Strange Room

1014 Kata
Sashi mengerjap ketika udara dingin menyentuh wajahnya yang tertempel di bantal. Ia tidak tahu sudah tidur berapa lama. Yang pasti sangatlah lama karena Sashi seperti mengalami mimpi yang sangat panjang. Meskipun ia sudah terbangun, namun matanya masih enggan terbuka. Rasanya sangat nyaman tidur di atas kasur empuk dengan selimut yang lembut menutupi tubuhnya. Sashi pun mempererat pelukannya pada bantal guling dengan senyum terulas di wajah. Namun ketika ingatannya tiba-tiba flashback ke kejadian kemarin, senyum itu pun perlahan hilang. Keningnya mengkerut ketika ia berusaha merunut kejadian demi kejadian yang ia alami selama seharian kemarin. Tepat ketika terakhir kali ia mengingat dibawa oleh pria asing, kedua mata Sashi pun tiba-tiba terbuka. Sashi langsung bergidik ngeri ketika mendapati dirinya berada di sebuah kamar asing. Meski sebenarnya kamar ini cukup luas dan indah. Tempat tidurnya berbentuk bulat, ditutupi oleh kain kelambu berwarna putih s**u. Kain kelambu yang tersingkap di sebelah kanan, memperlihatkan sofa berwarna abu tua, ditutupi kain wol bercorak plain campuran cokelat tua dan cokelat muda. Di sampingnya terdapat ranting hias, sehingga membuat ruangan tampak lebih aesthetic. Sashi juga bisa melihat jendela yang terbuka lebar hingga membuat gordennya melambai-lambai karena tertiup angin. Yang lebih menakjubkan lagi, dari jendela tersebut tampak pemandangan laut beserta suara ombak yang enak didengar. Semuanya terasa nyaman sepanjang mata memandang. Namun tetap saja Sashi merasa ngeri karena ini adalah rumah milik orang lain yang tidak ia kenal. Bahkan ia sama sekali tidak tahu orang macam apa yang membawanya ke sini. Mungkin saja ia memang berniat baik untuk menolongnya ketika Sashi sedang dalam keadaan mabuk. Atau mungkin juga pria itu hendak berbuat jahat. Seketika Sashi membuka selimutnya. Baju yang ia kenakan masih lengkap. Badannya terasa baik-baik saja, tidak ada yang mencurigakan. Syukurlah! “Good morning.” Tiba-tiba pria yang semalam ia lihat berada di ambang pintu. Sashi tidak bisa melihat dengan jelas karena tertutup kelambu. “Sudah bangun dari tadi?” “Eh, hai! Aku baru aja bangun,” jawab Sashi merasa tidak enak. Ia bertanya-tanya jam berapa sekarang. “Tunggu, saya ambilkan sarapan dulu.” Sebelum Sashi menjawab untuk tidak perlu repot-repot, pria itu sudah berbalik pergi. “Hhhh… sepertinya ia orang baik,” gumam Sashi. Tidak sampai lima menit, pria itu sudah kembali sambil membawa nampan berisi roti bakar dan segelas jus jeruk. Merasa tidak enak, Sashi pun beringsut meski kepalanya masih terasa pening karena mabuk semalam. “Maaf udah bikin repot,” kata Sashi sambil memperhatikan pria itu meletakkan nampannya di meja. “It’s oke. Kamu pasti lapar, ini sudah jam sepuluh.” Pria itu membalikkan badan sehingga kini mereka berhadapan. Shaly baru menyadari bahwa tubuh pria tersebut sangatlah besar dan mengintimidasi, apalagi dengan tattoo yang berada di lengan sebelah kanannya. Wajahnya lumayan tampan dan matang dengan sorot mata tajam dan hidup. Namun Sashi menahan tawa yang membuat si Pria keheranan. “Ada yang salah?” Shaly menunjuk kaus yang dikenakan pria itu. Kaus berwarna kuning bergambar Tazmania. “Baju kamu lucu. Beda banget sama baju yang kamu pake semalam.” Sebenarnya tidak ada yang salah dengan baju tersebut. Namun jika seorang pria berwajah seperti itu dengan tubuh yang besar rasanya sangat tidak cocok. “By the way, nama aku Sashi . Kamu siapa?” Sashi mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh si Pria Asing. “Saya Jeff.” *** Jeff menemani Sashi sarapan. Ternyata benar, wanita itu sedang sangat kelaparan. Waktu di restoran semalam ia terlihat hanya memesan sebotol chardonnay dan satu slice sheesecake bertopping blueberry. Dengan sabar, Jeff menunggu Sashi menghabiskan roti isi selai kacangnya. Untung saja hari ini Jeff sedang tidak begitu sibuk sehingga bisa mempunyai cukup waktu untuk menolong Sashi . “Rumah kamu di mana?” tanya Jeff setelah Sashi sudah melap mulutnya dengan serbet. “Jauh dari sini. Aku tinggal di Bandung.” “Maksud saya tempat tinggal kamu selama berada di sini,” tanya Jeff lagi dengan sabar. “Apa kamu tinggal di hotel, villa, cottage atau rumah kerabat?” “Aku nyewa villa ga jauh dari restoran kemaren,” jawab Sashi . “Oke, aku akan anter kamu ke sana.” Mendengar itu, Sashi langsung menggelengkan kepala. Saat ini ia sedang tidak mau melihat Jio dan Renata dulu. “Kenapa?” tanya Jeff. Sashi menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung bagaimana cara menjelaskannya. "Hmm.. ada satu hal yang ga ngenakin. Aku kemarin datang sama teman-teman dan pacar aku. "Pacar kamu ketahuan selingkuh sama teman kamu?" tanya Jeff yang membuat mata Sashi melebar. "Kok bisa nebak gitu?" "Bukan nebak, sih. Tapi semalam waktu di restoran kamu bilang ke manager kafe kalau kamu abis diselingkuhin." Mata Sashi kembali membulat. "Serius?" Jeff menjawabnya dengan anggukan. "Jadi gimana? Kamu mau pulang ke mana hari ini?" Sashi bingung harus menjawab apa. Masalahnya ponsel dan dompetnya dicuri. Ia tidak bisa menghubungi siapapun dan tidak bisa pulang menggunakan pesawat karena KTP dan identitas lainnya ada di tas tersebut. Kepalanya tiba-tiba semakin sakit memikirkan itu semua. "Bisa kasih aku waktu sebentar?" tanya Sashi agak memohon. "Oke, take your time. Saya ada di ruang tengah kalo kamu butuh sesuatu. Oya, tadi juga saya udah telepon restoran semalem.supaya ngabarin kalo tas kamu udah ketemu. Udah saya kasih nomor hape saya." "Thanks. Uhm... by the way ini kamar kamu?" Jeff mengangguk. "Yap. Kamar tamu udah lama ga dipake, takutnya agak berdebu." "Aah... kalo gitu aku mau keluar sebentar, jalan di sekitar pantai. Ga enak kalo diem di sini." "It's oke, terserah kamu aja," jawab Jeff sambil berdiri. Sashi mengikuti Jeff ke luar kamar. Satu hal yang ia sadari, bahwa rumah Jeff tampak sangat nyaman. Tidak begitu besar, tapi penataannya sungguh artistik, mulai dari lantai kayu, chandelier berbentuk ranting yang unik, sofa-sofa yang nyaman, dan sebagainya. "Kalau mau ke pantai lewat belakang aja," kata Jeff menunjukkan pintu keluar. Sashi melihat ke sekeliling. Rumah ini dikeliling halaman. Sepertinya Jeff menyukai ruangan terbuka. Di bagian halaman belakang tersebut ada rumah kecil, entah untuk apa. Sashi menganggap mungkin saja itu gudang. "Aku balik lagi ke sini sekitar dua puluh menit," ujar Sashi . Jeff mengangguk dan menyerahkan sandal jepit yang agak kebesaran untuk Sashi . Tapi Sashi tidak peduli. Itu lebih baik daripada menggunakan flatshoes miliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN