Merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi Nara mulai undur diri dan berjalan menjauhi Sadewa namun dari arah berlawanan dua siswa laki-laki bernama Dimas dan Adam murid kelas 11 IPS 5 dengan senyum tengilnya menghampiri Nara.
“Baby take my hand i want you to be my wife, cause you my snow white and i love you 5000.” Nyanyi Dimas dengan receh sambil tersenyum tengil.
“Kami begitu khawatir akan keadaan Ratu jadi kami putuskan untuk menjemput Ratu. Mari Ratu, kami antar ke kerajaan kami.” Ajak Adam sambil mengulurkan tangannya agar Nara mau meraihnya. Nara tertawa pelan melihat perlakuan receh anak didiknya lalu memukul pelan tangan Adam.
“Udah ah, masuk kelas sana, ini saya jalan ke kelas kalian.” Jawab Nara sambil melanjutkan jalannya.
“Siap bu, kami kawal ya bu biar gak ilang. Nanti kalau ilang saya gak nikah dong.” Sedih Dimas. Sadewa pun yang mendengar ucapan salah satu murid reflek berteriak.
“Hey! Kalian cepat masuk kelas! Jangan korupsi jam pelajaran ya!” Teriak Sadewa pada mereka. Otomatis Nara, Adam dan Dimas menoleh kearah Sadewa yang menatap mereka kesal.
"Iya pak siap." Ucap Adam dan Dimas bersamaan. Nara yang jengah pun menyeret kedua siswanya agar menjauhi Sadewa untuk segera menuju kelas.
“Bu saya gak suka sama kepsek yang baru. Galak gitu kelihatannya” Adu Dimas pada Nara.
“Saya juga. Bukan kelihatannya lagi tapi emang galak. Udah ah, ayo cepet nanti saya di tegur lagi.” Geram Nara.
“Orang macam kayak gitu tetep aja bukan tandingan kami Bu.” Gelak Adam dan dibalas gelengan oleh Nara.
“Gak usah macem-macem loh sama kepala sekolah baru.” Peringat Nara pada Adam dan Dimas.
“Gak macem-macem, bu. Paling cuma satu macem hehe.” Balas Dimas
****
Nara rasanya tadi ingin mensumpah serapahi Sadewa karena pria itu terus-terusan menyindirnya lewat rapat tadi. Sindiran yang berbalut peraturan baru di SMA ini. Rapat yang berjalan sedikit alot itu berakhir tepat sebelum magrib dan rapat di tutup dengan sholat berjamaah di masjid sekolah.
Padahal dulu sebelum pergantian kepala sekolah baru rapat diadakan saat jam pelajaran! Tentu saja semua guru kesal tapi bisa apa? Hanya bisa ngeghibah kepsek baru,
Ganteng-ganteng kok banyak peraturan. Begitulah kurang lebihnya
Saat ini Nara sedang mengendarai motornya menuju alamat kafe yang dikirimkan Nakula. Saat sampai di depan kafe tersebut ia langsung bisa menemukan Nakula yang duduk di pojok dekat jendela. Pria itu juga menyadari kehadiran Nara dan melambaikan tangannya kearah gadis itu sambil menampilkan senyuman manisnya.
Nara hanya mengangguk sungkan dan turun dari motor. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kafe dan langsung duduk di hadapan Nakula.
“Lama gak ketemu, ternyata kamu di kota ini.” Sapa Nakula saat mereka selesai berjabat tangan. Nara hanya tersenyum pelan.
“Baru pulang ya?” Tanya Nakula saat melihat Nara masih menggunakan baju coklat khas guru.
“Iya mas. Jadi langsung aja mas, ada apa?” Tanya Nara tanpa basa-basi. Nakula terkekeh pelan karena merasa Nara tidak pernah berubah sama sekali. Selalu to the point.
“Kamu gak berubah ya, Ra? Gak suka basa-basi dulu. Padahal pengennya basa-basi dulu karena kita udah lama banget gak ketemu.” Kekeh Nakula dan hanya dibalas senyuman Nara yang jika diamati kembali terasa enggan.
“Oke deh langsung aja. Kamu pasti kaget karena kedatangan Sadewa kan? Apalagi sekarang jabatannya tiba-tiba bisa menjadi Kepala Sekolah bukannya juga ikut ngelanjutin usaha keluarga.” Nakula mulai bercerita. Nara yang sebenarnya penasaran pun hanya mengangguk pelan.
“Sadewa masih marah sama aku, Ra. Lebih tepatnya sama kita.” Ungkap Nakula.
“Maaf ngelibatin mas Nakula dulu.” Ucap Nara penuh sesal. Nakula tersenyum lembut.
“Gak masalah. Cuma itu yang bisa aku lakuin ke kamu. Lagian saat itu aku juga suka sama kamu.” Dan sampai saat ini juga masih cinta, Ra.
“Sadewa marah dan kekeh ngambil keputusan besar. Begitu lulus dia tetep gak ambil jurusan bisnis seperti yang diarahkan Bapak sama Ibu. Dia kekeh banting setir ambil gelar Sarjana pendidikan, begitu lulus langsung ambil Magister Pendidikan sambil ngajar. Setelah itu dia langsung tes CPNS setelah diterima dia ambil sekolah di kota ini yang ternyata disitu ada kamu, Ra." Cerita Nakula. Nara masih diam mendengarkan cerita Nakula.
“Tentunya kamu tau betul alasan dia ambil ini semua?” Tanya Nakula. Sedangkan Nara terdiam karena langsung mengingat semuanya...
“Aku bingung mau ambil jurusan apa, Ra. Aku gak minat di bisnis.” Ucap Sadewa dengan tatapan kosong. Nara menoleh ke arah Sadewa.
“Terus mas minatnya apa?” Tanya Nara sambil menatap Sadewa penuh perhatian.
“Kamu pengennya suami profesi apa? Dokter? Arsitek? Atau-“
“Aku pengen punya suami PNS kalo bisa sih guru, Mas.” Ungkap Nara dengan nada ceria.
“Kenapa?” Tanya Sadewa halus pria itu memusatkan perhatiannya penuh ke arah Nara.
“Karena kehidupan kedepannya bakalan terjamin. Istri dan anak bakalan sejahtera. Kayak ayah yang guru PNS, kakak aku gampang dapet beasiswa kuliahnya, hidup kami lumayan terjamin, banyak lagi deh. Terus aku nanti juga pengen jadi PNS.” Ucap Nara.
“Ya udah nanti aku ambil pendidikan aja biar gampang peluang PNSnya.” Ucap Sadewa. Nara menatap Sadewa langsung.
“Ih, tapi kan keluarga Mas pengusaha semua. Pasti gak dibolehin.” Balas Nara. Sadewa menghelai napasnya serta sedikit setuju dengan ucapan Nara.
“Kehidupan PNS kan terjamin pasti dibolehin kalo gak dibolehin aku nekat, lagian ada Mas Nakula yang masih bisa ngurusin bisnis keluarga.” Terang Sadewa sambil mengelus rambut Nara yang sebahu.
“Hmm pemberontak semua ya saudara Mas, termasuk Mas Sadewa sendiri. Kakak pertama mas Tentara, kakak kedua Polisi, Kakak ketiga pemborong bangunan sekaligus arsitek. Terus mas mau jadi Guru PNS, kasihan Mas Nakula kalau kerja sendiri ngurus bisnis keluarga.” Gumam Nara. Sedangkan Sadewa tertawa pelan.
“Wajar anak laki-laki itu memberontak. Mas Nakula aja yang selalu nurut sama orang tua. Aku sama mas-mas yang lain beda.” Jawab Sadewa.
“Lah, bagus mas Nakula nurut sama orang tua, mas sendiri kok malah nurut pengennya aku?!” Tanya Nara.
“Kan aku pengen kehidupan keluarga ku nanti kedepannya terjamin. Dan itu sama kamu.”
Flashback off
Nara segera mengenyahkan ingatannya tentang masa lalunya yang konyol itu dimana ia dan Sadewa sangat asik merancang masa depan dengan sedemikian indahnya namun pada akhirnya berakhir sangat sangatlah manis. Bahkan terlalu manis.
“Ra?” Panggil Nakula saat Nara masih asik melamun. Nara yang mendengar dipanggil pun menggelengkan kepalanya dan menatap Nakula yang sedari tadi menatapnya.
“Iya mas, maaf.” Jawab Nara pelan sambil memukul pelan keningnya.
“Apa kamu udah bicara sama Sadewa tentang masalah salah paham itu?” Tanya Nakula pelan. Nara menatap Nakula sejenak, ia juga merasa bersalah pada Nakula karena dulu ia memanfaatkan pria itu agar Sadewa melepaskannya dan sampai saat ini Nakula sendiri tidak mengetahui kelanjutan semua masalah ini.
“Enggak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Lagian udah lama dan aku yakin mas Sadewa juga gak akan peduli.” Jawab Nara enteng. Sedangkan Nakula menatap lembut Nara.
Nara yang ditatap seperti itu pun mencoba mengabaikannya meski ia tau arti tatapan itu serta sedikit risih. Sedangkan Nakula? Pria itu menatap Nara yang makin menawan, meski gurat lelah lalu make up yang sudah tidak maksimal.
“Aku kangen sama kamu, Ra dan aku seneng banget bisa nemuin kamu disini.” Ucap Nakula jujur dan tulus.
“Seneng juga bisa ketemu sama Mas lagi." Tapi bohong. Lanjut Nara, sungguh Nara benar-benar ingin tidak terlibat dalam kedua saudara kembar ini lagi.
"Wah, Mas gerak cepat juga ya. Padahal tadi pagi masih di Bali tapi malam ini udah disini aja.” Sapa seseorang dari arah belakang Nara. Nara yang mengenali suara serak, berat nan sexy itu pun memejamkan matanya kesal. Bagaimana tidak jika nada yang digunakan pria itu sangatlah sinis.
Tak lama kursi disamping Nara terdengar bergerak untuk diduduki dan saat Nara membuka matanya ia melihat Sadewa sudah duduk dengan santainya. Pria itu juga masih menggunakam seragam Guru coklatnya.
“Aku gak ganggu kalian nostalgiakan?” Tanya Sadewa namun berbalut ejekan disana.
“Enggak kok, Pak. Lagian saya mau pulang.” Ucap Nara sambil bergegas meninggalkan meja tersebut.
“Kenapa buru-buru sih Ra? Duduk aja gak masalah. Kita udah lama nggak ketemu.” Bujuk Nakula.
“Maaf, Mas. Ayah kayaknya udah nyariin karena udah malem. Assalamualaikum.” Pamit Nara. Tanpa menunggu jawaban pun Nara langsung pergi dengan perasaan kacau.
Beginilah Nara. Suka lari dari masalah.
Sadewa nenatap kepergian Nara dengan tatapan tajam. Lalu tatapannya beralih ke Nakula yang menatap punggung Nara yang menjauh, bedanya tatapan Nakula melembut khas pria yang sedang memuja kekasih hatinya.
Brengsek! Umpat Sadewa.
“Mas Nakula kayaknya gencar banget mau balikan sama Nara sampe bela-belain ninggalin urusan di Bali.” Ucap Sadewa dengan nada yang cukup sinis.
Nakula langsung menatap Sadewa, “Bukannya kamu juga ngejar dia sampe kesini?” Serang Nakula balik.
“Kayaknya kamu lebih dulu nemuin dia pake koneksi link kamu mengenai daftar guru dan kamu sengaja kan ambil sekolah disini untuk diangkat jadi Kepala sekolah?” Lanjut Nakula.
“Sok tau!” Jawab Sadewa langsung.
“Sok tau ya hmmmm.” Gumam Nakula sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
“Dengar, Wa. Kalau hanya karena masa lalu yang bikin kamu dendam sama Nara sampai sekarang, kamu bakalan nyesel!” ucap Nakula memperingatkan.
***
“Jadi tugas kalian minggu depan itu menceritakan kembali sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia. Dan...” Nara sengaja memberi jeda untuk membuat murid-muridnya penasaran.
“Apa bu?” Tanya mereka serentak.
“Tiap anak tidak boleh sama.” Lanjut Nara dengan kejam. Semua mendesah kecewa.
“Dengan begitu kalian akan benar-benar mempelajari sejarah kerajaan pilihan kalian. Jadi ketua kelas bisa stor ke WA ibu terkait list tiap anak mengambil sejarah kerajaan di Indonesia yang akan di ceritakan. Kolektif saja. Terakhir lusa ya, Adam.”
“Serius ya bu?” Tanya Adam melas.
“Ya serius lah.” Jawab Nara jengkel.
“Tolong jangan tuntut saya untuk serius-serius dulu bu, saya belum siap nafkahin ibu.” Lanjut Adam dan langsung membuat kelas riuh.
“Eaaaaaa.”
“Masukkk mas Adam!”
“Wkwkwkwk.”
“Gombal lu bangke!”
“Huuuuuu.”
Nara yang mendengar itupun menatap datar anak didiknya. Gombalan-gombalan tak berkelas cenderung receh yang tengah tranding di sosial media bukanlah hal baru baginya. Ia pun meraih sesuatu di kantung sakunya dan mengeluarkan isinya.
“Adam kamu tau ini apa?” Tanya Nara sambil menunjukkan benda tersebut ke anak-anak didiknya terutama Adam. Semua terfokus pada benda di tangan Nara.
“Uang recehan bu.” Jawab Adam polos.
“Iya recehan. Kayak gombalanmu, Receh.” Jawab Nara sambil tertawa dan diikuti oleh semua anak-anak di kelas dan membuat kelas makin riuh.
“Udah ah, ibuk tutup dulu pelajaran hari ini. Jangan lupa tugas dan jaga kesehatan. Kan minggu depan mau study tour. Assalammualaikum.” Ucap Nara dan diangguki oleh mereka dan balasan salam.
"Siap bu Naraaaaa." Jawab mereka serentak.
“Eh-eh bu Nara..” Panggil Dimas saat Nara sudah hampir mendekati pintu kelas.
“Iya, Dim?” Tanya Nara sambil menyengitkan dahinya.
“Mundur dikit bu.” Ucap Dimas. Nara pun mundur dengan polosnya mengikuti instrksi Dimas.
“Kenapa Dim?” tanya Nara bingung.
“Cantiknya ibu soalnya kelewatan...”
“Allahhumma.” Desah Nara.