“Cheers!”
Weekend tiba, saatnya healing. Penatnya satu minggu dibalas dengan menikmati hidup selama dua hari. Ini bukan hal yang mengejutkan, tapi Adong mulai membuka hati. Dia ingin ikut andil dalam perkumpulan ini.
“Bisa-bisanya yang sold out duluan malah Lovi. Padahal dia yang paling lama menjomblo.”ungkap Avius sambil menikmati kentang goreng di piringnya. Kentang goreng yang diolah dengan cara menghancurkan kentang terlebih dahulu. Rasanya enak banget karena dipadukan dengan bumbu rahasia.
“Heh, ngeledek banget!”balas Lovi kesal.
“Anyways, selamat untuk Lovi. Semoga langgeng!”ucap Aya ikut senang.
“Guys, gimana kalau kita pesan ayam? Ayam yang satu ekor utuh.”saran Avius.
“Setuju!!”balas Aya riang.
Semua merasa senang kecuali Josen. Josen belum baikan sama Lovi. Lovi kesal banget sampai gak bisa ngajak dia bicara. Ayolah, perkataannya beberapa hari yang lalu sangat menyakiti hati.
“Kau kenapa? Tumben kalem.”tanya Adong pada Josen.
“Ah, gak apa-apa.”
“Kau cemburu ya?”tanya Aya tiba-tiba.
“Apaan sih, Ay?”
“Cemburu karena Lovi pasti jadi sibuk banget sama Edgar. Hahaha.”ucapnya seperti tak berbeban. Dia gak sadar kalau Lovi dan Edgar kaget mendengarnya. “Tenang aja, emang awalnya begitu. Punya teman baik yang tiba-tiba punya pacar jadinya merasa kehilangan. Wajar-wajar.”lanjutnya sambil cekikikan.
“By the way, guys. Aku mau cerita tentang sesuatu.”ucap Avius mengalihkan. Dia faham banget hubungan antara Lovi dan Josen. Entahlah, kalau sekarang. Tapi dulu, Lovi pernah sangat mencintai Josen. Mungkin masih ada rasa yang tersisa. Meski tidak banyak.
Avius menceritakan hal lucu setelah Lovi mengaku sebagai pacarnya. Dunia sejenak berubah. Yups, tak ada lagi yang membicarakannya. Bahkan ia sering menerima sapaan dari ibu-ibu rese itu. Mereka mengganti topik dengan membicarakan sinetron tv yang akhir-akhir ini lagi viral. That’s better. Setidaknya mereka jadi tak perlu menyakiti hati orang lain.
“It’s work?”
“Exactly.”
“Say thanks to me.”
“Iya, Lov. Kau memang selalu terbaik dari dulu.”
“Duh, tersanjung.”
Kalau diingat lagi, Lovi merasa sangat beruntung. Masih dikasih kesempatan untuk mewujudkan impiannya. Bukan impian besar. Hanya impian sederhana bisa berkumpul bersama teman-temannya lagi.
“Maaf buat ucapanku itu.”ucap Josen saat semua orang sedang bernyanyi di tempat karaoke. Melantunkan lagu yang sangat enak didengar. Ditambah lagi suara yang juga bagus. Bikin suasana jadi nyaman. Jadi penonton saja sudah sangat cukup.
“Akhirnya kamu minta maaf. Kirain gak punya rasa bersalah.”
“Aku gitu karena khawatir, Lov.”
“Aku tahu. Tapi gak seharusnya kamu ngomong kayak gitu.”
“Iya, maafin ya?”
“Iya.”
“Ikhlas gak nih?”
“Iya, Josen! Bawel banget.”
“Hahaha.”
Waktu terus berjalan. Setelah beberapa hari pacaran, Lovi cukup menikmatinya. Edgar bukan tipe cowok yang posesif atau semacamnya. Ya, mereka satu frekuensi. Seperti sahabat dekat, begitulah anggapan Lovi. Hatinya memang tidak berdebar, tapi dia selalu bahagia.
Seseorang bisa jadi sangat berarti meski oleh hal sederhana. Dan Edgar membuatnya lebih tenang. Dapat diandalkan meski Lovi bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi ada saat dimana dia ingin diperhatikan. Ya, hari yang suram dan abu-abu bisa berubah menjadi lebih berwarna. Esensi pacaran mungkin begitu. Apalagi untuk Lovi yang sudah sendiri selama bertahun-tahun.
Aya mengajaknya bernyanyi. Walau dengan suara sumbang, setidaknya ada suara Aya yang menutupi suaranya itu. Karaoke memang menarik dan bisa mengurangi kalori. Senang sekali rasanya.
***
Cemburu. Pantaskah melakukan itu untuk orang yang bahkan bukan siapa-siapa? Halo, ia tidak punya hak. Entah kenapa, perasaannya makin tidak jelas. Membenci hubungan itu dengan terang-terangan. Kedatangannya ke tempat ini hanya bikin sakit hatinya bertambah.
“Jadi, kau beneran cemburu?”tanya Adong saat mobil melaju melewati jalanan yang ramai. Orang-orang hendak pergi ngemall saat mereka hendak pulang. Hubungannya dengan Adong sudah benar-benar baik.
“Apaan sih?”
“Aku mengenalmu Jos. Mau sampai kapan begini terus?”
“Kau tidak mengenalku. Kita baru aja baikan, jadi jangan sok tahu.”
“Waktu SMA juga kan? Kau sampai nangis waktu tahu Lovi gak jadi sekampus denganmu. Kau kira aku bakal begitu? Sebagai teman, aku akan menerima keputusannya mau gimanapun.”
“Itu sudah berlalu, Dong. Kau jangan mengada-ada.”
“Apapun itu, jangan egois. Kau cuma menghambat pertumbuhan orang.”
“Pertumbuhan orang?”
“Dengan pacaran, Lovi jelas bertumbuh. Dia berhak membuat keputusan atas dirinya sendiri. Kau jangan bikin dia bingung. Dan lagi, kau masih punya pacar kan?”
“Sudah putus.”
“Wah, kacau. Bahkan ketika sudah dewasa, kau gak bisa menghilangkan sifat playboymu itu.”
Adong tahu banyak sekali tentang Josen. Masa SMA selama tiga tahun, mereka sering berbagi kisah bersama. Terlebih lagi, Josen itu sangat terkenal waktu SMA.Dia bisa mendapatkan cewek mana saja yang dia mau.Tapi dia selalu terusik sama Lovi dekat dengan seseorang. Sikap aneh yang tak diakui sebagai rasa suka.
“Aku gak suka cowoknya.”
“Seharusnya dia bisa dapat yang lebih baik.”
“Dia pasti cuma main-main.”
“Gak cocok!”
Pendapat seperti itu gak sekali dua kali didengar sama Adong. Bikin dia yakin kalau Josen emang tidak bertindak seperti sahabat pada umumnya. Dia menyimpan sesuatu. Hanya saja, Adong masih tak mengerti. Bahkan setelah tahun-tahun berlalu dan Lovi kembali ke kota ini, dia masih saja sibuk pacaran dengan orang lain. Apa dia gak pernah mikir kalau kesempatan akan hilang jika disia-siakan?
“Diam sajalah. Kau sendiri pun sama.”
“Apanya yang sama?”
“Kenapa masih jomblo setelah putus dari Aya?”
“Itu urusanku. Bukan urusanmu.”
“Aya bahkan udah pacaran berkali-kali.”
“Ya, itu bukan masalah.”
“Maksudku, kau masih punya kesempatan juga. Dia lagi jomblo sekarang.”
Cinta. Masih percayakah pada cinta? Adong bukannya tidak bisa melupakan Aya. Dia hanya benci akan hubungan cinta. Perceraian kedua orang tuanya, berhasil membuat kepercayaannya luluh lantah. Dia yakin banget kalau Aya adalah perempuan yang menginginkan pernikahan. Apa jadinya jika cewek itu kembali padanya? Bukankah akan sangat menyulitkan? Masa depan mereka jelas berbeda.
Perceraian orang tua adalah petaka bagi anak-anaknya. Satu hal yang mereka kira sederhana benar-benar menghancurkan. Setiap kepingan hidup Adong berubah drastis. Adiknya juga harus mengalami sesuatu yang sangat tidak disangka-sangka. Padahal Visi adalah adik perempuan yang punya cita-cita tinggi. Dia harus berakhir pada pernikahan di usia muda. Sial. Semua itu membuat Adong semakin merasa bersalah.
“Visi apa kabar?”
“Kenapa tiba-tiba nanya begitu?”
“Aku hanya merindukannya.”
“Aku sudah lama tidak menghubunginya.”
“Serius? Apa tak coba sekali pergi ke rumahnya?”
“Josen, gimana caranya aku bisa kesana? Aku gak sanggup bicara sama dia.”
Selain tak punya kuasa untuk bertemu, Adong juga benci pada laki-laki itu. Laki-laki yang mungkin akan menyakiti Visi. Siapa yang bisa menjamin kalau pria itu akan bertanggung jawab? Dari awal pernikahan saja, pria itu sudah ia labeli sebagai pria b******k. Tidak sudi menginjakkan kaki di rumahnya.