepekaanku lumayan lancang menyibak tabir di balik ucapan mba Putri setelah memahami maksudnya. "Terkait restu?" "Benar!" Ada yang sedang memaku di dalam dadaku. "Saat itu, Aksa sudah sukses. Dan, ia harus bertekuk pada baktinya. Orang tuanya, sudah ada pilihan." Lidahku kelu...ketika rasa pahit yang pernah dikecapi wanita bernama Hazriana, juga kurasakan. Bahkan sampai saat ini. "Sampai sekarang, Arini sudah besar. Tapi, cinta Aksa pada Haz tidak berkurang." Itu...terlalu menyakitkan. Untuk Haz dan pak Aksa. Tapi, yang lebih menderita pasti istrinya. Apa kabar, hati yang mencoba berdiri tegak, namun tak ada yang memapah? Karena lengan itu sedang melambai bayang masa lalu. "Tuhan tahu yang terbaik untuk hamba Nya. Entah benar atau tidak, Ibu Arin tidak tahu menahu masa lalu Aksa.". Dia hanya bersembunyi atas nama luka, batinku membela almarhum istri atasanku. "Karena, perlakuan Aksa memudarkan kenyataan itu. Yang Gayatri tahu, Aksa mencintainya." Kali ini, aku tidak lagi menelan kalimatku. "Itu lebih kejam Mba. Secara tidak langsung pak Aksa sudah mempermainkan perasaan istrinya." Aku mulai mengenal sosok pak Aksa, memutar kembali pertemuan pertama dengan beliau saat pertama masuk kerja, ketika mengantarkanku, kedatangannya di pagi hari ke apartemenku atas permintaam mba Putri. Juga di malam pernikahan teman mba Putri. Dan, saat ini... ...sosok itu sedang melangkah ke arah kami. "Jangan berburuk sangka. Aksa, hanya belum mempunyai alasan untuk melepaskan masa lalunya" Ucapan mba Putri ku banting sekuat tenaga. "Selamanya tidak akan ada. Karena alasan itu sudah menyatu dengan tanah." Langkah pak Aksa semakin mendekat. Matanya tidak melihat kami, meski kaki panjang itu mengarah ke tempat kami. Dan, aku sudah bersiap pergi, karena waktu makan siangku sudah habis. "Itu takdirnya. Ada kamu. Kamu yang akan menjadi alasan terkuatnya." Ucapan mba Putri membuatku sadar. Karena logikaku menghubungkan dengan tepat titik koordinat itu. Yang terjadi belakangan ini terurut dengan sistematis. Agendanya terstruktur rapi. Serapi kasus yang diselesaikan mba Putri pada kliennya. Menunduk hormat ketika objek yang menjadi titik singgung dalam hatiku sudah berada di meja kami. Gentar, namun aku yakin ketika melangkahkan kaki menjauh dari kantin. Apa yang akan dilakukan mba Putri menjadi bahan pikiranku, hingga berpengaruh pada pekerjaanku. Panggilan telepon dari mba Putri kuabaikan. Saat ini aku sedang tidak ingin membahas hal yang sedang tidak ingin kubicarakan. "Saya ada keperluan dengan Farhana." Jantungku berdetak dalam sekali hentak ketika mendengar suara pemilik Megatex. Orang yang tidak pernah ada dalam logikaku, dan tidak ingin kupikirkan sejak pembicaraanku tadi siang dengan mba Putri, datang mencariku. Keperluan apa? Se-mendesak apa? Gugup, bingung dan takut ketika semua mata mengarah padaku. "Baik Pak. Itu Hana-nya." mba Carla yang berbicara. Tidak menunggu namaku disebut dua kali, aku berpamitan pada teman-teman divsiku. "Bawa tas. Kita tidak kembali ke kantor." Ucapan pak Aksa, membuatku terkejut. Apa maksudnya? Ini baru jam tiga. Masih ada dua jam lagi sebelum waktu pulang. Dan, perhatian seisii departemen mengarah padaku. Berbagai tanggapan yang ku terima dari tatapan mereka. Perlahan aku melangkah keluar, setelah mengambil tas dan mematikan layar komputer. Mengikuti langkah besar pak Aksa, hingga memasuki lift. Cukup hening. Untungnya, aku bisa mengendalikan kegugupanku di samping pak Aksa. Ketika lift terbuka, kami disambut mba Putri dan Liana. Mata Liana menelisik wajahku, dan membuatku risih. Sementara mba Putri tersenyum penuh arti. Aku cukup tahu diri, sehingga memilih mengekor di belakang pak Aksa, mba Putri dan Liana. Tapi, Liana menghentikan langkahnya dan berjalan di sisiku. "Bosan jadi obat nyamuk. Sekarang ada lo." Tidak kutanggapi, Karena aku sendiri sedang dihinggap rasa penasaran, juga tak suka dengan keadaan ini. "Aksa ingin bicara. Mba tidak memaksamu." setelah mengatakan itu mba Putri masuk ke mobilnya. Tinggal Liana, aku dan pak Aksa. "Kamu bawa mobil?" "Aku ikut Om!" Om? Mataku menatap bergantian atasan dan sekretarisnya. Tidak ada yang terkejut, semuanya berjalan alami. Dan, kesannya seperti sedang tidak terjadi apa-apa. Padahal, ada aku di antara mereka. "Pesan taksi saja." "No. Aku ikut." Pak Aksa sempat melirikku, tidak lama. Aku tahu dia melihatku kebingungan, tapi sengaja membiarkannya. "Saya saja yang naik taksi," timpalku hati-hati. Karena yang kuinginkan saat ini mengikuti mba Putri dan merong-rongnya dengan berbagai pertanyaan. Pak Aksa tidak menjawab, dia membuka pintu mobilnya. "Masuklah." Aku menoleh ke Liana, tapi gadis itu malah tersenyum padaku dan menggandeng lenganku menuntun ke kursi depan, tepat samping kemudi. Canggung, tentu saja. Saat ini, aku berhadapan dengan dua orang yang baru kukenali dua minggu ini. Satu di antaranya, sedang menyedot dinding kepekaaanku. Tidak ada suara ketika mobil mulai melaju, membelah keramaian lalu lintas kota Bandung. Sebuah rumah dengan aksen minimalis, tertangkap netraku. Tidak ada pergerakan dari pak Aksa. "Bisa diam kan?" tanya pak Aksa, menoleh ke belakang ketika Liana sudah membuka pintu mobil. "Siip Pak Bos. Asalkan besok gue bisa ngajak Hana makan siang!" Gadis itu keluar setelah menyebutkan namaku dalam obrolannya dengan pak Aksa. Roda mobil kembali berputar ke arah jalan raya. Melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Mataku tidak bisa melihat pergerakan atasanku, juga reaksinya. Karena fokusku ke samping kiriku memutuskan semua kontak. Benakku sudah penuh dengan praduga dan taktik kesiapan untuk bahan alibi. Cukup akurat dan sistematis. Mobil pak Aksa memasuki perkarangan rumah dan berhenti di depan gazebo kecil di bawah pohon mangga. "Turun. Sudah sampai." Siapkah mendengar apa yang akan di katakan lelaki itu? Sudah matang kah persiapanku? Setelah mengkaji benteng pertahanan, aku keluar. Mataku menangkap sosok wanita yang kutemui di pesta pernikahan teman mba Putri. Sedang menyuapi seorang gadis kecil. Binar itu, kembali kutangkap dari mata pak Aksa. Meski tidak lupa dengan keberadaanku, dia sempat tidak fokus. Aku tamu... Butuh dihargai, meski sekedar basa-basi Karena, bukan inginku berada di sini. "Dia...Farhana." Perkenalan yang cukup sopan dan berkesan. Bibirnya menyebut namaku, namun mata memuja wanitanya. "Assalamualaikum. Saya, karyawan pak Aksa." Wanita yang bernama Hazriana, tertegun cukup lama. Tidak memindaiku, tapi cukup memberikan kesan rendah hati. "Wa'alaikumsalam. Hazriana...teman mas Aksa." Senyumku terbit. Ada alasan, sampai di sini kakiku melangkah. Tidak ada jejak yang akan menuntun ke depan. "Masuklah. Saya, sudah mau pulang." Posisi kami masih berada di depan gazebo kecil. "Terimakasih. Saya hanya ingin tahu rumah pak Aksa," tolakku sopan. Wanita di depanku berhijab dan sopan. Dia pantas mendapatkan lelaki manapun. Yang aku sesali, kenapa wanita semulia dirinya, tidak mengambil sikap serius dalam hubungannya. "Pak Aksa..." Yang kupanggil, kembali dari alam syahdunya pada wanita bernama Hazriana. "Saya permisi." Tidak ada jawaban. Cukup bodoh memang, tapi aku bersyukur karena langkahku hanya sampai di sini. Yang ingin kurengkuh dalam asa-ku bukan dirinya, tapi dia... ...yang entah sedang apa di sana. Karena... ...di sini, ada hati yang merindukan dia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN