.58. Perkara Hadiah

1294 Kata
Bagaimana rasanya kabur dari rumah di usia 27 tahun? Ya, itu bukan contoh yang baik. Itu menunjukkan bahwa masih ada sifat kanak-kanak di usia yang sudah dewasa itu.  “Aku selalu suka ketemu mamamu, Lov.” “Kenapa emang?” “Suka tersenyum sambil ngelawak. Really nice.” “I know. Tapi awas aja, kau diterima di tempat ini cuma satu hari.” “Iya.”balas Aya sedih. Walau begitu, dia mau berusaha keras untuk diterima setidaknya selama seminggu.  Lovi sedih banget waktu tahu apa yang terjadi sama Lovi. Dia sudah berusaha dengan keras agar bisa bertahan. Meski sudah berlalu, dia masih tetap merasa bersalah. Kebahagiaannya pasti sering terusik. Seakan ada yang mengganjal di dalam hatinya. Pantaskah aku bahagia? Lovi selesai mandi dengan handuk di lehernya. Dia melihat Aya sedang merenung sambil melihat foto keluarga di meja itu. Ada tatapan kosong disana. Bikin Lovi menghela nafas. “Ay, tetap kuat.”hiburnya sambil memeluk cewek itu.  “Aku gak apa-apa.”ucapnya hendak melepaskan pelukan itu. Tapi Lovi gak mau melepaskannya. Akhirnya Aya menyerah. Dia menangis di dalam pelukan itu. Tangis yang benar-benar lepas. Tangis yang ia tahan karena tak sanggup melakukannya di rumah itu. “Aku kangen bapak, Lov.” “Aku tahu.” Aya terlihat sangat putus asa. Bahkan setelah bertahun-tahun, ia masih belum bisa melupakan sosok ayah yang ia cintai itu. Bahkan mungkin saja ia masih merasa kalau perpisahan itu baru kemarin.  “Aku benci sama Bang Igo.” “Apa kamu gak sadar, apa yang dia katakan ada benarnya.” “Kamu lebih bela dia?”tanya Aya syok. “Bukan ngebela,  tapi hidup berjalan Ay. Kau harus pergi ke makamnya om. Gak boleh selamanya terjebak kayak gini.” “Aku gak mau. Aku takut.” “Apa kau pikir om akan membencimu karena tidak datang?”tanya Lovi dengan tatapan dalam. Air mata Aya malah semakin menetes. Dia merasa sangat sedih mendengar perkataan Lovi. Bagaimana jika itu benar? Sungguh, dia anak yang durhaka. “Engga. Gak ada orang tua yang kayak gitu.” “Tapi,,,” “Mau pergi bareng aku?” “Gak. Gak usah, Lov.” “Kau boleh tinggal disini sesukamu. Tapi kita pergi akhir pekan.” Tawaran yang menarik. Lovi emang sengaja melakukan ini. Dia tahu kalau Aya berniat minggat untuk waktu yang lama. Dia sampai membawa koper besar, gak mungkin dia berniat pulang dalam waktu dekat. Sekalian aja Lovi memberinya solusi. Mungkin dengan berkunjung ke pemakaman, Aya bisa sedikit lebih tenang. Dia harus menghilangkan rasa takutnya itu. “Mau gak?” “Ya udah. Tapi aku bebas kan disini?” “Tentu saja. Kamarku kan besar, soalnya anak tunggal.” “Enak banget. Aku selalu muak liat Bang Igo. Dia sering nongol di pintu kayak setan.” “Hahaha, tapi Bang Igo baik kok.” “Baik apanya? Dia mau buka bisnis dengan otaknya yang d***u itu. Kerjanya cuma ngabisin uang ibu.” “Astaga, Lov. Nanti kamu bakal nyesel kalau dia beneran berhasil.” “Berhasil apanya? Katanya dia mau buka restoran di pinggir pantai. Dulu dia pernah melakukan itu di kota. Dan gagal total. Sekarang dia mau bikin di tempat sepi yang pengunjungnya gak seberapa. Gak habis pikir.” “Ya, siapa yang bisa menjamin masa depan? Siapa tahu ada keajaiban.” “Gak mungkin! Udah ah, aku mau tidur.” “Ah, aku matiin lampu dulu.”ucap Lovi sambil beranjak. “Kau masih sama kayak dulu?” “Ya, iyalah. Kita kan tim mati lampu.”balas Lovi sumringah.  Jadi teringat dulu pernah menginap di rumah Adong. Momen paling bahagia karena mereka masih sangat muda. Argh, apakah hal itu bisa diulang lagi? Rindu banget. *** Edgar benar-benar gila. Dia membawa hadiah itu di pagi hari yang masih sangat dini ini. Lovi sampai bingung harus bagaimana. Terkadang, di treat like a queen bukan hal yang memuaskan. Terutama bagi Lovi yang masih canggung pacaran sama Edgar. “Ed, kamu kesini cuma mau ngasih hadiah?” “Iya. Kemarin kamu bilang sukanya keju. Jadi aku beli aja.” “Tapi gak harus begini, Ed.” “Maksudnya?” Lovi ingat ucapan Aya tadi malam. Dalam berpacaran itu harus ada kejujuran. Kejujuran akan bikin pacaran jadi lebih hidup. Unjuk kekurangan dan kelebihan. Sebab jika cuma kelebihan, dunia ini akan terasa sangat membosankan. “Jangan kasih aku hadiah untuk alasan yang tidak jelas. Hadiah itu dikasih kalau lagi ada acara penting. Setidaknya ulang tahun  gitu.” “Kamu ulang tahun kapan?”tanya Edgar. Lovi kira ia akan marah atau setidaknya tidak enak hati. Ternyata perkataan Lovi gak terlalu menyinggung.  “Masih lama.” Edgar mengambil handphonenya. Handphone keluaran terbaru yang harganya dua digit. Pacaran sama anak orang kaya memang ngeri-ngeri sedap. Kadang kagum dan kadang merasa rendah diri. “ Kamu catat di sini. Aku juga catat ulang tahunku di handphonemu.” “Ah, ya sudah.”balas Lovi mengalah. “Sorry ya, sebenarnya aku juga agak tidak setuju dengan memberi hadiah tanpa alasan. Tapi Nadya bilang ini akan bikin cewek terpesona.” “Kamu tanya sama Nadya?” “Ah, iya. Aku butuh saran biar gak salah dalam bertindak.” Lovi gak habis pikir. Dia tertawa keras. Demi apapun, Edgar sangat aneh. Tapi usahanya pantas diapresiasi.  “Begini saja, kamu gak usah nanya apa-apa sama Nadya. Lakukan saja yang menurutmu benar. Aku juga akan begitu. Biar gak ada yang pura-pura di antara kita.” “Ah, baiklah.”balas Edgar sambil tersenyum. Lovi jadi senyum-senyum waktu masuk kantor. Bahkan bikin semua orang meledek. Biasalah, orang yang lagi jatuh cinta memang sangat menyebalkan. Siapa sih yang gak iri melihatnya? Terutama yang jomblo garis keras. “Kamu dapat hadiah lagi?” “Gara-gara kamu.” “Wuah, impresif. Ternyata dia gercep juga.” “Mohon perhatiannya!”ucap seseorang yang baru saja masuk. Semua orang langsung dalam posisi siap. Mereka harus rapat pagi ini. Mendengarkan celotehan yang tidak masuk ke dalam otak. Pembahasan rapat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka setiap hari. Jadi, mereka hanya mendengarkan dengan baik. Visi dan misi instansi kedepannya.  “Boring time is over!”komentar Aya setelah rapat usai. “Ay, aku butuh pendapatmu.” “About what?” “A gift.” “What? Kamu mau langsung ngasih kado buat Edgar?” “Ah, soalnya dia ulang tahun minggu depan.” “Serahkan padaku, Lov.” Lovi tersenyum. Dia benar-benar gak menyangka kebetulan ini akan terjadi. Secara tidak langsung ia jadi tahu ulang tahun Edgar. Padahal dia gak ada niat untuk ngasih kado. Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Gak mungkin kan dia pura-pura gak tahu? Aya ngasih banyak rekomendasi. Mulai dari pakaian, barang mewah hingga perlengkapan rumah. Ayolah, dia mampu membeli semua itu. Apakah tidak ada kado yang lebih dalam maknanya?  “Apa tanya langsung aja ya?”tanya Lovi sambil mikir. Mereka lagi nunggu mie instan yang baru saja dipesan. Lagi bosan makan nasi, mie adalah solusi. “Gak boleh gitu, b**o. Itu namanya gak surprise.” “Apa kita tanya Nadya aja?”saran Aya sumringah. Tunggu dulu, kok ini jadi kayak deja vu ya? Kalau tanya sama Nadya, endingnya pasti sama. Ya, seperti perbuatan Edgar padanya. Tak ada yang berhasil. “Oh gitu? Ternyata ini gak semudah yang dibayangkan. Ngasih kado sama orang biasa lebih enak daripada sama orang kaya.”ucap Aya dengan wajah bingung. Mereka berdua sama-sama berpikir keras untuk keputusan kali ini. Apa beli kaos kaki murah aja di pasar malam? Tapi itu gak bakal berguna. Dia pasti lebih memilih kaos kaki mahal yang ada di rumahnya. “Aku punya ide. Ini bukan sekedar kado sederhana, tapi ada makna yang luar biasa.”ucap Aya memberi saran. Lovi mendengarkan dengan seksama. Okelah, ini terdengar baik. Ide yang tidak beresiko dan mungkin akan disukai Edgar. Lovi setuju dengan ide random itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN