Ketiga orang yang ada di dalam mobil itu mengernyit secara kompak ketika mata mereka melihat sebuah mobil mercedes hitam mengkilat terparkir di depan rumah. Arka dan Noah saling pandang, tentu mereka tahu siapa pemilik mobil itu. Sedangkan Arafah yang tidak tahu apapun hanya diam sambil mengernyitkan keningnya.
"Bencana." Gumam Noah menggelengkan kepalanya.
"Maksud Mas Noah, apa?"tanya Arafah heran melihat wajah Noah dan Arka yang tampak ketakutan.
Kedua lelaki tampan itu dengan kompak menggelengkan kepalanya seraya nyengir lebar. Tangan mereka menggaruk tengkuk, saling pandang dengan wajah masam.
"Pasti ada tamu." Ujar Arafah mengamati mobil bagus yang terparkir di depannya. "Ayo, masuk. Nanti mereka menunggu kita." Ajak Arafah lagi.
"Bagaimana ini? Ayah sama bunda pasti marah."
Noah mengangkat bahunya acuh. "Itu sih urusan lo. Elo 'kan yang bawa Arafah ke rumah, jadi lo yang hadapin amarah bunda."
Sontak Arka langsung meninju lengan Noah dengan kesal. "Dasar kakak durhaka."
Noah tersenyum lebar, menggelengkan kepalanya. Lucu dengan panggilan Arka, panggilan yang sama ketika ayahnya sedang menggoda bundanya. Dia ikut berjalan ke arah pintu dengan tangan yang menenteng tas belanjaan.
Perlahan Arka membuka pintu rumah dengan pelan. Dia menjulurkan kepalanya ke dalam rumah, mata zamrudnya memindai setiap ruangan rumahnya dengan teliti. Dia sedikit bernapas lega karena tidak ada siapapun di dalamnya. Senyumannya mengembang.
"Aman!" kata Arka masih dengan senyuman lebarnya.
Arafah merengut tidak mengerti, sementara Noah memutar bola matanya jengah. Dia menatap pintu rumah yang terbuka setengahnya, lalu beralih pada Arka.
"Lo yakin? Kalau gue sih ragu."
"Maksud lo ap—" pertanyaan Arka terputus tatkala merasakan tepukan keras di bahunya. Mata zamrudnya menatap Arafah yang terlihat sangat terkejut, dan wajah Noah yang ketakutan.
"Arka!" sapa seseorang dengan nada lembut tapi mengancam.
Perlahan-lahan Arka membalikan tubuhnya. Wajahnya menciut tatkala memandang wanita setengah baya yang masih cantik di usianya yang hampir setengah abad. Arka tersenyum lebar, tapi dari wajahnya menandakan kalau dia sedang gelisah.
"Bu–Bunda...." Arka nyengir. Memandang Arafah yang masih berdiri di sampingnya, dia takut jika bundanya marah pada Arafah dan menyebabkan Arafah pergi dari rumahnya, padahal di luar sana para preman masih mengejar Arafah. "Kenapa Bunda bisa ada di sini?"
Sang Bunda mendelik pada puteranya. "Kenapa? Kamu keberatan jika Bunda mengunjungi rumah anak Bunda sendiri."
Arka menggaruk kepalanya dan nyengir. "Hehe, bukan gitu juga. Tapi, kenapa enggak bilang dulu sama Arka."
"Berapa kali Bunda meneleponmu? Tapi kamu tidak mengangkatnya, Bunda sudah coba beberapa kali tapi hasilnya sama."
"Hehe, Arka sibuk kerja."
"Pantas saja sampai sekarang kamu tidak punya pacar atau istri kalau kamunya saja sibuk kerja."
Arka menarik napas panjang, inilah yang paling tidak diinginkannya jika bertemu dengan ibunya. Pasti wanita itu mengomelinya karena terlalu sibuk kerja hingga tak ada waktu untuk mencari seorang pendamping.
"Ahhh, ini pasti Arafah." Tebak Bunda Reina pada Arafah yang sedari tadi hanya diam berdiri.
Arafah menganggukkan kepalanya. "Iya, sa ... ya Arafah." Sahut Arafah agak kikuk, berbeda saat sedang berteleponan dengan Bunda Reina.
Bunda Reina segera memeluk Arafah dengan haru dan penuh kelembutan, khas seorang ibu. Sejenak tubuh Arafah menegang, merasakan rasa hangat yang tak pernah dirasakannya ketika orangtuanya meninggal. Perasaan bahagia menyelinap ke dalam hatinya.
"Akhirnya kita bertemu juga. Ternyata kamu cantik, ya. Pantas saja Noah sama Arka enggak mau pulang kalau di rumahnya ada gadis secantik kamu." Puji Bunda Reina senang.
Arka mengerutkan keningnya. Interaksi bundanya dengan Arafah terlihat seolah mereka telah kenal lama. Dan yang membuatnya heran adalah, dari mana bundanya mengetahui siapa Arafah. Perasaan dia tidak pernah menceritakan tentang Arafah pada siapapun kecuali Noah.
"Lo yang kasih tahu tentang Arafah sama Bunda?" pertanyaan Arka hinggap di pikiran Noah. Dia memandang Arka dan menggelengkan kepalanya.
"Lo juga tahu kalau akhir-akhir ini gue sibuk, mana ada waktu buat curhat."
Arka menganggukkan kepalanya mengerti. Tidak mungkin juga Noah memberitahu orang tuanya tentang Arafah. Lalu, kalau begitu dari mana Bunda Reina tahu dan kenal sama Arafah? Arka menggelengkan kepalanya heran.
"Bagaimana tinggal sama dua bujangan yang menyebalkan ini? Kamu pasti kerepotan, ya. Bunda ngerti kok," ucap Bunda Reina terkekeh pelan, "ini lagi kenapa kalian tidak bilang kalau di rumah ada gadis cantik yang rela ngurus dua laki-laki yang sangat menyebalkan ini."
"Aww, perkataan Bunda menyayat hati Noah yang begitu lembut ini." Kata Noah seraya menepuk dadanya dengan mimik wajah sedih.
"Lebay lo." Timpal Arka menepuk kepala Noah cukup keras.
Noah memandangnya geram, kalau saja tidak ada Bunda Reina dan Arafah di hadapan mereka. Mungkin sekarang mereka telah beradu mulut dan tak ada yang mau ngalah.
"Aku senang kok, tinggal bersama Mas Noah sama Mas Arka. Mereka sangat baik padaku."
"Tuh kan, Bunda, dengar sendiri! kami itu baik, enggak macam-macam kayak Arka."
Bunda Reina memutar bola matanya jengah. "Bunda tahu kalau Arafah sedang berkata bohong." Tukas Bunda Reina, "ya sudahlah. Lebih baik kita masuk saja dari pada terus-terusan berdiri di depan pintu enggak baik."
Setelah berbicara seperti itu semuanya masuk ke dalam rumah dengan Arafah yang dirangkul hangat oleh Bunda Reina, membuat Arafah sedikit kikuk tapi merasa nyaman. Sementara itu Arka masih penasaran dengan kedekatan bundanya, tidak seperti Noah yang sikapnya sangat kalem. Bagaimanapun juga secara tak sengaja dia membaca pikiran Arafah bagaimana Bunda Reina dan Arafah saling mengenal.
"Bunda tidak marah jika Ara tinggal di sini?"tanya Arka takut-takut.
"Tidak lah. Ngapain juga Bunda marah. Malah Bunda berterima kasih pada Ara karena sudah mau tinggal bersama dua putera Bunda yang tidak tahu aturan ini."
Arka tersenyum lega mendengarnya, segala ketakutan yang dirasakannya seketika menguap tatkala mendengar perkataan bundanya yang tidak keberatan sama sekali dengan keberadaan Arafah di rumahnya.
Seorang lelaki paruh baya berjalan ke arah mereka. Senyuman lebar terlukis di bibirnya, mata hijaunya berkilat bahagia melihat orang-orang yang ada di hadapannya. Dalam sekejap dia telah duduk bergabung bersama keluarganya.
"Jadi, ini yang namanya Arafah?"lelaki itu kembali tersenyum. "Aku Aidan, kamu bisa memanggilku ayah seperti Noah dan Arka. Bunda Rei sudah banyak bercerita tentangmu."
Arafah menganggukkan kepalanya kikuk. Dalam hati begitu bahagia karena untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan sebuah keluarga yang tak pernah dirasakannya sejak orangtuanya meninggal.
"Terima kasih," gumam Arafah dengan nada pelan. Berusaha untuk menahan tangis harunya.
"Jangan kikuk ataupun canggung. Orang yang telah masuk ke dalam rumah ini sudah dianggap sebagai keluarga oleh kami." Bunda Reina tersenyum. "Begitu juga dengan kamu. Mulai sekarang kami bagian dari kami. Huhh, senang rasanya punya anak perempuan yang menyenangkan."
"Bunda nyindir." Arka berucap kesal pada bundanya.
"Biarin saja, kamu sirik, ya karena enggak bisa dua-duaan sama Ara?"
Pipi Arka berubah merah. "Engg ... gak, siapa yang sirik?"
Noah kembali ke ruang keluarga setelah pergi ke dapur untuk membereskan barang-barang belanjaan. Saat hendak duduk di samping Bunda Reina untuk melepas rindu, tiba-tiba saja Ayah Aidan memanggilnya dan menyuruhnya untuk ikut ke dalam ruang kerja Noah.
***
Arka menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Arafah saat hendak menjemput Noah di salah satu klub malam. Dia juga menceritakan bagaimana kehidupan Arafah yang begitu menderita saat tinggal bersama keluarga angkatnya. Tak ada sekalipun hal yang ditutupinya dari Bunda Reina, hanya saja dia tidak menceritakan tentang perasaannya terhadap Arafah.
Arka sedikit tercengang ketika mengetahui dari mana bunda dan Arafah saling mengenal satu sama lain. Ternyata dulu Bunda Reina pernah menelpon Arka melalui telepon rumah, katanya ponsel Arka susah dihubungi. Tapi yang mengangkat telepon itu bukan Arka melainkan Arafah. Sejak saat itulah Bunda Reina dan Arafah menjadi dekat, tak urung setiap hari mereka selalu berteleponan, dan Arafah yang selalu menceritakan semua perkembangan kedua putera Orlando.
Arka merengut kesal, pantas saja saat bertemu tadi mereka terlihat sudah sangat akrab, seolah sudah kenal sangat lama. Tapi dia juga sedikit kagum pada Arafah karena telah berhasil mencuri perhatian orang tuanya yang mempunyai nilai tinggi dalam menyelidik suatu hal.
Tak lama kemudian Arafah datang membawa minuman serta cemilan yang dibelinya saat belanja tadi. Dia tersenyum hendak pergi tapi Bunda Reina langsung mencegahnya dan menyuruhnya untuk duduk bersamanya dan berbicara banyak hal.
"Kamu duduklah bersama kami. Bunda ingin mendengar pendapatmu tentang putera-putera Bunda."
"Eh?" Arafah mengerutkan keningnya tidak mengerti. Wajah Bunda Reina terlihat begitu menggoda dan penuh harap.
"Menurut kamu di antara Arka sama Noah, mana yang lebih baik."
Arafah semakin mengerutkan keningnya dalam. Tidak mengerti dengan pertanyaan Bunda Reina. Sementara itu Arka yang memang masih duduk di antara wanita cantik itu, menunggu jawaban Arafah dengan degup jantung yang berdetak sangat keras. Dalam hati berharap jika orang yang dipilih Arafah adalah dirinya.
"Keduanya baik, kok." Jawab Arafah dengan polosnya yang membuat jantung Arka hampir berhenti mendengarnya. "Aku susah nentuinnya," imbuhnya yang membuat Arka semakin terpojok, tidak puas dengan jawaban Arafah.
Bunda Reina menganggukkan kepalanya mengerti. Dari sudut matanya dia melihat wajah Arka yang menunjukan kekecewaan ketika mendengar jawaban polos Arafah. Bunda Reina tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Akhirnya ... Noah kangen berat sama Bunda." Kata Noah tiba-tiba langsung memeluk Bunda Reina dengan sangat erat.
Bunda Reina tersenyum lembut dan mengusap lengan Noah. "Bunda juga kangen, makanya jangan sibuk melulu, sekali-kali pulanglah ke rumah."
"Noah juga maunya gitu. Tapi pekerjaan menghalangi Noah untuk mengejar cinta Noah pada Bunda. Apalagi dengan kehadiran Ayah Aidan yang sudah kayak pengawal Bunda dan memberi Noah banyak pekerjaan di kantor."
"Dasar anak durhaka. Tega-teganya kamu menghina ayahmu sendiri pada Bunda Rei." Geram Ayah Aidan yang ikut duduk bersama keluarganya.
Dan terjadilah perdebatan antar ayah-anak yang selalu dilakukan oleh Noah dan Ayah Aidan. Mereka sama-sama mempunyai otak yang jenius, punya banyak kosa kata untuk diperdebatkan, dan yang terpenting tidak ada yang mau ngalah membuat Bunda Reina yang kebagian tugas memisahkan ayah-anak itu kewalahan menghadapinya. Dan malah menjadi bahan perdebatan selanjutnya.
"Harap dimaklum, ya. Keluargaku memang kayak gini. Apalagi Noah yang selalu menggoda Bunda dan membuat Ayah cemburu. Mereka itu seperti Tom&Jerry, selalu bertengkar tapi menghasilkan hal yang luar biasa ketika akur."
Arafah terkekeh, dia sama sekali tidak terganggu dengan perdebatan ayah-anak, itu justru membuatnya terhibur. Sangat jarang dia melihat hal seperti ini ketika tinggal bersama keluarga Tuan Hemmy. Karena yang selalu dilihatnya hanyalah pertengkaran saja.
"Tidak apa-apa, malahan aku senang. Lagi pula mereka seperti itu karena mereka saling menyayangi."
Arka menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat Arafah mengenai Ayah Aidan dan Noah.
***
Saat malam tiba kediaman Orlando tampak ramai, mereka sibuk mempersiapkan berbagai alat-alat dan menghias taman untuk pesta barbeque yang akan mereka laksanakan setelah Isya nanti. Berbagai ekspresi menghiasi wajah mereka, ada yang bahagia, cemberut, kesal dan lelah.
Sampai sekarang Noah dan Ayah Aidan masih terlibat pertengkaran memperebutkan Bunda Reina, kadang saat bekerja mereka selalu beradu mulut. Bunda Reina yang sudah lelah melerai pertengkaran ayah-anak itu hanya diam, membiarkannya dan lebih memilih kumpul bersama Arka dan Arafah.
Bunda Reina merasa iba dengan nasib Arafah yang begitu menyedihkan, dan dia tidak menyesal ataupun marah ketika mengetahui kalau Arafah tinggal di rumah anaknya, sebaliknya dia merasa cemas karena mungkin saja Arafah akan terbebani dengan perilaku kedua anaknya. Dia berharap Arafah bisa berdampingan dengan salah satu anaknya.
"Ini sudah matang." Ucap Noah menunjuk ke arah daging yang dipanggang oleh ayahnya.
"Belum, ini baru luarnya saja." Sergah Ayah Aidan memulai pertengkarannya.
"Enggak, aku sudah cek. Matang."
"Belum, lihat ini!"
Ketiga orang yang menyaksikan perdebatan ayah-anak itu memutar bola mata mereka dengan jengah. Tidak bisakah mereka akur untuk sebentar saja, setidaknya tidak merusak pesta malam ini.
Setelah semuanya siap, mereka duduk berkumpul di meja makan dengan lima kursi—dua kursi saling berhadapan, dan satu berada di ujung—dua pasang kursi sudah diisi oleh Bunda Reina dengan Ayah Aidan dan yang satunya lagi diisi oleh Arafah dan Arka. Tinggal tersisa satu kursi yang akan diisi terpaksa oleh Noah.
Noah datang membawa sisa daging yang baru saja matang. Wajahnya yang berseri bahagia berubah kesal tatkala semua kursi yang ingin didudukinya sudah terisi oleh dua lelaki yang sangat menyebalkan.
Noah semakin kesal ketika dua lelaki itu menunjukan tampang menangnya.
"Yahhh, jomblo lagi." Keluh Noah melihat dua lelaki lain yang mempunyai pasangan masing-masing.
"Makanya, cepat cari pacar! Bukan mainin cewek enggak jelas terus." Balas Arka yang langsung disetujui oleh Ayah Aidan dan Bunda Reina.
"Hah, mending gue enggak punya pacar. Daripada lo digantung mulu sama Arafah."
Arafah yang mendengar namanya disebut tersedak oleh ludahnya sendiri. Matanya memandang Noah tidak percaya, terlebih dia tidak tahu apa yang dimaksud oleh lelaki tampan berdarah Rusia itu. Tapi Arafah melihat wajah Arka yang bersemu merah, dia sedikit berasumsi. Apa Arka juga tertarik padanya?
Tidak lama kemudian Noah mengaduh kesakitan. Bagaimana tidak ketiga orang yang ada di meja makan itu langsung menginjak kedua kaki serta mencubit lengannya dengan begitu keras. Dia menggosok lengan yang menjadi sasaran empuk sang Bunda.
"Kalau ngomong dijaga!" mereka serempak berbicara.
"Huaaa, Ara. Masmu ini dijahatin sama mereka!" teriak Noah berpura-pura menangis, dia membawa kursinya dan berjalan mengitar hingga berhenti tepat di samping tempat duduk Arafah.
Kedua tangannya memeluk bahu Arafah begitu juga dengan kepalanya yang sudah bersandar di bahu gadis itu.
"Ternyata hanya kamu saja yang baik sama aku, kamu enggak marah sama sekali, enggak kayak mereka yang kelebihan darah. Huh huh huh, aku jadi cinta deh sama kamu. Kita nikah aja yuk!"
"Eh?!" kompak semua termasuk Arafah sendiri. Tadi dia sempat melongo melihat sikap lain dari Noah dan dia semakin heran dengan sikap Noah sekarang.
Apa lelaki itu sedang sakit hingga kelakuannya jadi aneh? Atau dia lelah bertengkar dengan Ayah Aidan hingga jadi seperti sekarang.
"Berani lo ngelakuin itu, gue kerem lo." Ujar Arka berusaha untuk melepaskan pelukan Noah dari Arafah.
"Ahh elo mah gitu sama saudara sendiri. Harusnya lo itu ngerti sama orang yang enggak punya pacar kayak gue, jadi sekali-kali boleh gue pinjam Arafah–nya."
"Enggak, Arafah tidak untuk dipinjamkan!"
Sepertinya pesta barbeque kali ini akan gagal mengingat banyaknya pertengkaran yang terjadi di antara mereka. Pertengkaran Arka dengan Noah masih berlanjut hingga pesta selesai, dan kali ini orang yang kebagian melerai adalah Arafah, karena bagaimanapun juga dirinyalah penyebab terjadinya perdebatan antar saudara itu.
***