.57. Kabur Dari Rumah

1275 Kata
Meja kerja itu tampak berantakan. Lembaran kertas menumpuk di setiap sisi. Suasana yang sangat crowded tapi jadi terlihat biasa. Perempuan itu duduk dengan kepala tertunduk sambil menggerakkan jari tangannya yang memegang sebuah pulpen merah. Di telinganya terpasang headset berwarna putih.  Lovi menikmati saat-saat seperti ini. Menghabiskan sisa waktu dengan mendengarkan lagu.  “Lovi!” “Kenapa?” “Aku lagi sedih.” Lovi langsung mendongakkan kepala. Melihat Aya yang wajahnya suram dan putus asa. Bahkan matanya sembab karena habis menangis. What’s going on? “Ay, kenapa?” “Apa aku boleh nginep di rumahmu?” “Kamu berniat gak pulang?” “Aku benci sama seisi rumah itu.” “Damn! Padahal kau sering menyanjung mereka. Sekarang kok gini?” “Aku habis berantem sama Igo dan juga mama.” Lovi menarik nafas. Dia mengambil handphonenya dan mengirim pesan pada seseorang. Ayolah, walau Aya sahabatnya, dia harus meminta izin dulu. Biar mama  dan papa gak kaget. Aneh juga kalau tiba-tiba bawa teman untuk menginap. “Kata mama, kamu boleh nginap.” “Argh, kau benar-benar malaikat.” “Jangan lebay. Sehari aja ya, abis itu pulang. Mereka juga khawatir kalau kamu gak pulang.” “Iya, Lovi.” Lovi dan Aya akhirnya larut dalam kesibukan masing-masing. Yups, scrolling media sosial di handphonenya. Kegiatan paling  umum pada manusia kala ini. Setidaknya bisa dapat insight baru atau sekedar melihat perubahan Kota Jakarta yang sudah lama tak mereka kunjungi.  Sekarang semuanya udah serba enak. Kalau kangen, tinggal buka media sosial. Semua rasa rindu itu dapat terbalas. Berbeda dengan Lovi, Aya sering merindukan kota itu. Kota yang penuh dengan hingar bingar. Walau sering kesepian, dia selalu punya tujuan. Banyak tempat yang bisa dikunjungi. Nginep di hotel gak akan membosankan. Fasilitas yang diberikan juga luar biasa. Beda dengan kota ini. Gak ada yang bisa jadi tempat pelabuhan kecuali manusia juga. Manusia yang menghancurkan, manusia juga yang menghibur.  Aya gak mau nginep di hotel antah berantah itu. Mending nginep di rumah Lovi yang jelas-jelas terjamin kedamaiannya. Setidaknya, hal itu tak terlalu membosankan.  “Astaga, kau mau pindahan apa gimana?”tanya Lovi kaget. Aya sampai bawa koper segala. Dia beneran minggat? Betapa gilanya dia. “Ayolah, aku butuh banyak barang.” “Ah, terserahlah.”balas Lovi sambil membuka bagasi. Aya terlihat sumringah setelah memasukkan barang itu. “Let’s go!” “Ay, bisa tunggu bentar? Aku ketemu Edgar dulu.” “Ah, it’s ok. Aku tunggu di dalam ya.” Tak lama Edgar datang. Mereka mengobrol beberapa saat. Lovi terlihat senang. Itulah yang tertangkap mata Aya. Aya tersenyum senang. Dia bisa melihat dengan jelas ada cinta dalam tatapan mata Edgar. Meski Lovi belum bisa membalasnya, tapi dia terlihat puas.  Puncak kebahagiaan bukan hanya mencintai orang yang mencintai kita. Tapi mendapat perhatian luar biasa juga masuk hitungan. Banyak orang yang mencintai dengan cara yang salah. Meski begitu, banyak pula yang beruntung mendapat cinta yang sepantasnya. “Sorry, lama.” “Wuih, dikasih apa tuh?” “Ah, ini.”balas Lovi sambil mikir. “Katanya sih hadiah, tapi aku gak tahu isinya.” “Ih, ayo kita buka.” “Buka aja. Aku nyetir.” “Ih, masa gitu?” “Ya, gak apa-apa. Kita kan sepaket.”candanya. Membuat Aya memukulnya keras sambil cekikikan. Aya merasa sangat tersentuh. Walau dia payah di berbagai hal, dia beruntung punya sahabat seperti Lovi. Seumur hidupnya, mereka gak pernah berantem. Paling parah yang berdebat hebat tapi besoknya langsung baikan. Yah, begitulah semesta membuat mereka jadi sohib yang sejati.  Lovi membukanya dan menemukan cemilan coklat. Banyak banget. “Kamu gak ngasih tahu dia?” “Apa?” “Kamu kan gak terlalu suka cokelat.” “It’s oke, Ay.” Aya menarik nafas kesal. “Lovi, hubungan yang baik itu harus diawali dengan kejujuran. Pasangan kekasih gak boleh saling menutupi.” “Aku gak mau nyusahin dia, Ay.” “b**o! Apa kau kira dia benci dibikin susah?” “Pasti. Soalnya aku juga benci kalau dibikin susah sama orang.” “Dasar jomblo abadi. Cowok itu suka dibikin susah, Lov. Dia merasa dapat diandalkan.” “Emang iya?” “Cokelat ini aku yang habisin. Tapi sini handphone-mu.” “Buat apa?”  Tak mau menjawab, Aya langsung mengambilnya dari tas kecil itu. Dia menyuruh Lovi membuka dengan password. Aya mengetikkan sesuatu. “Mau apa sih? Handphone itu privasi.” “Gak ada privasi antara kita. Kalau kau mau melihat chat aku sama Tommy juga gak masalah.” “Jadi itu mau ngapain?” “Done!” Lovi : Ed, makasih buat hadiahnya. Tapi aku belum ngasih tahu ya. Sebenarnya aku gak terlalu suka cokelat. Aku lebih suka keju. Aku tetap akan habisin ini sama Aya. “Kau sudah gila? Aku jadi gak enak. Kesannya pengen dibeliin ini itu.” “It’s ok. Aku jamin kalau  ini aman.” “Sial!” Tak lama, sebuah pesan balasan datang. Edgar : Oh, iya? Sorry ya Lov, aku gak  tahu. Iya, suruh Aya aja yang habisin. Besok aku beliin kamu yang rasa keju. Hati-hati nyetirnya.  “Tuh kan, emang aku paling ahli buat beginian.” “Dasar! Bikin panik aja. Kalau aku jadi gak konsen nyetirnya, kita bisa mati, Ay.” “Jangan dong.”balas Aya sambil tertawa.  Aya terpaku pada satu tempat yang ramai. Seperti pasar malam. Pasar yang terlihat besar waktu ia masih sekolah dulu. Sekarang, hal seperti ini terlihat biasa saja. Kemacetan yang tak terduga pun terjadi. Bikin mereka menghabiskan banyak waktu di jalanan itu. “Lov, kita istirahat dulu ya. Minum bandrek gitu.” “Ah, kau mau?” Aya mengangguk. Akhirnya mobil diparkirkan di depan sebuah ruko. Mereka sih masih kenyang karena tadi sore ada yang beliin donat untuk dimakan bersama. Terdengar lagu yang menenangkan. Menambah rasa tenang di hati keduanya. “Jadi kenapa kamu berantem sama Bang Igo? Soal rumah kotor? Atau malah gara-gara uang?” “Lov, ini gak sesederhana itu.” “Walau rumit, aku yakin kau bisa selesaikan itu.” “Argh, aku benci sama mereka. Tega-teganya mau membuang barang-barang bapak.” Aya tidak paham dengan keluarganya yang bisa semudah itu melupakan bapak. Bahkan barang berharga di rumah itu mau dijual. Ya, harganya memang lumayan mahal. Motor yang bertahun-tahun selalu dipakai bapak. Mentang-mentang Igo sudah punya motor baru, ia mau menghilangkan motor bapak yang sangat berharga. “Ayolah, Ay. Motor ini gak ada yang pakai. Kau sama ibu juga gak bisa bawa motor kan? Jadi buat apa disimpan-simpan.” “Ini punya bapak.” “Bapak udah gak ada. Apa yang mau kau harapkan?” “Ay, kita butuh uang.” “Bisnis? Apa ibu yakin Bang Igo bakal berhasil sama bisnisnya? Kalau gagal, gimana? Dia selalu gagal melakukan apapun. Jangan korbankan motor bapak.” “Apa kau bilang? Kau tidak tahu usahaku selama ini?” “Usaha apa, hah? Kau hanya sibuk menghabiskan uang tapi gak ada yang berhasil. Mau sampai kapan menempel kayak parasit?” “Diam!”teriak Igo kesal. “Pokoknya aku gak setuju.” “Jangan sok jadi anak yang paling berbakti. Bapak meninggal aja, kau gak pernah datang. Siapa yang ada di samping bapak di akhir hidupnya? Kau pikir itu dirimu?”ucap Igo marah. Ibu menahannya untuk tidak bicara lebih jauh. “Igo, jangan ngomong gitu.” “Lebih baik kayak aku. Daripada kalian, kalian sudah berani melupakan bapak.  Kalian cuma memikirkan diri sendiri. Apa kalian gak tahu apa yang kualami selama ini? Bahkan untuk ke makan itu saja, aku gak berani. Rasanya mau mati.” Itulah yang terjadi kemarin malam. Pagi harinya, Aya pergi dengan membawa barang-barangnya. Dia hanya mengirim pesan kepada ibu untuk tidak mencarinya. Ya, dia baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk memikirkan semua ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN