Part 7

2665 Kata
Sore ini Arafah mengenakan dress biru selutut yang dibelikan Noah beberapa waktu lalu. Dia tersenyum kecil pada hari itu, hari di mana banyak kurir yang datang dan pergi mengantarkan semua pesanan Arka dan Noah dengan merk perempuan. Wajah kurir itu tampak jengkel dengan kelakuan Noah yang menyebalkan. Lelaki itu mengerjai sang Kurir dengan bolak-balik memesan berbagai pakaian dan menyuruh Manager untuk mengantar barangnya oleh satu kurir saja. "Biar aman kalau pakai satu kurir." Kata Noah waktu itu. Dan kini di lemarinya ada banyak pakaian bermerk, sepatu dan banyak lagi. Sepertinya mereka tidak mempedulikan dengan uang yang mereka keluarkan untuk membeli semua perlengkapan Arafah. Terkadang perasaan tidak enak menyelinap ke dalam hatinya. Noah dan Arka terlalu baik padanya, dia tidak ingin merepotkan lebih jauh lagi Noah dan Arka. Arafah menarik napas panjang. Jika dia pergi dari rumah ini, maka jaminannya adalah tulang-tulangnya remuk dan lebih parahnya, dia akan dijual kembali oleh Tuan Hemmy dan Nyonya Farah. Lalu Arafah menyisir rambut sepunggungnya dan berjalan ke luar ketika mendengar suara teriakan Arka dari luar yang memanggilnya untuk mengajaknya pergi. Arafah berdandan seadanya, walaupun banyak alat kosmetik yang lagi-lagi dibelikan oleh Noah, tapi dia tidak terbiasa dan memang tidak bisa menggunakan alat-alat itu. Di sana Arka sedang berdiri di ruang tamu. Lelaki itu memakai kemeja hitam lengan pendek dan jins santai. Rambut cokelat yang biasanya rapih itu ditata acak-acakan, menambah ketampanan yang dimilikinya. Arka terdiam beberapa saat ketika melihat penampilan Arafah untuk beberapa saat. Arafah yang merasa dipandangi hanya terdiam dengan rona merah yang menjalari seluruh wajahnya. Dia tampak salah tingkah, apa penampilannya sangat jelek ya? Hingga Arka memandangnya seperti itu? Mungkin dress biru selutut tanpa lengan ingin tidak cocok dikenakan oleh gadis sepertinya. "Ayo jalan! Nanti kita terlambat." Ujar Arka setelah terdiam cukup lama. *** Berkali-kali Arka menarik napas panjang, berusaha untuk mengenyahkan bayangan Arafah yang pada saat ini wujudnya sedang duduk di sampingnya. Dia merutuk pelan pada dirinya sendiri. Tadi itu dia benar-benar terpesona pada Arafah, dress birunya tampak sangat cocok dikenakan oleh Arafah, apalagi sapuan bedak tipis serta lip-balm yang digunakan oleh Arafah. Yang pasti dia benar-benar terpesona pada gadis Cinderella-nya. Gadis yang berhasil mengalihkan perhatiannya dari Bintang.   Dia berusaha mati-matian untuk menahan hasratnya agar tidak menerkam Arafah saat itu juga. Andai jika dia tidak lupa dengan penjelasan Noah tentang penyakit yang pernah diderita oleh Afafah mungkin saat ini gadis itu bukan berada di dalam mobilnya melainkan di dalam sebuah ruangan ... "Shoot, Arka. Sejak kapan lo jadi m*sum gini." Pikir Arka sedikit frustrasi. Dia melirik sekilas Arafah yang tampak menikmati perjalanannya. Arka tersenyum kecil. Wajah Arafah terlihat jelas kalau dia sedang bahagia. Wajahnya menyiratkan ketidak percayaan sekaligus kekaguman ketika Arka mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil mewahnya. Arka mengerti dengan perasaan Arafah yang mungkin sedikit kampungan. Mungkin ini pertama kalinya Arafah naik mobil mewah dan pergi ke luar rumah setelah hampir dua minggu mendekam di dalam rumah. Akhirnya mobil Arka berhenti tepat di depan sebuah kafe yang yang cukup asri dan luas. Arka segera turun dari dalam mobil dan berjalan memutar untuk membukakam pintu untuk Arafah. "Hati-hati!" peringat Arka ketika Arafah hampir terjatuh. "Terima kasih," sahutnya sembari tersenyum. Dia masih tidak menyangka kalau pada akhirnya dia telah naik mobil mewah, hal yang selama ini hanya bisa dibayangkannya. Dan bayangannya itu menjadi kenyataan sekarang. Arafah bertambah senang lagi ketika melihat pemandangan malam melalui kaca mobil yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan. Arka berjalan masuk ke dalam kafe sembari memegang tangan Arafah dengan erat membuat Arafah tertegun untuk beberapa saat, dia merasakan aliran aneh di sekujur tubuhnya. Tapi dia hanya bisa diam sembari mengikuti langkah Arka yang sedang menghampiri segerombolan orang-orang. *** "Wahh, siapa yang datang, nih? Waduhh, pakai pegangan tangan lagi. Adehh, cie, cie ..." ledek seorang lelaki disertai dengan senyuman jenakanya. Bukannya melepaskan genggamannya, Arka malah memperat genggaman tangannya pada tangan Arafah. Dia tersenyum memandang sahabat-sahabat baiknya. Wajah mereka semuanya bertampang meledek, hingga matanya terhenti pada sosok gadis cantik yang sedang memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Arka menciut pelan, perasaan sayang itu masih ada di dalam hatinya. Tapi itu hanya sedikit, karena kini hatinya diisi oleh seorang gadis asing yang tiba-tiba saja menubruknya, dan membuatnya penasaran dengan flat shoes yang ditinggalkannya. Lalu, apakah terlalu cepat jika menganggap Bintang sebagai masalalunya, mengingat betapa lamanya dia mengejar gadis itu. Tapi bukankah cinta tak mengenal waktu atau apapun. Karena kata Noah saat jatuh cinta intuisilah (hati) yang bekerja bukan logika (otak). "Hehe, bukan tapi doa kan, semoga gue bisa cepet nikah sama Ara." Kata Arka tersenyum lebar, sekilas matanya melihat Bintang yang seperti menahan kekecewaan. Tapi Arka tidak mempedulikannya, gadis itu sudah memintanya untuk tidak ikut campur urusannya serta tidak mengganggu hidupnya. Jadi jangan salahkan Arka jika dia sudah menemukan pengganti yang jauh lebih baik dari Bintang. Sementara Arafah yang mendengar ucapan spontan Arka memandangnya tidak percaya. Lelaki setampan dan sekeren Arka mau menikah dengannya? Arafah terkekeh dalam hati seraya menggeleng pelan. Dia tahu Arka hanya bercanda saja. Mana mau Arka manikah dengan gadis sepertinya, apalagi jika tahu tentang penyakitnya mungkin Arka akan mundur teratur. "Kenalin, dong!" Arka mengedikan bahunya, tidak mempedulikan tatapan memelas para sahabatnya. Kecuali Cloe yang memang sudah mengetahui siapa Arafah sebenarnya. "Enggak, nanti kalian goda lagi." "Dasar, pelit lo, Al." Kata Hariz kesal lalu tersenyum pada Arafah yang sedari tadi hanya diam saja. Terlihat jelas kalau gadis itu sedang gugup. "Jadi, gadis cantik siapa namamu?" tanya Hariz lembut. Arafah tampak kebingungan, "Ara, nama saya Arafah." Sahut Arafah terkesiap ketika tiba-tiba saja Hariz mencium tangannya. "Jangan main cium-cium." Ujar Arka segera memisahkan tangan Hariz dan Arafah. Hal yang dia lakukan serupa ketika Noah mencium tangan Arafah saat mereka berkenalan dulu. "Dasar pelit! Mentang-mentang pacarnya cantik." "Biarin." "Hai, Arafah kenalkan kami. Aku Fariz, yang sayangnya adalah saudaranya Hariz." Ucap Fariz memperkenalkan dirinya. "Dan ini, istriku Gabriella, adiknya Ethan." Imbuhnya. Gaby tersenyum ke arah Arafah. "Ethan dan Cloe, pasangan dokter gila." Potong Hariz yang langsung mendapat jitakan keras dari pria bernama Ethan. "Jangan ambil serius ucapan pengacara gila itu. Tapi kami memang pasangan dokter, tapi tidak gila." "Heh, gue enggak gila!" teriak Hariz tidak terima. "Halo, Arafah senang bertemu denganmu. Aku harap obat yang kuberikan padamu cocok ya," kali ini Cloe yang bersuara. Arafah menganggukkan kepalanya mengerti, mulai mengenali setiap orang yang ada di hadapannya, mereka cukup ramah. Lalu pandangannya teralih pada dua lelaki yang masih muda di antara semuanya dan seorang wanita. "Aku Valentino, dan ini saudara kembarku, Bintang. Dan yang di samping Bintang itu Ariel, dia adiknya Kak Cloe." Ucap Valent dengan ramahnya. Kini Arafah mengetahui siapa saja orang yang ada di hadapannya. Dua pasangan yang sudah nikah Ethan dan Cloe, lalu yang kedua Fariz dan Gabriella. Sedangkan yang masih belum nikah ada Valent si ramah, Hariz si periang, Ariel si pendengar baik dan begitu lembut lalu yang terakhir ada Bintang. Arafah sedikit risih dengan tatapannya yang seolah merendahkannya. Gadis itu seperti sedang memendam kekesalannya. Arafah mulai terbiasa dengan mereka. Pembicaraannya yang tak jauh seperti Noah, ke sana-kemari, tidak ada arahnya sama sekali. Mereka bicara satu topik dan melebar hingga ke mana-mana. Sesekali Arafah tertawa ketika Hariz bercanda dan meledek kakaknya sendiri. Di antara semuanya yang terlihat bahagia itu. Ada salah satu dari mereka yang memasang wajah datar, enggan untuk bercengkrama dengan lainnnya. Dan sayangnya tidak ada satupun dari kelompok pendiri Kafe Seven itu menyadarinya. "Ngomong-ngomong lo sudah move on nih dari Bintang." Ucap Fariz tiba-tiba membuat suasana yang ramai itu hening seketika. Arafah memandang Arka melalui sudut matanya. Dia mengerti sekarang, pasti Arka menyukai Bintang tapi mereka tidak bisa bersatu. "Ya, gue udah nyadar mungkin Bintang emang bukan jodoh gue. Lagipula dia udah nolak gue, jadi gue bisa apa?" ujar Arka frontal melihat Bintang yang menundukkan kepalanya. Lalu Arka tersenyum, berusaha untuk menahan rasa sakit yang masih dirasakannya ketika hari dimana Bintang menolaknya. "Lagipula, gue percaya kok kalau Bintang sudah punya lelaki yang bisa bahagiain dia. Maka itu dari pada nyakitin dan mungkin memberi harapan yang sama sekali tidak bisa diberikan, lebih baik mengatakannya dengan cepat. Iya enggak, Bintang?" Arka tersenyum tulus. "Aku tahu kamu melakukan hal yang baik untukku." Bintang tampak salah tingkah mendengar penuturan Arka. Sementara itu, Arafah hanya diam mendengarkan, entah mengapa jauh di dalam hatinya dia merasakan rasa sakit yang sakit ketika mengetahui kalau Arka pernah menyukai Bintang, yang mungkin sampai sekarang masih menyukainya. "Haha, betul juga. Lagipula kayaknya lo sudah ketemu sama belahan jiwa lo yang sebenarnya. Arafah. Ahhkk, kalau saja gue yang lebih dulu ketemu sama Ara mungkin sekarang gue jadi pacarnya Ara lalu bawa ke papa sama mama lalu minta nikah deh." Ujar Valent ngawur yang tak lain adalah saudara kembar Bintang. Kelakuannya tidak jauh beda sama Hariz dan Noah. "Masih kecil sudah main nikah-nikahan." Kata Ariel seraya meneloyor kepala Valent. "Iya, kuliah nggak kelar-kelar udah pengen nikah. Nanti Ara dikasih makan apa?" Ethan ikut memarahi kelakuan Valent. "Makan pakai nasi lah, masa makan batu. Kalau lo pada sih iya. Soalnya kalian itu 'kan berasal dari jaman purba, haha." "Nih, bocah! Nggak ada sopan-sopannya, ya, sama orang yang lebih tua." Ujar Gaby kesal mengingat usia Valent yang berbeda lima tahun darinya. "Kalau ada Noah baru tahu rasa kamu." Valent mengangkat bahunya. "Noah-nya enggak ada jadi tenang saja." Kata Valent tidak takut. "Tapi, tadi aku lihat Mas Noah masuk ke sini, dia sedang jalan ke arah sini." Kali ini Arafah mengeluarkan suaranya. Sontak semua orang yang ada di sana mengikuti arah pandang Arafah. Wajah mereka terlihat begitu senang ketika melihat kedatangan lelaki yang memang sangat jarang berkumpul dengan mereka. Sedangkan Valent tampak gugup dan ketakutan, saat dia hendak melarikan diri Ariel segera mencegahnya. "Kena lo." Ucap semua orang yang ada di dalam sana. *** Di sebuah klub yang cukup terkenal dan penuh dengan hingar bingar musik serta alkohol. Tampaklah seorang lelaki berjaket kulit hitam sedang duduk di kursi bar, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan martini. Beberapa wanita seksi tampak menggodanya, tapi lelaki itu tak mengacuhkannya. Matanya tampak fokus pada obyek yang sedari tadi telah mencuri perhatianya.     Lelaki itu adalah Noah Aldric Kennedy, dia duduk di kursi bar sambil dikerumuni oleh para wanita seksi yang menggugah iman. Mata hitamnya melihat Hemmy beserta anak buahnya yang bernama Doni. Dia tersenyum kecil dan berjalan menghampiri mereka. "Halo, selamat malam." Sapa Noah tersenyum. Hemmy mengangkat sebelah alisnya, menatap Noah dengan pandangan bertanya. "Siapa kau? Mau apa kau menemuiku?" tanyanya dengan nada dingin. Seolah mengusir keberadaan Noah dengan isyarat matanya. Noah tersenyum miring, merasa jijik dengan kelakuan Hemmy. "Aku Noah Aldric," ujar Noah menyebutkan namanya. Sejenak Hemmy beserta orang-orang yang ada di sekitarnya tercengang untuk beberapa saat. Mereka memandang Noah tidak percaya sekaligus kagum untuk beberapa waktu yang lama. "Noah Aldric, oh suatu kehormatan bisa bertemu denganmu." Ujar Hemmy merubah nada bicaranya menjadi ramah. Noah hanya tersenyum miring. Setiap orang akan mengenal siapa Noah Aldric. Nama besar yang sangat ditakuti dan disegani oleh banyak orang dari berbagai kalangan, pembunuh berdarah dingin—bukan pembunuh sebenarnya, dia membunuh seseorang yang memang pantas untuk dia bunuh—di kalangan seperti Hemmy selalu menjadi partner-nya mengingat betapa seringnya Noah bekerja untuk mereka. Tak butuh waktu lama bagi Noah untuk menarik perhatian semua orang. Kini dia mempunyai tempat duduknya sendiri. Tersenyum datar memandang lelaki yang ada di hadapannya, apalagi saat mendengar isi pikirannya membuat amarahnya semakin memuncak. "Aku lihat sepertinya bisnis yang kau jalani sekarang sangatlah bagus." Gumam Noah tampak berpikir. Noah tak perlu mengeluarkan tenaganya untuk membuat Hemmy bicara. Dengan sendirinya lelaki itu menceritakan semua tentang bisnis-nya dengan sangat bangga, malahan Hemmy mengajak Noah untuk bekerja sama dengannya. Dalam hati Noah tersenyum iblis. "Baiklah, permainan akan segera dimulai, Hemmy. Persiapkan lah dirimu, tanggunglah balasan atas perbuatanmu terhadap Cinderella-nya Arka." Gumam Noah dalam hati. *** Setelah berbincang-bincang dengan Hemmy di klub serta menyelesaikan misi terakhirnya. Noah memutuskan untuk pergi ke Kafe Seven, dia tahu malam ini adalah malam berkumpulnya anak-anak di kafe. Dia memakirkan motor sport-nya lalu masuk ke dalam. Keadaan kafe tampak sepi, dikarenakan di depan pintu dipasang papan 'CLOSE' yang artinya kafe ini sudah dibooking oleh pemiliknya sendiri. Sejenak Noah meghentikan langkahnya ketika tiba-tiba saja sebuah pikiran seseorang hinggap di kepalanya. Dia sedikit mematung dengan isi pikiran itu, lalu mata hitamnya menatap seorang gadis dengan dress pink yang sedang duduk di sebelah Ariel. "Hai, semuanya!" sapa Noah setelah sampai di meja tempat sahabatnya berkumpul. "Apa kabar, Ara? Kamu tambah cantik saja, deh." Ujar Noah memeluk Arafah yang segera dihentikan oleh Arka. "Apaan sih lo? Gue kangen berat nih sama Ara. Udah dua hari kita enggak ketemu." "Gue enggak peduli, pokoknya lo jangan sentuh Ara sembarangan!." Noah hanya mendengus lalu duduk di samping Arafah. Dia tersenyum kecil ketika matanya tak sengaja membaca isi pikiran Arafah sekarang. Setelah cukup puas menggoda Arka dan Arafah kini fokus Noah teralih pada perkara yang sempat dilihatnya sebelum sebuah pikiran menyebalkan hinggap di kepalanya. "Jadi, siapa yang nantang gue?" tanya Noah mengeluarkan aura dingin serta berkuasanya. Sontak saja orang-orang yang ada di sana menunjuk ke arah Valent yang kini sedang menunduk, memamerkan deretan gigi putihnya. "Hehe, gue bercanda kok, enggak serius." Noah menaikan sebelah alisnya, belum puas dengan alasan serta jawaban Valent. Dia mendengar gerutuan Valent yang hanya bisa didengar olehnya. Noah tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Bawain gue minum!" perintanya pada Valent yang langsung dituruti oleh Valent sendiri. "Kali ini gue maafkan, tapi lain kali jika lo nantang gue lagi. Persiapkan diri lo, karena lo tahu sifat gue." Untuk sesaat Valent menghela napas lega. Setidaknya untuk sekarang tubuhnya akan baik-baik saja, begitu juga dengan mentalnya yang selalu down ketika berhadapan dengan Noah Aldric. "Noah adalah jelmaan iblis. Sifatnya tidak jauh berbeda dengan Naraka Lucifer atau Raka Alexander sang Masquerade Angel. Kekejamannya begitu terkenal hingga ke seluruh penjuru dunia. Dan dia akan menghukum orang-orang yang pantas dihukum. Tidak peduli jika dia wanita atau lelaki, bahkan dia tidak peduli jika orang yang berbuat salah adalah keluarganya sendiri." Arafah yang melihat semua orang diam seraya memandang Noah hanya mengernyit bingung. Dia tidak tahu apapun tentang mereka, tentang keluarga Arka yang sudah sering Noah obrolkan. Bahkan dia tidak tahu siapa Noah dan Arka yang sebenarnya. "Ajak dia bicara! Selesaikan hal yang sempat tertunda. Dan buatlah pilihan yang benar." Gumam Noah pelan kepada Arka. "Kenapa? Bukannya semuanya sudah selesai?" Arka menjawab Noah lewat pikirannya. Noah menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Tapi, bagi dia belum. Buatlah pilihan yang bagus." Ujarnya lagi. Arka hanya diam. Keadaan kembali ramai dan itu dimanfaatkan oleh Arka untuk melakukan apa yang disarankan oleh Noah. Saat Bintang permisi pergi ke toilet, Arka juga melakukan hal yang sama membuat orang-orang yang menyadarinya mengernyit bingung. Sementara itu Arafah asik menyahuti obrolan sahabat-sahabat dari Noah dan Arka. Tapi berbeda dengan matanya yang sedari terus melihat setiap gerakan Arka dan Bintang hingga mereka pergi ke Toilet hampir bersamaan. Asumsinya sekarang adalah Arka yang mencintai Bintang, tapi Bintang menolaknya. Jika begitu, apa sekarang Arka masih menyayangi Bintang? "Jangan pernah berpikir apapun!" ujar Noah pada Arafah, matanya menatap lurus ke depan. "Yang harus kamu lakukan hanyalah percaya, apa yang memang ingin kamu percayai. Ketahuilah, jika memang kamu ingin tahu." Arafah terbelalak mendengar penuturan Noah, lelaki itu mengetahui apa yang sedang dipikirkannya. "Ma ... Mas Noah, kenapa bisa tahu?" tanyanya dengan mata terbelalak. Noah terkekeh pelan, "Kepalamu itu transparan, jadi Mas bisa membaca pikiranmu dengan mudah, haha." Tawanya yang langsung disahuti dengan muka cemberut Arafah. "Caelah, marah. Kalau marah makin cantik deh." Goda Noah yang lagi-lagi dibalas dengusan oleh Arafah. "Mas Noah." Arafah berucap gemas pada lelaki yang satu ini. "Hehe, maaf, maaf. Ara jangan ngambek dong! Nanti kamu jelek lagi kayak Hariz." Hariz yang mendengar namanya diejek oleh Noah langsung membawa kacang mete dan melemparkannya pada Noah. "Sialan lo, muka ganteng gini dibilang jelek. Ara, jangan dengerin omongan dia." Noah menggelengkan kepalanya. "Terkadang gue kasihan sama lo, Riz. Udah tahu wajah lo pas-pasan tapi masih saja ngotot kalau wajah lo itu ganteng." "Sialan lo," umpat Hariz kesal. Mereka kompak menertawakan kekesalan Hariz yang berusaha menang dari Noah walaupun hal itu tidak memungkinkan, mengingat Noah pintar bermain kata. "Ara, dari pada dengerin ocehan burung jelek yang satu ini. Lebih baik kita pergi jalan-jalan, ayo." Ajak Gaby dan Cloe seraya menuntun Arafah untuk menjelajahi Kafe Seven. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN