Part 6

2896 Kata
Perlahan Arka membuka matanya ketika sinar matahari pagi bersinar melalui celah jendela kamar yang sengaja dibiarkan terbuka. Dia tersenyum lebar kala hidungnya mencium bau harum masakan. Dengan cekatan Arka bangun dari tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan bersenandung riang, Arka berjalan ke luar dari kamar mandi dengan keadaan segar bugar. Dia menggosok rambut basahnya lalu mulai berpakaian. Wajahnya tampak ceria lebih dari biasanya, hampir seminggu ini dia tak pernah berhenti tersenyum. "Haha, kau membuat hidupku berubah." Gumam Arka pada dirinya sendiri. Tangannya bekerja aktif untuk menyisir rambut cokelatnya yang cukup panjang. *** Hampir seminggu ini, dapur rumah Arka terasa lebih hangat dari biasanya. Kulkas yang biasanya hanya berisi bungkus pasta serta mie instan kini penuh oleh sayuran hijau dan bahan makanan lainnya. Hampir setiap waktu ruangan yang jarang dikunjungi oleh dua pemuda tampan itu menjadi tempat paling hangat disetiap waktu. Arafah dengan telatennya selalu memasak makanan untuk dua orang lelaki tampan yang telah menolongnya itu. Dia senang ketika mereka berdua menyukai masakan sederhananya, yang mungkin tidak pantas untuk mereka makan mengingat mereka termasuk kalangan tajir. Selain memasak Arafah juga terkadang selalu membersihkan rumah yang ditinggalinya. Tidak ada yang dilakukannya di rumah ini selain berdiam diri. Arka dan Noah tidak memperbolehkannya untuk pergi ke luar, katanya bahaya Doni serta Tuan Hemmy masih mengejarnya. Arafah sedikit heran, bagaimana bisa Noah dan Arka mengetahui banyak tentang Tuan Hemmy beserta keluarganya. Bahkan dirinya pun tidak pernah merasa bercerita banyak tentang keluarga angkatnya. Tapi walaupun begitu, dia cukup senang bisa tinggal bersama mereka. Setidaknya di sini dia diperlakukan layaknya manusia. "Selamat pagi, Arafah! Hari yang indah bukan?"tanya Arka disertai dengan senyuman lebarnya. Arafah membalikan badan, menatap Arka yang berseri-seri dan dinding jendela besar bergantian. Keningnya berkerut yang disusul dengan senyuman manisnya. "Oh ya? Aku rasa, pagi ini mendung berat loh, Mas." Sahut Arafah menggelengkan kepalanya, meneruskan acara masaknya yang sempat tertunda. Arka nyengir lebar seraya menggaruk tengkuknya. Bahkan dia tidak melihat cuaca di luar dan asal ceplos saja pada Arafah yang jelas-jelas mempunyai IQ cukup tinggi. Jujur saja, dia selalu merasa aneh jika berdekatan dengan Arafah. Pertama jantungnya yang berdetak kencang tanpa bisa diatur. Wajah merah serta bahagia ketika Arafah memujinya secara tidak sengaja, dan dia tidak bisa bersikap dingin pada Arafah. "Haha, akhirnya. Lo jatuh cinta beneran juga." Kata Noah saat Arka mengatakan perihal keanehan yang dirasakannya akhir-akhir ini. "Masa iya? Gue sama Ara, cuma ketemu sebentar saja." Elak Arka. Noah mengangkat kepala. "Untuk jatuh cinta itu tidak membutuhkan waktu yang lama, karena pada saat itu terjadi intuisi lah yang bekerja bukan logika." Arka terlalu larut dalam lamunannya hingga tak menyadari kalau Arafah memandangnya dengan kening berkerut, dan sepiring nasi goreng panas yang berada tepat di hadapannya. "Mas Al, kenapa? Sakit?" tanya Arafah. Setelah mengetahui kalau Arka dan Noah berada enam tahun di atasnya, dia memutuskan untuk memanggil dua bersaudara itu dengan sebutan 'Mas'. Arka segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum, sepertinya dia harus betukar pikiran lagi dengan Noah. Tidak mungkin juga dia jatuh cinta pada Arafah secepat ini, padahal untuk jatuh cinta pada Bintang saja membutuhkan waktu yang cukup lama. "Mas Al, kelihatan aneh pagi ini? Mas, beneran baik-baik saja?" tanya Arafah lagi yang melihat Arka melamun. "Ahh, enggak-enggak. Hanya ... hanya ada banyak kerjaan di kantor, jadinya gini deh, hehe." Elak Arka mulai memakan sarapan paginya. Hari ini hanya ada Arafah dan Arka di rumah, Noah sedang pergi bertugas dari kemarin dan kemungkinan akan pulang besok malam. Dan itu membuat keadaannya canggung, biasanya Noah selalu bercanda yang ditimpali oleh Arafah maupun Arka. Tapi sejak Noah pergi, suasana hening lebih mendominasi. Arafah ragu untuk bicara dengan Arka begitu juga dengan Arka yang memang mempunyai sifat pendiam. "Nanti sore kamu siap-siap, ya?!" ujar Arka setelah menghabiskan nasi goreng buatan Arafah yang kemungkinan besar telah menjadi makanan favoritnya. Arafah mengerutkan keningnya. "Siap-siap apa?" "Aku akan mengajakmu ke luar, pasti kamu bosan, terus-terusan berada di dalam rumah tanpa melakukan apapun." "Tapi, bagaimana dengan—" "Mereka tidak akan mengejarmu. Karena aku akan melindungimu." Janji Arka dengan sungguh-sungguh yang membuat pipi Arafah merona merah. "Jadi, bersiap-siaplah." Arafah segera menganggukkan kepalanya. Senyuman lebar terpatri di wajah cantiknya, dia benar-benar bahagia karena bisa pergi ke luar setelah seminggu lebih tinggal di dalam rumah. Bukan karena dia tidak suka dengan rumah mewah Arka, tapi hanya saja terkadang dia bosan karena tidak ada aktivitas yang bisa dilakukannya. "Tentu, terima kasih banyak, Mas Al." Kata Arafah disertai dengan senyuman lebarnya. Seketika jantung Arka berdetak kencang tatkala melihat senyuman lebar Arafah. Hatinya ikut bahagia ketika gadis itu bahagia. "Sama-sama." Sahut Arka pada akhirnya. Sebagai ucapan terima kasihnya karena Arka akan mengajaknya pergi ke luar. Arafah merapihkan dasi yang dikenakan asal-asalan oleh Arka. Tangannya bergerak lincah dengan wajah yang begitu serius. "Mas Al, ini gimana. Sudah jadi Direktur kok masih belum bisa memakai dasi dengan baik." Keluh Arafah mengejek kebiasaan jelek Arka. "Ya sudah, kalau gitu kamu saja yang pakaiakan dasi setiap hari." Sahut Arka cuek walaupun dalam hatinya dia berharap Arafah mau melakukannya. "Haha, Mas, ada-ada saja. Sudah beres." Kata Arafah melihat hasil karyanya. Arka menghembuskan napas lega. Sungguh dari tadi dia mencoba untuk menahan debaran jantungnya yang menggila, takut jika Arafah mendengar suara detak jantungnya yang sangat keras. Tapi melihat wajah Arafah yang biasa saja membuat Arka tahu kalau gadis itu tidak mendengarnya. *** Kini di rumah besar itu tinggal Arafah seorang. Arka sudah berangkat dari satu jam yang lalu, membuat Arafah kembali merasa cukup kesepian karena tidak punya teman untuk diajak ngobrol. Andai saja ingatannya bagus mungkin sekarang dia bisa menggunakan telepon rumah untuk menghubungi kedua sahabatnya. Saat Arafah membersihkan meja kaca yang mungkin saja berdebu, walaupun tidak mungkin mengingat setiap hari ini Arafah membersihkan hampir setiap barang di rumah Arka. Dia melihat sebuah foto seorang lelaki tampan sedang menggendong anak kecil yang kemungkinan besar berusia dua tahun. Arafah mengerutkan keningnya. Ada tulisan di belakang foto. (Na)Raka Alexander Lucifer with my baby's boy, Arka Orlando Lucifer. Arafah kembali memperhatikan kedua pria berbeda usia itu dengan seksama. Pria bernama Raka itu sungguh sangat tampan, mungkin lebih tampan dari Noah dan Arka. Raka memiliki mata abu-abu yang begitu jernih dan indah, hidungnya mancung dengan bibir tipis merah, yang membuat iri siapa saja yang melihatnya. Arafah tersenyum kecil, merasa heran pada dirinya sendiri karena menyukai pria bernama Raka Alexander itu hanya dengan melihat fotonya saja. Sepertinya pria itu mempunyai daya tarik yang cukup kuat. Kini fokus Arafah beralih pada sosok anak lelaki kecil yang begitu menggemaskan. Mata hijaunya tampak bersinar sangat kontras dengan baju dan kulitnya yang berwarna putih. Dia tersenyum kecil, ternyata Arka kecil terlihat lebih menggemaskan dan lucu, walaupun masih kecil gurat-gurat ketampanan terlihat jelas di wajahnya. Lalu dia kembali melihat-lihat foto keluarga Arka yang sebelumnya tidak dia perhatikan. Ada foto sepasang suami-istri yang terlihat sangat serasi bersama Arka yang sudah cukup besar. Arafah berasumsi jika sepasang suami-istri itu adalah orangtuanya Arka. Tapi jika mereka adalah orangtua Arka, lalu Raka itu siapa? Kenapa nama belakangnya sama seperti Arka? "Pamannya mungkin," kata Arafah pada dirinya sendiri. Arafah kembali menulusuri setiap foto. Ada Noah yang bersama kedua orangtua Arka dan Arka sendiri. Lalu Noah yang bersama Raka dan berbagai foto lainnya. "Keluarga yang bahagia," gumam Arafah sembari tersenyum kecil. Dia membayangkan masa kecilnya yang bahagia, dirinya rindu pada orang tuanya yang telah meninggalkannya untuk selamanya. "Ara bahagia di sini, Ayah, Ibu. Bagaimana dengan kalian? Mas Arka sama Mas Noah, sangat baik pada Ara. Mereka memberi Ara tempat tinggal, mereka menolong Ara dari Tuan Hemmy." Arafah mengangkat kepalanya, mencoba untuk menahan laju air matanya yang hampir ke luar. Bagaimanapun juga dia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau dia tidak akan menangis, dia akan menjadi wanita yang kuat. Krinngg ... krinngg.... Arafah segera memalingkan wajahnya ketika mendengar suara deringan telepon. Perlahan Arafah berjalan dan mengangkat telepon itu dengan ragu-ragu, pasalnya ini pertama kalinya dia menerima telepon selama tinggal di rumah Arka, karena biasanya jika ada telepon yang masuk pasti Arka atau Noah yang mengangkatnya. "Halo!" sapa Arafah dengan nada pelan, sedikit ragu. "Oh, halo, sejak kapan suaramu berubah jadi wanita, Arka?" tanya seorang wanita di seberang telepon sana. Arafah terdiam cukup lama, pasti wanita ini ada kepentingan dengan Arka. "Tunggu!" ujarnya lagi. "Kamu siapa?" kembali si penelepon itu bersuara. "Aku ..." *** "Maaf, Pak. Sebentar lagi Pak Allen dari Alexander Group akan datang menemui Anda untuk membahas HotelArlando." Ujar Nuri, Sekertaris Arka. "Ya, suruh beliau masuk jika sudah datang." Sahut Arka. Nuri menganggukkan kepala lalu berjalan ke luar dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Arka menghela napas panjang. Jabatannya sebagai Direktur keuangan di Orlando Corp membuatnya sedikit jenuh dan pusing mengingat banyaknya angka-angka yang selalu dilihatnya setiap hari. Beruntung dia tidak memilih jabatan CEO yang mungkin lebih kejam lagi dari pada jabatannya sekarang. Jabatan CEO sekarang dipegang oleh Noah. Dan itu berdasarkan keinginan Arka, dia tidak ingin masuk ke dalam perusahaan dan tiba-tiba saja menyandang jabatan tertinggi di perusahaannya. Maka itulah dia meminta Aidan, sang ayah, untuk menempatkannya di bagian keuangan. Dan menyuruh Noah untuk menggantikan posisi CEO yang ditinggalkan oleh sang ayah, membuat Noah menggerutu sebal karenanya. Arka tersenyum kecil, ia masih ingat pembicaraannya bersama ayah dan Aidan beberapa tahun yang lalu. *** Saat itu kediaman Orlando terlihat ramai dari biasanya. Mungkin karena kedua putera mereka pulang ke rumah dan memutuskan untuk tinggal di sana untuk beberapa minggu ke depan. Di ruang keluarga terlihat dua orang lelaki sedang duduk sembari bercengkrama. Sementara di ruang dapur anak-ibu sedang menyiapkan berbagai cemilan. Bukan menyiapkan, lebih tepatnya sang anak tampak sedang menjahili Ibunya. "Noah! Letakkan adonan itu!" perintah sang ibu pada anaknya yang bernama Noah. Noah yang merasa dapat teguran dari ibunya nyengir lebar sembari meletakan kembali adonan kuenya yang mau dia makan tadi. Dia melihat sang bunda yang sedang melotot tajam ke arahnya. "Hehe, Noah letakkan deh adonannya. Jangan marah, ya! Nanti wajah, Bunda, tambah keriput loh. Kalau keriput nanti Ayah Aidan-nya selingkuh, tapi ..." Noah tampak berpikir lalu tak lama kemudian senyuman lebar merekah di bibirnya. "... Jika nanti ayah selingkuh maka ... Noah bisa nikah deh sama, Bunda. Hehe, bagus juga." Ucap Noah tersenyum senang. "Noah, masih saja, ya, suka goda Bunda-mu ini." "Hehe, habisnya, Bunda, cantik dan baik deh, Noah 'kan jatuh cinta jadinya." Reina memutar bola matanya malas. "Kamu sering mengatakan hal itu. Lebih baik kamu cari wanita lalu bawa ke sini, supaya Bunda bisa nikahkan kalian." Noah cemberut. "Kalau Noah maunya nikah sama Bunda, gimana dong? Bunda itu akan selalu mendiami hati Noah, akan sel ... aww sakit." Perkataan Noah terhenti tatkala seseorang memukul kepalanya cukup keras. "Dasar anak durhaka, tahu Bunda Rei itu milik ayah. Tega-teganya kamu mau merebutnya. Ingat umur, mana mau Bunda Rei nikah sama anak culun kaya kamu." Noah semakin cemberut mendengar hinaan ayahnya. "Kata siapa aku culun? Enggak kok, dan usiaku sudah duapuluh tahun, jadi aku bukan anak kecil, jadi aku bisa nikahin Bunda." Gerutunya. "Kamu ngotot, ya, pengen nikah sama Bunda Rei. Ingat Bunda Rei itu milik Ayah, jadi siapapun mereka tidak boleh merebut Bunda Rei dari Ayah." Aidan menarik napas panjang dan memasang wajah prihatin. "Ckckck, bagaimana, ya, reaksi Raka di atas sana ketika melihat kelakuan anaknya yang satu ini." "Yang pastinya Papa Raka bangga padaku. Secara aku 'kan pintar dan baik hati." "Oh ya, apa benar kamu cerdas?"olok Aidan. Noah langsung menganggukkan kepalanya, tidak menyadari kalau Aidan sedang merencanakan sesuatu. "Ayah ragu." Oloknya lagi. "Ayahh!! Noah itu beneran cerdas kaya Papa Raka. Ayah, mau bukti. Ayo, cepat, Ayah katakan nanti Noah jawab." Tantang Noah percaya diri. "Kalau begitu kamu gantikan Ayah sebagai CEO di Orlando Corp, tidak ada bantahan atau apapun." Ujarnya tegas dan tak terbantahkan. Seketika wajah Noah berubah pucat. Menjadi seorang CEO perusahaan bukanlah pekerjaan yang diinginkannya. Bahkan dia antipati pada tuh jabatan. Dengan segera Noah menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Enggak, aku enggak mau. Lagipula yang harusnya menggantikan posisi Ayah, itu Arka bukan aku." Aidan mengangkat kedua bahunya. "Arka akan bekerja sebagai Direktur Keuangan. Jadi kamu yang akan menjadi CEO-nya." "Kenapa harus aku? Ayah, mau perusahaan Ayah, bangkrut dalam waktu satu minggu. Kalau aku sih, 'Yes' aja." "Dan mengorbankan banyak orang kelaparan karena kehilangan pekerjaannya." Noah mematung di tempatnya, dia membayangkan anak-anak dari para pekerja yang dipecatnya kelaparan, kedinginan, menangis, dipukuli. Noah tidak ingin melihatnya lagi, sudah cukup dirinya saja yang merasakan hal itu. Aidan yang melihat reaksi Noah yang cukup berlebihan hanya tersenyum miris, ikut membayangkan masa kecil Noah yang begitu memilukan. Saat di mana putera angkatnya itu merasakan kejamnya hidup, merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang gelandangan. "Aku terima," kata Noah pada akhirnya. "Tapi, ini karena para pekerja, bukan karena, Ayah." Imbuhnya. "Kalau Bunda yang suruh kamu terima enggak?" tanya Reina seraya memainkan kedua alisnya. Noah tampak diam, lalu tersenyum memandang wanita yang dicintainya. "Kalau, Bunda yang minta Noah mah sih, 'Yes' aja." "Dasar anak durhaka." Kata Aidan lagi seraya menepuk kepala Noah dengan koran. "Besok Ayah bakal umumkan penggantian jabatan, kamu harus siap! Jangan main-main mulu," "Siapa yang main-main? Aku 'kan kerja juga, hanya beda profesi saja." Elak Noah, "lagi pula kenapa harus cepat? Aku belum siap. Ayah, mau Orlando Corp bangkrut dalam waktu cepat." Aidan mengangkat kedua bahunya. "Ayah percaya sama kamu. Lagi pula kamu ingin lihat Bunda kelaparan?" Noah langsung menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mau lihat Bunda menderita." Aidan tersenyum senang, akhirnya puteranya yang keras kepala itu masuk ke dalam jebakannya. Tak sia-sia dia memanfaatkan kelemahan Noah yang bisa dibilang sangat kecil mengingat kemampuan yang dimiliki Noah serta kecerdasannya yang hampir menandingi sahabat baiknya yang kini sudah pergi untuk selamanya. Di sana, lebih tepatnya di luar dapur Arka tampak mencondongkan kepalanya. Melihat siatuasi dapurnya, tampak aman, dia juga senang karena akhirnya Noah rela menggantikan posisi ayahnya di perusahaan. "Berhasil, Yah?" tanya Arka tersenyum senang. Aidan mengembangkan senyumannya. "Tentu dong, Nak. Ayah ini pintar dalam membujuk orang-orang, termasuk Noah yang keras kepalanya sudah tingkat Dewa." "Hehe, terima kasih, Yah. Ayah, memang pahlawanku." Ujarnya senang. Noah yang mendengar pembicaraan ayah-anak itu hanya melongo. Masih belum menyadari maksud dari ayah serta saudaranya yang menyebalkan itu. Lalu matanya memandang tajam Arka, di sana dia melihat isi pikiran Arka yang memang telah merencanakan semuanya. "D*mn it! Kalian menjebakku? Ahh, ini mah nggak bisa dibiarin, masa aku harus gantikan posisi Ayah, bukannya Arka?" erang Noah kesal, "aww, sakit, Bunda." Keluh Noah ketika tiba-tiba saja Reina menjewer telinganya. "Siapa yang suruh kamu bicara kotor seperti itu?" tanyanya masih dengan menjewer telinga Noah membuat Aidan dan Arka tertawa terbahak-bahak. "Ya, habisnya mereka ngeselin, masa aku disuruh jadi CEO. Sudah tahu aku ini enggak tahan lihat deretan huruf yang sudah kaya semut, belum juga pakaiannya yang menyiksa leher, dan juga Noah...." Keluh Noah. Reina menarik napas panjang dan menatap Noah dengan lembut. Tangannya menangkup wajah Noah tak kalah lembut, dia tersenyum manis yang membuat perasaan Noah tenang seketika. Dia suka melihat senyuman manis ibunya. Sangat suka. "Kamu tidak ingin mengecewakan Bunda, bukan?" Noah menganggukkan kepalanya. "Sekarang ayah membutuhkanmu di kantor. Bantu Arka untuk menjadi pemimpin yang baik. Bunda percaya kalau kamu pasti bisa memimpin Orlando Corp, jangan takut! Ingatlah kamu bukan Russell tapi Orlando. Kamu putera kami, anak kebanggaan Raka. Buatlah Raka bahagia dengan apa yang kamu lakukan." Noah diam, kepalanya sibuk mencerna setiap kata yang ke luar dari bibir bunda-nya. Dia mengerti semuanya, Reina mengerti kegelihsahan serta ketakutan yang selama ini menghantuinya. Pada akhirnya, Noah hanya bisa menganggukkan kepalanya, menuruti setiap perintah wanita yang sangat dicintainya. "Aku akan menggantikan posisi ayah, tapi itu hanya sementara, loh. Jadi jangan tertawa dulu, bocah." Kesal Noah pada Arka yang kini sedang tersenyum bangga. Ingin rasanya dia memukul kepala saudaranya yang sangat menyebalkan. *** Sampai sekarang Arka masih mengingat ekspresi kesal Noah ketika pada akhirnya saudaranya itu menerima keputusan ayah serta bunda-nya. Dan setiap kali mengingatnya, maka dia akan tertawa sekaligus sedih. Sampai sekarang dia tidak mengetahui rahasia saudaranya. Rahasia yang menyebabkan Noah memiliki kemampuan untuk bisa mendengar pikiran setiap orang. Mengenai posisi CEO. Sampai sekarang Noah masih menjabat posisi itu, walaupun dia sangat jarang masuk karena harus bolak-balik luar negeri karena pekerjaannya sebagai agen swasta yang tidak pandang bulu. Aidan serta Allen mengerti keadaan Noah dan tidak membebankannya untuk mengurus setiap hari perusahaan Orlando Corp. Noah selalu ada jika memang keadaan kantor sedang mendesaknya, tapi jika tidak lelaki itu lebih memilih bersantai bersama teman wanitanya yang berjibun. Arka mengalihkan perhatiannya ke arah luar dinding kaca besarnya. Kantornya memang hampir semuanya terbuat dari dinding kaca, memudahkan Arka untuk mengamati setiap aktivitas yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba saja ingatannya melayang pada wajah gadis yang seminggu ini mendiami rumahnya. Arka tersenyum kecil, entah mengapa hati dan kepalanya bekerja sama ingin melihat wajah Arafah, senyuman Arafah, suara Arafah dan semuanya. Dia tersenyum geli, menertawakan sikapnya yang seperti ABG labil yang baru mengenal wanita. Lalu Arka mengambil ponselnya, masih ada waktu setengah jam untuk menelepon Arafah. Sepertinya dia harus membelikan Arafah ponsel jika sesuatu terjadi, dia tak perlu nelepon melalui telepon rumah. Sudah dua kali Arka menelepon Arafah, tapi sampai sekarang Arafah belum juga mengangkatnya, malahan dia tidak bisa menelepon rumahnya. Arka mengernyit pelan, ada yang aneh. Apa terjadi sesuatu pada Arafah? Apa anak buah Hemmy telah menemukan keberadaan Arafah? Berbagai pertanyaan konyol hinggap di kepalanya membuat Arka semakin ketakutan, jika terjadi sesuatu pada Arafah. Sepertinya dia harus meminta Noah untuk memasang CCTV di rumah agar dia bisa mengawasi Arafah dengan baik. "Shoot. Kenapa aku jadi parno gini kalau sama Arafah? Hahh, padahal sama Bintang saja tidak pernah seperti ini." Gumamnya seraya mengusap wajahnya. Arka kembali mencoba untuk menghubungi rumahnya. Kali ini teleponnya diangkat, hatinya merasa lega. Dia tersenyum senang ketika suara lembut Arafah terdengar di gendang telinganya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN