Arafah mengerjapkan matanya ketika sinar matahari menembus melalui celah jendela kamar. Dia merasakan sekujur tubuhnya terasa sangat sakit dan pegal akibat dipukul akibat acara kaburnya dari lelaki yang akan membelinya selamam.
Mengingat kejadian semalam membuat Arafah tersadar seketika. Dia melihat ke sekeliling ruang tidur yang begitu mewah. Ekspresi terkejut tercetak jelas di wajah cantiknya, tapi kini wajah itu berubah ketakutan ketika pikirannya mulai melayang pada hal-hal negatif.
Apa lelaki tua yang membelinya itu telah berhasil menidurinya?
Apa sekarang dirinya berada di kediaman lelaki tua itu?
Wajah Arafah kian memucat, dia ingat, ingatan terakhirnya saat berlari kabur dari Doni dan anak buahnya, dia menubruk seseorang dan meminta pertolongan.
Matanya kembali memindai setiap celah ruang kamar mewah dan luas yang didominasi oleh warna krem dan putih. Terasa begitu hangat, Arafah bisa merasakan itu sekarang, tapi tetap saja logikanya menyangkal hal-hal baik yang terjadi padanya.
Ceklek
Arafah mendongakan kepalanya ketika telinganya menangkap suara pintu yang terbuka, menandakan kalau seseorang masuk ke dalam.
Dan benar saja, Arafah sedikit terkejut ketika melihat seorang pria tampan dengan pakaian T-shirt biru navy masuk ke dalam dengan tangan yang membawa nampan makanan.
"Selamat pagi!" sapanya dengan suara yang begitu lembut.
Arafah mengerjapkan matanya beberapa kali, suara yang ke luar dari bibir pria tampan itu menimbulkan desir halus di aliran darahnya. Mata hijau gelap indahnya membuatnya tampak salah tingkah.
"Engg, pagi," balas Arafah dengan ragu-ragu. Bertanya-tanya dalam hati, siapa lelaki yang ada di hadapannya ini. "Ma ... ma-af ba ... bagai—"
"Makan dulu sarapanmu," ujar lelaki tampan itu memotong pertanyaan Arafah. "Setelah itu aku akan menjelaskan semuanya padamu,"
"Tapi—"
Sekali lagi ucapan Arafah terpotong oleh lelaki tampan itu dengan gelas yang berisi s**u cokelat yang berada tepat di depan wajahnya. Mengisyaratkan agar Arafah meminumnya.
"Sudah kubilang, makan dulu sarapanmu. Kata dokter kamu kekurangan gizi, dan butuh asupan yang baik."
Ucapan lelaki itu membuat pipi Arafah merona merah. Dia sedikit malu karena terang-terangan disebut kekurangan gizi.
Tapi apa se-terlihat itu? Ragu-ragu Arafah mengangkat tangannya dan meminum s**u cokelatnya dengan pelan, rasa kagum menyelinap ke dalam hatinya ketika merasakan rasa manis yang berasa dari minumannya. Dia tersenyum kecil, pasti minuman ini sangat mahal.
"Sa—"
"Ini pancake-nya." Disodorkannya piring berisi pancake yang sudah dilumuri oleh madu di atasnya.
Arafah sedikit mengernyitkan keningnya. Merasa ragu untuk memakan pancake yang terlihat sangat lezat itu. Dia sering melihat Bu Yuni membuat makanan itu untuk Tuan Hemmy beserta anggota keluarga lainnya, tapi tak pernah sekalipun dia mencicipi hidangan itu. Mereka bilang dia tidak pantas memakannya.
"Kenapa? Tidak mau?" tanya lelaki itu lagi dengan nada lembut, begitu juga dengan wajah tampannya yang terlihat sabar menghadapi sikap keras kepala Arafah.
Arafah segera menggelengkan kepalanya, dia suka pancake tapi dia enggan untuk memakannya. "Tidak sa—hummppt ..." lagi-lagi ucapan Arafah terpotong, kali ini mulutnya disumbat oleh pancake yang dilumuri oleh sirup mapple dan madu.
"Nah gitu, makan lagi, nih." Ujarnya lagi seraya memasukan potongan pancake secara paksa ke dalam mulut Arafah.
Arafah mengunyah semua pancake yang ada di dalam mulutnya dan menelannya dengan susah payah. Dalam hati dia menggerutu pada lelaki tampan itu yang tega-teganya ingin membunuhnya dengan cara memasukan semua makanan ke dalam mulutnya hingga dia sulit bernapas atau bisa saja tersedak dan mati ... dia tidak ingin mati untuk sekarang ini, walaupun kehidupannya kurang beruntung, tapi untuk mati sekarang dia belum siap.
"Sekarang aku sudah makan semuanya, boleh aku bertanya? Aku ada di mana? Dan kau siapa?" tanya Arafah beruntun. Dia percaya kalau lelaki tampan yang ada di hadapannya ini adalah lelaki baik-baik, bukan lelaki yang semalam dia temui.
"Kau belum menghabiskan minumannya. Ini, minum dulu."
Dengan enggan Arafah meminum s**u cokelat itu hingga habis. Mulutnya terasa begitu manis, mungkin akibat makanan yang dikonsumsinya yang didominasi oleh rasa manis.
"Kau ada di rumahku," ucap lelaki itu mulai menjawab pertanyaan Arafah. "Aku menemukanmu kemarin malam, waktu kamu dikejar sama dua orang preman."
"Kau yang menolongku dari kejaran anak buah Doni?" ada rasa tidak percaya ketika Arafah mendengar kalau lelaki itu berhasil mengalahkan dua preman dengan kekuatan luar biasa itu. "Hebat!" pujinya secara tak sadar.
"Terima kasih," sahutnya disertai dengan kekehan pelan, "... Dan namaku Arka, Arka Orlando." Ujar Arka seraya mengulurkan tangannya.
Pagi ini Arafah banyak mengerutkan keningnya dengan perasaan bingung. Dan itu semua karena lelaki asing dengan wajah tampan dan mata hijau mempesona. Ragu-ragu Arafah membalas uluran tangan Arka.
"Namaku Arafah, Arafah Adhelia." Sahutnya dengan nada pelan tapi masih bisa didengar oleh Arka.
Arka kembali tersenyum, senyuman yang begitu indah dan menggetarkan hati siapapun yang melihatnya, termasuk Arafah sendiri. Dia sedikit menahan napasnya ketika melihat senyuman di wajah tampan Arka.
"Senang bertemu denganmu, Arafah. Kamu tenang saja, kamu akan aman dari kejaran dua preman itu."
Arafah mencoba untuk tersenyum manis. Bagaimanapun juga dia harus pergi dari kediaman Arka, dia sudah terlalu banyak merepotkan lelaki itu.
"Terima kasih banyak atas pertolonganmu, tapi aku harus pergi."
Arafah melihat kilatan tajam di mata hijau Arka. Wajah tampannya tampak kaku, Arafah sering lihat ekspresi itu ketika Tuan Hemmy ataupun Desta sedang kesal karena tidak menuruti perintahnya.
Apa mungkin Arka juga sedang marah? Tapi karena apa? Apa karena dirinya telah menyusahkan lelaki itu.
"Ke mana kau akan pergi?"tanya Arka dengan suara yang cukup dingin. "Apa kediaman Tanubroto kau sebut rumah? Percuma jika kau pulang ke sana, bukannya mereka telah menjualmu?"ada nada tidak suka ketika Arka mengetahui kalau Arafah dijual oleh keluarga b*ngs*t itu.
Arafah terdiam, cukup mengerti dengan perkataan Arka. Dia tidak mungkin pulang ke kediaman Tuan Hemmy, bisa-bisa saat pulang nanti, dia dipukuli habis-habisan oleh lelaki itu. Tapi, dia bisa pulang ke Rumah makan dan menginap untuk beberapa hari di sana, pasti Wendy tidak akan keberatan, karena dulu Wendy pernah menawarinya untuk menempati salah satu ruangan yang ada di sana.
Arka tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Arafah sekarang. Pasti gadis itu sedang menyusun rencana di mana dia akan tinggal. Arka menarik napas gusar, dia tidak ingin Arafah pergi ke mana-mana, dia tidak ingin melihat Arafah disiksa oleh orangtua angkatnya. Akan sangat bahaya jika Arafah berkeliaran di luar sana.
"Tidak aku akan tinggal di tempat kerja, kebetulan bosku tidak akan keberatan jika aku tinggal di sana."
"Dan membuatnya kesusahan karena para preman itu akan menghancurkan tempat bosmu?"
Wajah Arafah berubah pucat pasi ketika mendengar pertanyaan Arka. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Mungkin benar, sekarang ini anak buah Tuan Hemmy pasti sedang mencari keberadaannya dan jika dirinya tertangkap, maka dia tidak akan bisa kabur ke manapun. Tapi dia juga tidak ingin terus-terusan merepotkan Arka.
"Tinggalah di sini untuk sementara waktu." Ujar Arka disertai dengan senyuman hangat. "... Setidaknya setelah mereka tidak mengejarmu lagi. Percayalah, sekarang ini pasti mereka sedang mencarimu. Kau tidak akan aman,"
Arafah menundukkan kepalanya, sekali lagi perkataan Arka ada benarnya. Dia tidak bisa seenaknya pergi ke luar dengan bebas, pasti ada banyak anak buah Tuan Hemmy yang sedang memata-matainya.
"Jangan merasa sungkan!" Arka menarik napas panjang. "Anggaplah ini sebagai rumahmu."
"Tapi ... aku tidak bisa, bagaimana dengan keluargamu? Mereka pasti tidak akan suka jika aku tinggal di rumahmu, dan ... dan bagaimana jika kamu sudah punya kekasih atau istri? Aku tidak ingin merusaknya, hanya karena kamu kasihan padaku." Cerocos Arafah tampak khawatir dengan asumsinya tentang Arka yang mungkin saja sudah berkeluarga. Dia benar-benar tidak ingin merusak hubungan pria yang menjadi penolongnya itu.
Arka tersenyum kecil, sedikit memiringkan kepalanya ke satu sisi dengan mata zamrudnya yang terus menatap Arafah.
"Keluargaku tidak akan marah, mereka tinggal jauh dariku. Di sini aku tinggal bersama saudaraku."
Arafah mengangkat kepalanya dan menatap Arka.
"Dan aku juga tidak punya kekasih ataupun istri. Jadi kamu tenang saja, tidak akan ada yang bisa mengganggumu," ada nada sedih ketika mengucapkannya, dulu dia bermimpi mempunyai keluarga dengan Bintang. Tapi sekarang harapan itu sudah pupus.
"Apa kamu tidak curiga padaku? Kamu tidak tahu siapa aku, dan aku tidak tahu siapa kamu. Bagaimana jika aku orang jahat?"
Lagi-lagi Arka menyunggingkan bibirnya lalu berkata,
"Kamu sudah tahu siapa aku, namaku Arka Orlando, aku bekerja di Orlando Corp. Aku punya orangtua lengkap, kapan-kapan aku kenalkan mereka padamu. Dan aku juga punya saudara yang tinggal bersamaku.
"Dan kamu Arafah Adhelia, kamu gadis yang baik, kuat, sabar dan segalanya. Aku percaya kalau kamu bukanlah orang jahat atau semacamnya. Sekarang kamu sudah tahu siapa aku bukan? Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak. Kamu bukan orang asing,"
Arafah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Entah mengapa Arka selalu membuatnya tidak berkutik, padahal biasanya dia selalu mengoceh membalas ucapan lawannya dengan lancar, tapi sekarang. Saat berhadapan dengan Arka, suaranya seolah hilang entah ke mana? Otaknya dan jantungnya tidak bekerja dengan baik?
Sebenarnya apa yang telah terjadi padanya? Apa penyakitnya kambuh lagi?
"Kenapa kamu baik sama aku?" lirih Arafah dengan suara pelan. Dalam hati dia sungguh bahagia karena masih ada orang yang peduli padanya, yang tidak memandang rendah dirinya.
"Kenapa tidak boleh? Lagi pula kamu pantas untuk mendapatkan kebaikan dari orang-orang. Dan bukankah sebagai manusia, kita harus tolong menolong?"
Arka menghela napas panjang ketika dilihatnya Arafah menundukkan kepalanya, pasti Cinderella-nya ini sedang berpikir lagi. Terkadang dia merasa heran pada gadis ini, Arafah terlalu banyak berpikir, apalagi perlakuan yang di dapatnya begitu buruk tapi wajahnya terlihat seperti anak remaja, dan satu hal lagi. Arafah keras kepala seperti ibunya.
"Tidak ada masalah lagi 'kan? Mulai sekarang kau akan tinggal di rumahku." Arka tersenyum manis, "jangan merasa sungkan apalagi merasa repot. Aku senang ada wanita di rumah ini."
"Terima kasih," hanya itu yang ke luar dari mulut Arafah padahal dalam hatinya dia ingin meneriakan beribu terima kasihnya pada Arka yang begitu baiknya mau menumpang dirinya yang tak berguna dan bodoh di rumahnya.
"Sama-sama. Mandilah dulu, aku sudah menyiapkan baju untukmu. Lalu kita bicara lagi,"
Setelah itu Arka ke luar dari kamar memberi Arafah waktu sendirinya di dalam kamar.
Arafah termangu melihat keindahan kamar mandi, bahkan kamar mandi ini lebih luas dibandingkan dengan kamarnya. Peralatannya sangat lengkap, mulai dari shampo sampai sikat gigi. Tapi, sayang semua produk itu khusus untuk laki-laki dalam artian barang-barang itu milik Arka.
Setelah cukup puas memandangi kamar mandi yang indah ini. Arafah mulai menanggalkan pakaian yang dikenakannya, tapi dia segera menghentikannya ketika dia merasa ada yang janggal dengan dirinya.
Seketika mata Arafah membulat besar mengetahui kalau baju yang dikenakannya sekarang bukanlah pakaian yang kemarin dikenakannya. Lalu kalau begitu siapa yang telah menggantinya? Apa dia Arka? Arka bilang kalau dia tinggal bersama saudaranya.
Wajah Arafah berubah merah padam, jangan-jangan yang mengganti bajunya adalah Arka.
Hampir saja Arafah keceplosan dengan berteriak nyaring ketika asumsi Arka mengganti bajunya hinggap ke dalam otaknya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa begitu malu. Dan wajahnya kian memerah membuat Arafah semakin malu dibuatnya.
***
Sementara itu di lain ruangan. Noah sedang tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat perutnya terasa sakit, Arka yang baru datang mengernyit heran. Dia duduk di samping Noah yang masih asik dengan tawanya.
"Lo kenapa?" Arka bertanya dengan nada heran dan khawatir. Cukup khawatir dengan keadaan sahabatnya yang terkadang begitu menyedihkan dan bisa saja masuk ke dalam tahap yang lebih dalam artian; Noah bisa saja gila.
"Haha, enggak-enggak. Gue hanya membayangkan seorang cewek lagi berdiri di depan cermin dengan wajah yang merah."
Sekali lagi Arka mengernyitkan keningnya, tidak mengerti dengan maksud Noah. "Maksud lo apa? Memangnya siapa cewek yang sekarang lagi berdiri di depan cermin?"
Noah mengangkat bahunya cuek, dia memegang perutnya yang sakit habis tertawa dengan hebohnya. Matanya tak beranjak dari benda persegi panjang dengan layar datar yang menampakan kegiatan hewan berbulu putih yang tak lain adalah seekor kelinci bersama kawan-kawannya yang sedang mengganggu pengunjung pantai oleh kelakuan bodoh mereka.
"Sudah besar juga, tapi tontonannya anak kecil."
"Biarin," sahutnya cuek. Matanya memandang layar tivi dengan serius. Bukan karena dia penasaran pada jalan cerita film kartun yang ditontonnya, melainkan hal yang semalaman ini dipikirkannya.
"Dia setuju untuk tinggal di rumah ini." Ujar Arka memulai pembicaraan mereka.
"Gue sudah tahu," sahut Noah dengan cepat, "semuanya." Imbuhnya menegaskan kalau dia tahu semuanya.
Arka mencibir kesal, terkadang dia lupa kalau Noah bisa membaca pikiran setiap orang. Dan heyy!! itu melanggar privasi-nya. Percuma juga kalau dia curhat pada Noah, saudaranya itu pasti menjawab pertanyaan yang bahkan belum dia utarakan sebelumnya.
"Apa lo yakin kalau preman bodoh itu enggak bakalan tahu kalau Cinde—maksud gue Arafah ada di sini. Gue dengar ayah angkatnya punya jaringan bisnis yang cukup luas."
Noah terkekeh pelan, dia mengalihkan perhatiannya pada Arka. "Lo enggak tahu siapa gue? Jika mereka berani mengusik Arafah, maka mereka akan hancur saat itu juga. Bisa saja sekarang gue hancurin perusahaan Hemmy dan membuat mereka bangkrut hingga mereka tak punya apa-apa selain mengemis pada orang-orang."
Arka terdiam mendengarkan penuturan saudaranya.
"Tapi jika gue ngelakuin semua itu. Arafah pasti bakalan sedih, lo tahu 'kan tipe cewek kayak Arafah itu gimana?"
"Apa?"
Noah memutar bola matanya lalu menepuk kepala Arka, cukup keras untuk membuat Arka merintih karenanya.
"Bodoh lo, pantes saja Bintang nolak lo." Gerutunya kesal, "nih ya, Arafah itu tipe cewek yang baik-baik. Dia akan baik ke semua orang termasuk sama musuhnya sendiri. Jadi kalau gue hancurin Hemmy sekarang, pasti dia bakalan sedih lalu kembali lagi pada mereka."
"TIDAK BOLEH!!" tukas Arka cepat. Setelah mendengar cerita Arafah semalam, dia tidak ingin Arafah kembali pada keluarga breng*ek itu. Sudah cukup dia disiksa sedemikian kejamnya.
"Biasa saja kali," ejek Noah dengan senyuman mencela. "Dia sudah mau ke luar." Imbuhnya mengingatkan Arka kalau Noah bisa membaca pikiran semua orang.
***
Saat ke luar dari kamar mandi Arafah melihat pakaian lengkap khas wanita berada di atas kasur yang kini sudah rapi. Dia mengerjap pelan, merasa kagum akan pakaian yang mungkin disediakan oleh Arka. Dress selutut tanpa lengan dengan motif bunga daisy melekat pas di tubuhnya.
Arafah melebarkan senyumannya. Bahkan seumur hidupnya dia tak pernah membayangkan akan memakai baju sebagus dan semahal ini. Gadis yang berada di depan cermin itu tampak merona sarat akan kebahagiaan. Pasti Wendy dan Popy bakalan terkejut jika melihatnya memakai dress ini. Selama ini mereka selalu memaksa Arafah untuk mengenakan dress, tapi Arafah menolaknya dengan alasan dia tidak mampu membelinya.
Mengingat Wendy dan Poppy membuat Arafah terdiam. Sudah hampir lima hari ini dia tidak menghubungi kedua sahabatnya itu, pasti mereka mencemaskan keadaannya. Andai ingatannya bagus mungkin dia bisa menghubungi salah satu sahabatnya dan mengabari kalau dia baik-baik saja—setidaknya sekarang ini.
Samar-samar Arafah mendengar suara obrolan dari luar. Yang artinya kalau di rumah Arka ada orang lain. Arafah menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan, dia berjalan menuju pintu dan membukanya.
Di sana terlihat dua orang lelaki tengah duduk di sofa dengan posisi memunggungi Arafah. Dia melangkahkan kakinya dengan ragu dan pelan, sedikit berpikir tentang dua lelaki yang sedang duduk itu yang bisa dipastikan kalau salah satunya adalah Arka. Dan mungkin yang satunya lagi adalah saudara lelaki yang diceritakan oleh Arka.
"Ci ... Arafah, kau sudah selesai?" tanya Arka melihat Arafah berdiri di belakangnya. Buru-buru dia membawa Arafah ke sofa dan mendudukannya.
Kini Arafah sudah duduk di sofa bersama Arka dan satu lelaki tampan yang mungkin saudaranya Arka, tapi Arafah sedikit ragu jika mereka bersaudara. Mengingat wajah mereka sedikit berbeda jauh.
Tiba-tiba saja saudara lelaki Arka tertawa membuat Arafah menahan napasnya serta mengernyit pelan. Dia merasa tidak ada yang lucu, tapi kenapa lelaki itu tertawa?
"Noah!" peringat Arka menyebutkan nama saudaranya yang secara tidak langsung membuat Arafah tahu kalau lelaki yang tertawa barusan adalah Noah.
"Haha, sorry, sorry. Habisnya lucu," sahutnya disertai dengan tawa yang ditahan. "Kamu pasti Arafah, kenalkan, aku Noah, saudaranya Arka." Ujar Noah memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangannya.
"A-aku Arafah." Sahutnya dan dengan ragu membalas jabatan tangan Noah. Arafah memekik tertahan ketika tiba-tiba saja Noah mencium punggung tangannya.
"Kau gadis yang cantik dan lembut," pujinya disertai dengan senyuman menawannya yang siapa saja melihatnya pasti akan terpesona termasuk Arafah sendiri.
Arka yang melihat hal itu hanya memutar bola matanya jengah. Sifat playboynya Noah mulai kambuh lagi. Segera saja dia melepaskan tangan Noah dari Arafah dan memandangnya malas.
"Apa-apaan sih lo?"tanyanya kesal.
"Elo yang apa-apaan, main cium-cium saja." Balas Arka tak kalah kesal.
"Kenapa? Suka-suka gue dong, mau gue cium atau apaan juga."
"Iya, tapi Arafah pengecualian."
Arka dan Noah terus berdebat tanpa arah, sementara itu Arafah hanya diam. Kagum dengan perdebatan dua saudara tampan ini, mengingatkannya pada Popy dan Wendy yang selalu bertengkar tanpa mengenal waktu. Dan untuk pertama kalinya dia suka melihat perdebatan antar saudara yang sangat jarang dilihatnya di kediaman Tuan Hemmy.
"Ara, kamu terpesona sama aku, ya?" tanya Noah tiba-tiba seraya menaik turunkan alis tebalnya.
Seketika wajah Arafah merona, bukan karena pertanyaan Noah ataupun senyuman menawannya. Melainkan pandangan Arka yang begitu intens membuatnya tidak bisa bergerak dengan bebas.
Perlahan obrolan hangat mengalir di sekitar mereka. Noah serta Arka saling bercerita banyak hal—yang pasti obrolan mereka tidak ada yang menjurus pada satu topik—dan perlahan membuat Arafah sedikit merasa nyaman serta tidak canggung lagi dengan kehadiran dua orang pria asing dengan ketampanan di atas rata-rata.
Saat makan siang tiba. Arafah memtuskan kalau dia akan memasak untuk Arka serta Noah selama dia tinggal di rumah mereka. Walaupun pada awalnya Arka menolaknya tapi dengan keras kepalanya Arafah ngotot kalau dia akan melakukan apa yang mesti dilakukannya.
Pada hari Minggu yang cerah ini. Untuk pertama kalinya Arafah merasakan kebahagiaan sesungguhnya—entah dalam artian apa—dia merasakan kehangatan sebuah keluarga yang selama ini tidak pernah didapatnya. Dan dia mendapatkan semua itu dari dua orang lelaki asing yang salah satunya telah menolongnya dari lembah hitam.
***