Rasa Kecewa

1912 Kata
"Kamu!!" Pria itu terus melangkah mendekati Renata, tidak ada ekspresi terkejut yang terlihat dari wajahnya. "Menunggu ku?" Kedua alis Renata bertaut, desiran angin membawa pikirannya terbang begitu jauh. Gadis itu sempat terdiam beberapa detik, mungkin masih shock dengan apa yang ia lihat. Saka dengan santai berjalan menuju ke arah Renata, lalu dengan perlahan tangan kekarnya merangkul bahu tegap sang pria. Senyum itu tidak pernah hilang dari wajah pria yang terus menatap Renata. "Lama." "Macet." Suara bariton itu terdengar jelas di telinga Renata, ia masih bingung harus berekspresi seperti apa. "Macet atau memang kau tadinya tidak mau datang?" Terkekeh kecil "yang kedua sepertinyaa benar." Saka lalu menatap Renata, dirinya dan juga pria yang berada di sampingnya lalu berdiri tepat di hadapan Renata. "Re.." panggil Saka kepada Renata yang masih bergeming pada tempatnya. Bahkan Renata tidak sadar bahwa Akiba sudah tidak berada di dekatnya. Kemana dia? — batin sang gadis. "Kenalin nih.." "Tidak perlu." Sanggah sang pria memotong ucapan Saka. Saka yang sedikit bingung lalu menatap sahabatnya tidak mengerti. "Kenapa?" Melirik ke arah Renata "kemarin kau bilang akan mencobanya.." Safanah dan Inka yang melihat interaksi antara Renata juga pria yang akan di kenalkan olehnya terlihat kurang baik, lalu keduanya segera menghampiri ke tiga insan yang masih sama-sama terdiam. "Aku sudah mencobanya." Renata yang terus menatap mata pria yang juga menatapnya tidak bisa mengatakan apapun, bibirnya mendadak kaku, tubuhnya tidak bisa di gerakan. "Ada apa ini?" Tanya Safanah kala sudah berada di antara Saka, Renata dan pria yang mereka kenal. Menoleh ke arah Saka, pria berbadan tegap dengan tinggi kurang lebih 182 cm itu lalu tersenyum ke arah Saka, Safanah, dan juga Inka. "Dia calon istriku." Suasana mendadak sepi, setelah kata itu terucap mata hitam Renata membola, ia ingin sekali membantah namun entah kenapa bibirnya sulit berucap. "Re?" Panggil Inka "Re ini bener?" Tanya Safanah menuntut penjelasan. "Re kenapa diem aja?" Panggil Inka sekali lagi. Syie dan Akiba terlihat sedang menatap ke arah mereka, entah apa yang terjadi namun tubuh Renata benar-benar tidak dapat di gerakan. Hangat tangan dapat Renata rasakan, entah harus marah atau berterimakasih kepada pria yang kini menggenggam tanggannya. Renata sungguh bingung harus menjelaskannya darimana kepada sahabat-sahabatnya. "Kenapa tegang sekali?" Ucap pria itu kala melihat beberapa mata memandang ke arahnya juga Renata. "Aku hanya bercanda.." lalu terkekeh kecil "kenapa kau diam saja?" "Nat.." satu kata yang hanya bisa seseorang ucapkan. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. "Kalian udah saling kenal?" Tanya Safanah tidak mengerti. Pria itu mengangguk "dia Sekertaris ku." "Apa?" "Re.." panggil Inka dengan nada menuntut. "Di-dia memang Bosku." Ucap Renata membenarkan ucapan Keynaru. Ya.. ternyata pria yang akan di kenalkan kepadanya adalah Bosnya yang tak lain adalah Keynaru. "Kenapa kau hanya mengenalkan ku sebagai Bosmu?" Tanya Keynaru tanpa melirik ke arah Renata. Bahkan genggaman tangan sang pria semakin erat menggenggam tangan milik gadis yang terlihat sangat bingung harus berbuat apa. "Re." Sekali lagi suara Inka seakan menuntut sebuah penjelasan. "Dia memang Bos ku, kami kenal belum lama, dan.." ucapannya terhenti kala melirik sekilas tatapan para sahabatnya. "Kami di jodohkan." Renata dapat dengan jelas melihat tatapan Inka dan Safanah yang seakan ada rasa kecewa di mata keduanya. Entah apa yang membuat mereka kecewa tapi memang itu kenyataannya. "Re.. kok kamu nggak cerita?" Tanya Safanah. "Ta-tapi itu hanya perjodohan orang tua kami.." "Hah?" Menoleh ke arah Renata "tapi kita bahkan sudah menyetujuinya Nat." Ucap Keynaru kepada Renata yang sudah menundukan kepalanya. "Kok kamu tega Re, kenapa nggak cerita ke kita? Jadi kita ini kau anggap apa?" Timpal Inka. Keynaru yang melihat tingkah Renata yang tidak seperti biasanya sangat tahu bahwa gadis yang sekarang berada di dekatnya sedang amat sangat tertekan. "Kau kenapa?" Tanya Keynaru. "Aku mau pulang." Ucapnya sedikit lirih. Bahkan Inka dan Safanah tidak mengatakan apapun lagi. Seperti yang Renata pikirkan sepertinya kedua sahabatnya kecewa terhadap dirinya. Tanpa menunggu persetujuan, Renata segera bergegas meninggalkan rumah Syie. Namun langkahnya harus terhenti kala Keynaru menahan tangannya. "Kemana?" "Aku mau pulang." "Tapi bahkan acaranya belum mulai." "Lepas Ru." "Nat.." panggil Keynaru tanpa mengalihkan pandangannya. "Lepasin." "Kau nggak suka ada aku?" "Lepasin Ru." "Jawab." "Please lepasin Ru." Menarik napas berat, Keynaru lalu menoleh ke arah Saka, Syie juga Akiba yang masih berdiri menjaga jarak dari dirinya juga Renata. Mendapat anggukan dari Syie, pria yang bahkan tidak melepaskan tangan sang gadis lalu melangkah perlahan. "Ku antar." Menahan langkah Keynaru. "Aku bisa pulang sendiri." "Kau keras kepala sekali, tapi aku jauh lebih keras kepala dari dirimu Nat." Menoleh, menatap mata Renata. "Ku antar." Kali ini tidak ada perlawanan ataupun penolakan dari sang gadis, nyatanya tetap bertahan di sini dengan tatapan kecewa dari para sahabatnya membuat Renata tidak nyaman. Memangnya apa yang salah? — batin Renata bertanya. Apa yang salah? Kenyataan yang mereka terima tidak sepahit yang Renata jalani. Bahkan bukan mereka yang harus menjalani semua kehidupan yang memuakan ini, tapi dirinya. Renatalah yang harusnya kecewa dengan keadaan. "Masuk." Ucap Keynaru yang ternyata sudah membuka pintu mobil. Tanpa pikir panjang gadis bersurai panjang itu telah masuk ke dalam mobil milik sang pria, Renata bahkan tidak mengatakan apapun. Ia tidak ingin membuat harinya semakin hancur. Suara deru mesin mobil membuyarkan lamunannya. "Ini bukan ke arah rumah." "Aku tidak mau memulangkan seorang gadis dengan wajah suram seperti dirimu." Menoleh ke arah sang pria, jujur saja Renata sebenarnya sangat kesal kepada pria yang masih terus fokus pada kemudi dan jalanan di depannya. Kalau saja bukan dirinya, kalau saja bukan ia pria yang akan di kenalkan oleh sahabat-sahabatnya mungkin kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. "Kau kenapa? Dari tadi hanya menarik napas, aku bosan mendengar itu." "Ru apa bisa perjodohan ini kita batalkan?" ** Suara dering ponsel membuyarkan lamunan pria yang sedang tertidur nyenyak di ranjangnya. Dengan malas sang pria lalu berdiri menggapai ponsel yang sebelumnya ia simpan di nakas yang berada di kamar. "Yaa?" Terlihat anggukan kecil dari kepalanya, entah apa yang di katakan oleh seseorang yang berada di seberang sana. "Aku akan bersiap." "Kau tunggu dulu di sana. Jangan kemanapun." Kembali menganggukkan kepalanya. "Iya, aku tidak ingin semuanya berantakan." Terdengar kekehan kecil dari bibir pria yang bahkan tidak mengenakan pakaian atasnya. "Yasudah tunggu dulu.. aku tidak akan lama." "Oke." Kata terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya memutuskan panggilan yang ada. Meletakan kembali ponsel berwarna hitam dengan logo yang begitu familiar di kalangan masyarakat. Pria itu lalu bergegas menuju kamar mandi, namun langkahnya harus terhenti kala mendengar suara bell dari pintu utama rumahnya. Mengambil kaus berwarna putih yang tergantung di balik pintu, lalu memakainya dengan asal pria berkulit putih dengan tinggi 180 cm itu segera menuju pintu utama. Membukanya dengan perlahan, dapat terlihat jelas pengantar paket telah berdiri menanti kedatangannya. "Dengan mas Tala Ferndinan?" Pria bernama Tala itu kemudian mengangguk, "betul Pak." "Ini ada paket atas nama Mas." Salah satu alisnya terangkat, ia tidak merasa telah memesan sesuatu jadi siapa yang telah mengirimkan paket untuk dirinya. "Dari siapa Pak?" Terlihat raut wajah bingung dari Bapak pengantar paket yang masih setia berdiri di hadapan Tala. "Waduh, saya kurang tahu ya Mas, di situ cuma tertulis nama penerima dan nomor penerima saja Mas." Dengan berat hati dirinya harus menerima paket yang bahkan ia tidak tahu siapa pengirim dari paket tersebut. "Yasudah saya terima Pak paketnya." "Baik Mas, silahkan tanda tangan di sini," tanpa menunggu lama pria itu langsung menandatangani kertas bukti bahwa dirinya telah menerima paket tersebut. "Terimakasih Mas, saya permisi." "Iya Pak, terimakasih." Ucapnya lalu setelah melihat Bapak pengantar paket itu telah pergi dari kediamannya, Tala dengan perlahan menutup pintu rumahnya. "Berat." Menaruh dus paket itu pada meja yang ada di ruang tengahnya. Tala Ferdinan adalah seorang Model yang sedang naik daun, ia sangat mencintai pekerjannya karena memang mimpinya selama ini adalah menjadi seorang Model terkenal di dalam juga luar Negeri. Ia yang hanya tinggal seorang diri di salah satu Apartemen yang berada di Jakarta membuat dirinya menjadi sangat mandiri. Tala tidak punya Kakak maupun Adik, ia adalah anak tunggal dari keluarga seorang Pengusaha yang cukup besar namanya. Ayah yang mempunyai sebuah usaha tentunya sangat ingin mewarisi apapun yang dia miliki kepada anak semata wayangnya. Namun jalan yang Tala ambil bukanlah yang orang tuanya harapkan. Sempat mendapatkan penolakan secara terang-terangan ketika dirinya mengatakan akan menjadi seorang Model, namun tidak menyurutkan tekad sang pria untuk terus mengejar mimpinya. Ia pergi dari rumah, meninggalkan orang tuanya tanpa perlu berdebat dengan apa yang telah ia pilih. Ayah Tala adalah tipikal seorang Ayah yang tidak mau ambil pusing, ia berpikir anaknya adalah seorang laki-laki dewasa. Apapun yang menjadi pilihan sang anak ia berharap bukanlah jalan yang salah. Dan kini di sinilah Tala, dengan mimpinya yang berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan selama ini. Tala yang sebelumnya pergi menuju dapur untuk mengambil sebuah gunting, guna membuka paket yang tidak tahu asal usulnya dari mana dan siapa pengirimnya. Sempat terbesit bahwa ini mungkin dari Fans, tapi bahkan Tala tidak pernah memberi tahukan alamat rumahnya kepada siapapun kecuali orang yang sudah sangat ia percaya juga Managernya. Hal pertama yang ia lihat ketika membuka kardus yang tidak begitu besar namun terlihat sangat banyak isinya adalah selembar kertas dengan adanya tulisan tangan di dalam kertas putih itu. Pria itu mulai membaca perlahan, tulisan tangan yang sangat ia kenal siapa penulisnya. Dear Tala. Terimakasih untuk semua hal yang sudah kamu berikan kepadaku. Aku tidak akan pernah menuntut dirimu untuk menjelaskan apapun, bahkan memintamu untuk kembali bersama ku. Dirimu telah hilang, begitu juga dengan kenangan kita. Aku akan menguburnya sangat dalam. Jadi, aku ingin mengembalikan semua hal tentang kamu, apapun itu, sekecil apapun bentuknya.. Aku tidak ingin menyisakan luka dalam hatiku. Semoga kau selalu sehat.. Salam perpisahan dari diri ku yang dulu begitu mencintaimu, Renata. Mengusap kasar wajahnya, bahkan Tala sempat tanpa sadar melupakan gadis yang dulu sangat berarti dalam hidupnya. Satu demi satu barang yang berada di dalam dus ia keluarkan, terlihat beberapa barang yang dulu ia belikan untuk kekasih hati— mantan kekasihnya. Mata hitam itu tertuju pada satu benda. Dengan perlahan ia mengambilnya dari dalam dus yang terlihat sudah sedikit kosong. Memandang sepasang gelang yang sangat familiar untuk dirinya, Tala sangat ingat ia dulu memberikan gelang ini saat merayakan hari jadi mereka yang ke tiga tahun. Maaf — batinnya berucap, hanya itu yang bisa ia ucapkan sekarang juga dulu saat dirinya memutuskan untuk meninggalkan Renata. ** Gadis berperawakan mungil itu melangkahkan kakinya menuju ranjang yang terlihat sangat rapih. Ia lalu mendudukan dirinya di sisi ranjang. Terdiam beberapa detik sampai dirinya harus kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu. Bahkan Renata belum dapat menerima apa yang terjadi pada dirinya hari ini, berharap mendapatkan hari yang menyenangkan namun sebaliknya. Renata harus menelan pahit atas apa yang sengaja ia sembunyikan. Bukan tidak ingin memberitahu Inka juga Safanah tentang perjanjian juga perjodohan yang menimpa dirinya, namun Renata seakan berpikir bahwa saatnya belum tepat untuk memberitahukan kebenarannya kepada ke dua sahabatnya. Juga Renata harus menelan ekspetasinya yang terlalu tinggi, berpikir akan mendapatkan seseorang yang mungkin bisa membantunya keluar dari rasa sakit yang mendalam nyatanya hanya angin dingin yang ia rasakan. Menatap sudut kosong yang berada di kamarnya, ia sungguh tidak mengerti harus melakukan apa. Renata takut untuk memulai pembicaraan dengan Inka ataupun Safanah, ia takut mereka tidak ingin mendengarkan penjelasan Renata. Selama perjalanan pulang Keynaru bahkan tidak mengatakan apapun, setelah pertanyaan yang Renata ajukan Keynaru seakan bungkam. ia berpikir bahwa sang pria akan membawanya ke suatu tempat nyatanya Keynaru hanya berputar-putar di area komplek Renata. Renata ingat, sangat ingat kata yang terakhir kali sang pria ucapkan ketika dirinya akan turun dari mobil. "Apapun yang terjadi nanti, jika memang semua orang menjauhi mu dan bahkan meninggalkanmu. Ingat, ada aku yang akan selalu bersamamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN