Reveal

1074 Kata
Jio menggeram ketika kain dingin itu mengenai kulitnya yang memar. Selain karena merasakan sakit, ia juga menggeram karena marah ketika urusannya dengan Renata belum selesai dan malah kena hajar. Dasar Wiggy sialan, batinnya. Dengan cekatan, Sashi mengompres memar dan membersihkan darah di bibir Jio. Mereka saling membisu, hingga akhirnya Sashi membuka suara setelah mencuci tangan di wastafel. “Kamu mau minum?” Jio hanya menggeleng sambil memejamkan mata. “Mau cerita sama aku, kalian tadi kenapa?” “Kamu ga denger tadi Renata bilang apa? Aku lagi bantuin dia ngeluarin isi perutnya di wastafel dan tiba-tiba si Wiggy dateng, mikir yang macem-macem. Otak m***m tuh dia!” Sashi menghela napas. Ia sudah mengenal karakter Wiggy yang tidak pernah sembarangan bertindak. Lagi pula, sejak mereka bersahabat dari SMA, tidak sekalipun Sashi melihat atau mendengar Wiggy memukul seseorang. “Oke, nanti aku minta penjelasan sama Wiggy.” “Kamu ga percaya sama aku?” tanya Jio dengan wajah kesal. “Yang bilang aku ga percaya sama kamu itu siapa? Aku juga ga mau terima dong kalo cowokku tiba-tiba dipukulin kayak gitu, padahal ga salah apa-apa.” Jio menghela napas dan mengibaskan tangannya dengan lemah. Ia tahu, Wiggy pasti akan mengatakan semuanya pada Sashi. Ia hanya merasa kesal, mengapa ada pria sebocor Wiggy. Meskipun Jio berselingkuh dengan Renata, namun ia belum mau berpisah dengan Sashi. Setelah semua yang mereka lalui, Jio dan Sashi tidak seharusnya berpisah. Namun sebelum Sashi turun ke bawah, Wiggy telah lebih dulu menemui mereka. Pria itu melihat wajah Jio tanpa ekspresi apa pun, sama sekali tidak ada raut penyesalan. “Gue ke sini bukan mau minta maaf. Tapi gue minta, lo yang minta maaf sama Sashi sekarang.” “Kenapa sih lo doyan banget ikut campur urusan gua? Emang lo pikir gue sama Renata ngapain di dalem?!” “Kalo kalian ga ngapa-ngapain kenapa pintunya dikunci?” tantang Wiggy hingga membuat Jio tidak berkutik. “Ya gue pikir si Renata bakalan malu kalo keliatan muntah-muntah padahal cuman minum dikit doang. Makanya gue kunci. Ga usah mikir m***m lah.” “Udah, STOP!” seru Sashi. “Aku ngajak kalian ke sini tuh buat refreshing, bukannya berantem! Udah lah ga usah dibahas.” Namun sepertinya Wiggy masih belum puas. Rahangnya mengeras. Ia terus-terusan melirik Jio dan Sashi bergantian. “Ngaku sekarang atau lo bakalan nyesel.” Jio langsung terduduk. “Lo apa sih, anjing!! Lo emang mau nyari ribut sama gue?” Wiggy tertawa sinis. “Oke, kalo ga mau ngaku.” Karena sudah kepalang kesal, Wiggy pun mengeluarkan ponsel. Hal yang selama ini ia tahan demi menjaga perasaan Sashi, sahabat kecilnya, akhirnya harus dikemukakan. Ia membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah video pada Sashi. Video tersebut di ambil dari balkon kantor HoS, di mana Jio dan Renata sedang berciuman mesra di halaman belakang. Melihat itu, lutut Sashi terasa lemas, hingga akhirnya dia berjongkok sambil menopang kepalanya dengan kedua tangan. Jio langsung beranjak dari kasur untuk merebut ponsel yang dipegang oleh Sashi. “BRENGSEEKKK!!!” Jio melempar ponsel itu, lalu menghajar Wiggy. Semua orang yang di lantai bawah kembali berlarian untuk memisahkan mereka. Meski badan Jio lebih pendek, namun perawakannya lebih besar daripada Wiggy. Ia rajin ke tempat gym dan selalu mendapat ratusan ribu likes di i********: jika memperlihatkan perutnya yang berbentuk six pack. Sashi tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ia hanya mendengar teriakan, sementara dirinya sendiri pergi ke kamar mandi. Di sana ia melihat wastafel yang masih kering. Tidak ada bukti bahwa Renata telah muntah. Perutnya seketika terasa mulas. Ia tidak mau mempercayai pikirannya sendiri, bahkan untuk menangis pun rasanya sulit. Ia pun kembali memasuki kamar hanya untuk mengambil tas, lalu pergi secepat mungkin. *** "M-Maaf tuan, meja anda ada yang menempati." "Apa?! Kan udah saya booked dari seminggu yang lalu." Jeff memperhatikan wajah di hadapannya yang tegang dan merasa bersalah. Waiters berperawakan jangkung yang mengenakan jas lengkap dengan dasi kupu-kupu itu terus merapatkan telapak tangannya di d**a hendak meminta maaf. "Saya sudah nyuruh wanita itu pergi, tapi … dia malah... marah," jawabnya lagi terlihat malu dan kesal karena telah ditundukkan oleh seorang wanita. Tanpa ingin berdebat, Jeff menaiki tangga yang terdapat tumbuhan bonsai di kedua sisinya. Berbanding terbalik dengan suara merdu dari seorang violinist yang memainkan Andante milik Antonio Vivaldi, jantung Jeff malah berdetak tak beraturan dan kepalanya bergemuruh akibat kekesalan karena rencananya yang tersusun rapi tiba-tiba berantakan. Wanita mana yang tidak tau sopan santun di sebuah kafe mewah yang mengharuskan makan pun memakai etika?! Jeff terus menaiki tangga melingkar sampai akhirnya berhenti di puncak tangga. Ruangan itu memperlihatkan meja-meja bundar bertaplak linen seputih salju, di atasnya terdapat gelas-gelas crystal berbentuk tulip, lilin besar dalam holder bening, suara ombak pantai yang menenangkan dan sayup-sayup permainan biola di lantai bawah tadi. Terdengar suara seorang wanita yang sedang beradu mulut dengan manager kafe. Begitu melihat Jeff, manager yang memakai pakaian sama dengan waiters tadi, hanya dasinya yang berbeda karena ia memakai dasi hitam panjang, datang menghampirinya. "Tuan Jeff, kami mohon maaf atas kesalahpahaman ini. Kalau tidak keberatan, saya sudah menyediakan tempat lain dan akan mengembalikan uang reserve kemarin." Jeff memalingkan wajah dari manager bertubuh tambun itu dan memperhatikan wanita di belakangnya yang sedang melipat tangan dengan angkuh. Wanita itu menggulung semua rambutnya ke atas dengan tidak rapi, namun entah mengapa anak-anak rambut yang berantakan tersebut malah membingkai wajahnya secara sempurna. Blousenya yang berwarna putih menerawang terkena pantulan sinar lampu kuning keemasan dan memperlihatkan bra hitamnya yang berenda, juga hotpants denim longgar menyisakan pemandangan kaki jenjangnya yang begitu indah. Jeff kembali memperhatikan wajah wanita itu setelah puas menyisir seluruh tubuhnya. Wanita itu mengangkat sebelah alisnya seperti menantang. "Saya sudah memesan meja ini dari seminggu yang lalu," ucap Jeff datar. "Saya ga dapet warning itu dari awal. Harusnya kan meja ini ada tanda kalau udah dibooking. Ini setelah saya duduk di sini dengen enaknya, trus mereka langsung maen ngusir?! Enak aja! Saya ganti deh duit kamu! Di situ juga masih banyak tempat, kan?!" Ternyata wanita ini memiliki gengsi yang terlalu tinggi. Jeff merasa tidak akan ada gunanya memperpanjang urusan dengan wanita mabuk. Terlihat dari botol chardonnay yang isinya tinggal seperempat di mejanya. Jeff membalikkan badan dan memilih meja tepat di hadapan si wanita itu. Wanita itu pun mengangkat bahu tidak peduli, kembali duduk dan menyesap anggurnya lagi. Si manager kafe yang merasa kikuk mengikuti Jeff ke meja, ia menyerahkan buku menu yang tersampul kulit sintesis berwarna coklat tua namun ditolak oleh tangan Jeff. Lelaki itu hanya menggumamkan anggur pesanannya. "Moussex rouge, please." "Segera, Tuan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN