Arafah mengerjapkan matanya tatkala sinar matahari menembus gordennya dengan malu-malu. Dia memandang ke sekitarnya, jam menunjukan pukul lima pagi lebih tapi matahari sudah menampakan cahayanya. Dengan masih mengantuk Arafah berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya serta mengambil wudhu.
Masih belum menyadari dengan keanehan yang terjadi. Arafah berjalan ke luar kamar setelah berpakaian dan shalat subuh. Dia melakukan kegiatan rutin paginya yaitu, menyiapkan sarapan untuk dua orang lelaki penghuni rumah besar ini.
Arafah mulai menyiapkan bahan-bahan masakannya. Pagi ini dia akan membuatkan Noah dan Arka nasi goreng ala kadarnya karena persediaan kulkasnya sudah hampir habis.
"Pagi, Arafah. Hari yang cerah bukan?"sapa seseorang yang tak lain adalah Noah.
Lelaki itu baru saja bangun dari tidurnya. Penampilannya tampak acak-acakan tapi itu malah menambah nilai tambah pada ketampanannya, rambut merah-kehitamannya kusut berantakan, dia mengenakan kaus oblong putih dan celana kain selutut.
Arafah mengerutkan keningnya, sedikit geli karena pertanyaan Noah adalah pertanyaan yang sama diajukan oleh Arka kemarin pagi. Dia melihat ke arah luar jendela, benar saja pagi ini tampak cerah berbeda dengan kemarin. Tanpa sadar Arafah menganggukkan kepalanya, kali ini dia menyetujui anggapan Noah tentang cuaca pagi ini.
"Kenapa? Pasti Arka suka salah berpendapat tentang cuaca, ya?"tanya Noah yang kini sudah duduk di meja bar seraya meminum air putih.
Arafah berjengit pelan, lagi-lagi heran dengan tingkah Noah yang selalu mengetahui isi pikirannya. Perlahan mata Arafah menyipit memandang Noah dan berkata,
"Jangan-jangan, Mas Noah itu paranormal, ya?"tebak Arafah curiga, memandang Noah penuh selidik.
Noah mengernyit pelan lalu tertawa terbahak-bahak membuat Arafah semakin heran karenanya. "Haha, Ara, Ara. Apa yang menyebabkanmu berpikir jika aku adalah paranormal, hm?"gurau Noah menahan senyumannya.
Arafah mengerutkan keningnya, berpikir keras lalu dia kembali menatap Noah. "Ya, habisnya, Mas Noah, selalu tahu apa yang aku pikirkan. Ya, biasanya yang bisa gitu hanya paranormal saja."
Noah memutar bola matanya lalu terkekeh pelan. "Mana ada paranormal seganteng aku." Katanya dengan pede.
"Lalu, kenapa, Mas Noah, selalu tahu isi pikiranku?"tanyanya setengah geram.
Noah mengangkat bahunya. "Sudah kubilang, kepalamu itu terlalu transparan jadi mudah nebaknya."
Arafah masih menatap tidak percaya, sementara Noah menghela napas panjang menghadapi sikap keras kepala Arafah yang sudah seperti bundanya dan Arka.
"Aku enggak percaya."Keukeuh Arafah.
Noah lebih memilih diam, mengakhiri perdebatannya dengan Arafah yang pastinya tidak akan ada akhirnya. Dia akan capek sendiri menghadapinya, dia bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Arafah yang kini sibuk dengan potongan paprikanya.
Arafah melihat Noah yang membantunya memotong bawang bombay besar. Dia tersenyum kecil, dari gerakannya tampaknya Noah sangat terlatih memakai pisau, dan memotong berbagai bahan makanan. Apalagi sekarang Noah sedang memanaskan minyak dan menumis bawang merah terlebih dahulu.
"Mas Noah suka masak, ya?"tanya Arafah disela aktivitasnya mengaduk nasi yang akan digoreng.
Noah mengalihkan perhatiannya dari wajan ke arah Arafah, dia nyengir lebar. "Kalau suka sih tidak, hanya saja sedari remaja aku dan Arka selalu tinggal terpisah dari ayah dan bunda. Jadinya untuk mengganjal perut kami yang sudah kaya karet ini, kami harus bisa masak."
"Kenapa tidak beli dari restoran saja?" Arafah membayangkan kalau para anak yang tinggal jauh dengan orang tuanya pasti selalu makan makanan cepat saji.
"Kami tidak beli makanan cepat saji karena ayah sama bunda pasti marah. Mereka melarang kami untuk memakannya hingga usia kami enambelas tahun. Maka itulah kami selalu masak setiap hari walaupun kadang enggak keburu sih, hehe. Apalagi kami pernah sekolah asrama dulu."
Arafah menganggukkan kepalanya mengerti, dia memasukan berbagai bahan lainnya untuk nasi goreng buatannya yang dibantu oleh Noah. Mereka membicarakan banyak hal tentang orangtua Arka dan secara tak sadar kalau Noah sudah mengorek informasi dari Arafah tentang kehidupannya bersama Hemmy.
"Kenapa kamu tidak kabur? Mereka menyiksamu dengan kejam." Keluh Noah pura-pura tidak tahu.
Arafah tersenyum kecil dan menggeleng. "Aku tahu, aku pernah mencoba untuk kabur tapi hasilnya selalu gagal. Terakhir kali aku mencoba kabur adalah ketika tak sengaja menabrak seseorang dan kehilangan sebelah flat shoesku yang sangat berharga." Katanya muram.
Arafah masih ingat dengan jelas dengan kejadian yang menimpanya beberapa minggu yang lalu saat dirinya lari dari kejaran Doni dan tak sengaja menabrak seseorang dan menyebabkan dia kehilangan sebelah flat shoes peninggalan ibunya.
"Jangan sedih! Aku percaya kalau flat shoes kesayanganmu itu akan kembali padamu." Ucap Noah seraya menaik turunkan alis tebalnya.
Arafah mengerucut tak percaya. Pasalnya dia tidak tahu siapa lelaki yang telah ditabraknya. Lagipula dia menyayangkan keadaan flat shoesnya yang mungkin sekarang sudah berada di tumpukan sampah kota Jakarta.
"Iyalah," sahut Arafah cuek lalu dia teringat akan pertemuanya bersama sahabat-sahabat Arka dan Noah yang cukup banyak dan begitu menyenangkan. "Oh iya, apa Mas Noah sama Mas Arka bersahabat lama sama orang-orang yang aku temui tadi malam."
Noah menganggukkan kepalanya, dia membawa piring dan menyerahkannya pada Arafah.
"Kami sudah berahabat sedari kecil." Jawabnya tersenyum. "Mereka sangat baik, hanya saja sikapnya yang kadang kurang ajar dan menyebalkan, dan tak lupa kami juga sangat loyal."
Arafah menganggukkan kepalanya mengerti. Lalu tiba-tiba saja ingatannya mengembara pada seorang gadis bernama Bintang, saudara kembar Valentino dan gadis yang disukai oleh Arka. Seketika wajahnya berubah murung, hatinya berkata tidak setuju jika Arka menyukai Bintang.
"Mas Arka dan Bintang juga?"tanya Arafah.
Noah tersenyum kecil menyadari kalau Arafah ini mulai tertarik pada saudaranya yang menyebalkan itu. Dia menjawab pertanyaan Arafah dengan anggukan kepala.
"Ya, Arka sama Bintang juga. Hanya saja Arka punya perasaan lebih pada Bintang, tapi selalu ditolak oleh Bintang."
"Kenapa? Mas Arka baik, kok." Ujar Arafah heran dengan Bintang yang menolak lelaki sebaik Arka.
Noah mengangkat bahunya. "Setiap orang mempunyai rasa yang berbeda, Ara. Kita tidak bisa memaksakan cinta yang bukan kehendak kita."
"Dan Mas Arka tidak menyerah mengejar Bintang?" tanya Arafah lagi dengan penasaran.
"Tidak," Noah menggelengkan kepalanya. "Dia menyerah, katanya dia tidak mungkin memaksakan cinta seseorang yang menolak kita." Lalu Noah mengangkat bahunya. "Tapi sepertinya, ada yang balik mengejarnya." Ucap Noah msiterius.
Arafah mengerutkan keningnya. "Maksud Mas Noah."
Noah tidak menjawab pertanyaan Arafah, dia hanya tersenyum misterius membuat Arafah semakin penasaran dengan maksud perkataan Noah.
***
Saat Arka memasuki dapur sarapan pagi yaitu nasi goreng telah tersaji di meja makan. Dia juga melihat Arafah dan Noah yang tampaknya sedang berbicara cukup serius melihat tingkah mereka yang sedang berbisik-bisik tidak jelas. Bahkan saat Arka menyapa, mereka berdua tak mengindahkan sapaannya.
Arka menghembuskan napas pelan. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah Arafah sudah melihat kotak yang disimpannya tadi malam. Tapi kalau membukanya pasti Arafah akan terlihat heboh dan mungkin bertanya-tanya. Tapi pagi ini Arafah terlihat biasa-biasa saja.
Arka mengerucut kesal. Padahal dia berharap Arafah akan membuka kotak itu saat dia bangun.
"Jangan bilang-bilang sama siapa-siapa! Ini rahasia kita, ok!" ucap Noah terdengar cukup lantang.
"Tentu,"
Setelah itu Noah mengedipkan matanya membuat Arka geram saja. Setelah itu Arafah membalikan tubuhnya, sedikit tersentak ketika menyadari kalau ada orang lain di dapurnya.
"Mas Arka sudah bangun. Aku kira masih tidur," ujar Arafah yang baru menyadari kedatangan Arka di dapur.
"Pagi, Al." Sapa Noah meminum kopinya.
"Pagi juga. Aku sudah bangun dari tadi, tepat saat kalian saling berbisik-bisik." Arka berkata dengan nada cukup kesal. "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Arka dengan penasaran.
Mereka saling berpandangan lalu Noah mengangkat bahunya, enggan untuk mengatakan apa yang sedang dibicarakannya dengan Arafah. Dia lebih memilih duduk di samping Arafah, ikut menyantap nasi goreng yang dibuatnya bersama Arafah.
Arka menyipitkan matanya curiga. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang manusia itu. Wajah mereka terlihat begitu mencurigakan, dalam hati Arka menggeram kesal. Andai dia mempunyai kemampuan untuk membaca pikiran orang-orang seperti Noah. Dia tak akan merasakan hal seperti ini sekarang.
"Ya sudah, kalau enggak mau bicara." Kata Arka pada akhirnya, melahap nasi gorengnya dengan kesal.
Untuk sesaat suasana terasa hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu. Mereka bertiga enggan untuk mengeluarkan suara dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lebih tepatnya yang serius pada pikirannya hanya Arafah dan Arka. Noah lebih asik membaca apa yang sedang dipikirkan oleh kedua orang itu.
Setelah menghabiskan sarapan paginya dan mencuci piring. Arka beranjak menuju kulkas untuk membawa air dingin—kebiasaannya jika sesudah sarapan selalu minum air dingin—dia mengerutkan keningnya ketika melihat isi kulkasnya yang kosong melompong. Arka menggelengkan kepalanya, lagi-lagi dia lupa belanja mingguan.
"Hehhh, percuma kulkas besar tapi enggak ada isinya." Gumam Arka mencela. Dia membawa sebotol air mineral dingin dan meneguknya dengan perlahan.
"Gue kesal jika lihat Ara beres-beres rumah. Udah tahu nih rumah udah kinclong, tapi masih terus dibersihin." Gerutu Noah yang baru saja ke luar dari kamarnya. Penampilannya sudah rapi.
"He-em." Sahut Arka cuek. Matanya ikut memandang Arafah yang sekarang sedang membersihkan dinding kaca rumah.
Noah beranjak dari duduknya, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana jinsnya. Dia tersenyum kepada Arafah.
"Ara!" panggil Noah cukup keras.
"Ya?!"sahut Arafah sambil berteriak karena jaraknya dengan Noah cukup jauh.
"Mau ikut?"kali ini Arka yang bicara. Tampaknya saat Noah sedang memperhatikan Arafah dia pergi mandi dan berpakaian dengan layak.
"Ke mana?"
"Belanja keperluan sehari-hari."
Arafah segera mengembangkan senyumannya. "Aku ikut." Ujarnya dengan semangat. Berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian.
***
Arafah mengenakan kemeja dan jins seperti Noah dan Arka. Dia menguncir rambutnya hingga satu agar tidak menghalangi pandangannya ketika dia beraktivitas. Arafah tersenyum lebar, dia senang karena untuk kedua kalinya dia akan pergi ke luar rumah dengan aman.
Tiba-tiba saja Arafah menghentikan segala aktivitasnya ketika matanya melihat sebuah kotak asing di atas meja nakas. Perlahan Arafah melangkah, tangannya membuka kotak itu dengan ragu-ragu, takut jika kotak itu berisi bom.
Seketika Arafah membelalakan matanya ketika matanya melihat sepasang flat shoes hitam lusuh yang selama ini telah dicarinya. Flat shoes peninggalan ibunya. Flat shoes yang dulu hilang sebelah, akhirnya mereka kembali padanya.
Berulang kali Arafah berucap terima kasih pada Tuhan karena telah mengembalikan flat shoes kesayangannya. Bibir merah mudanya tak pernah berhenti tersenyum lebar. Dengan terburu-buru, Arafah kembali menyimpan flat shoes itu ke dalam kotak dan menyimpannya baik-baik. Setelah itu dia ke luar dari kamar dengan perasaan bahagia luas biasa.
***
"Lo yang nyetir." Ucap Noah melemparkan kunci mobilnya.
Arka merengut tak setuju. "Enggak mau. Elo saja yang nyetir."
"Tangan gue pegel, Arka. Sekali-kali ngalah dong sama kakak lo yang ganteng dan baik hati ini."
Ingin rasanya Arka muntah mendengar perkataan Noah yang terdengar begitu menjijikan.
"Enggak, elo saja. Bukannya sebagai kakak harus ngalah sama adiknya?"
"Iya, tapi kita beda, Al. Walaupun lo itu adik gue tapi sifat lo itu udah kayak kakak gue, jadi ngalah sekali-kali."
Belum sempat Arka membalas ucapan Noah. Saudaranya itu sudah masuk ke dalam mobil tepat di kursi belakang.
Arka hanya mencibir kesal, dia melihat Arafah yang baru ke luar dari rumah, sedikit mengernyit ketika melihat wajah Arafah yang berseri-seri. Terlihat jelas kalau gadis itu sedang bahagia.
Arka mengembangkan senyumannya. "Ara, masuk! Duduknya di depan!" perintah Arka.
"Kenapa? Aku bisa duduk di bela—"
"Tidak!" cegah Arka langsung. "Di belakang ada monster. Ayo, cepat masuk!"
Arafah menuruti perintah Arka untuk duduk di depan, belum menyadari kalau di belakangnya ada orang lain. Arka tersenyum lebar, ikut masuk ke dalam mobil. Dia melihat Noah yang sedang cemberut dan menggerutu tak jelas.
"Ahhh, gimana sih. Bela-belain aku duduk di belakang supaya bisa berduaan sama Ara, tapi Ara–nya malah duduk di depan." Kurang lebih seperti itulah gerutuannya.
Sepanjang perjalanan tampak sangat ramai. Tak henti-hentinya Noah menggerutu yang disahuti oleh Arka dan Arafah dengan gemas. Terkadang mereka kesal dengan sikap Noah yang terkadang sangat menyebalkan, mereka bisa bernapas dengan lega ketika akhirnya mobil yang ditumpangi oleh mereka telah sampai di supermarket.
Arafah bertugas untuk menentukan barang-barang apa yang akan dibelinya, Arka kebagian tugas membawa makanan yang disebutkan oleh Arafah, sementara Noah kebagian tugas mendorong troly. Mereka terlihat sangat kompak, membuat orang-orang yang melihatnya iri karena Arafah bisa dekat dengan dua orang lelaki tampan.
"Aku ke sana dulu." Ujar Arafah mengingat dia belum membeli selai.
"Mau aku antar ke sana?" tawar Arka.
Arafah segera menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku bisa pergi sendiri, kok. Kalian tunggu saja di sini, aku akan segera kembali." Ujarnya lalu pergi meninggalkan Noah serta Arka di bagian cemilan.
Noah menyipitkan matanya. Dia memandang kepergian Arafah, senyuman miring tercetak di bibirnya, merasakan akan ada hal menakjubkan terjadi.
Arafah mengambil beberapa selai yang disukai oleh Arka dan Noah. Dia tersenyum lalu langkahnya terhenti tatkala sepasang sepatu tinggi menghalangi jalannya. Perlahan Arafah mengangkat kepalanya. Seorang gadis cantik berdiri di hadapannya dengan mata cokelat yang memandangnya tajam, ada sirat kebencian di sana.
"Arafah Adhelia." Kata gadis itu datar.
Arafah mengerjapkan matanya, lalu senyuman lebar itu kembali hadir di wajah cantiknya. "Bintang, sedang belanja juga." Arafah berujar dengan ramah.
Bukan sahutan atau jawaban ramah yang diterima Arafah, melainkan tatapan bengis serta wajah dingin yang diperlihatkan oleh Bintang. Mata cokelatnya memandang rendah Arafah. Dia tertawa mengejek.
"Apa yang membuat Arka sama Noah tertarik pada gadis kampungan sepertimu?"matanya kembali menelusuri penampilan Arafah. "Kau sangat tidak cocok berdampingan dengan Arka dan Noah."
"Kenapa kamu bicara seperti itu?" Arafah berusaha untuk menahan rasa sakit saat Bintang secara terang-terangan menghinanya.
"Karena kamu tidak pantas bersama Arka. Jauhi dia!" setelah itu Bintang pergi dari hadapannya.
Arafah bisa melihat bayangan Bintang yang sedang berbicara dengan Arka dan Noah di ujung rak. Dia menelan salivanya dengan susah payah, apa yang dimaksud oleh Bintang tadi? Kenapa Bintang tidak memperbolehkannya untuk dekat dengan Noah terutama Arka.
Apa sekarang Bintang mulai menyukai Arka? Dan berniat untuk memgambil kembali hati Arka?
Arafah menggelengkan kepalanya. Entah mengapa memikirkan hal itu membuat hatinya terasa sakit tanpa ada alasan yang mendasar. Apa dirinya juga mulai menyukai Arka?
"Sudah?" tanya Arka melihat kedatangan Arafah.
Arafah menganggukkan kepalanya, melirik sekilas kepada Bintang lalu berjalan mengikuti Noah yang membawa semua barang belanjaannya pada kasir.
***