Part 11

2291 Kata
Pagi ini terasa hangat di kediaman Orlando. Semua keluarga tampak berkumpul di satu ruangan yang dinamakan dapur. Suara dentingan sendok dan garpu mendominasi suasana pagi itu. Tampaklah dua orang wanita sibuk menyiapkan sarapan untuk ketiga lelakinya. "Nanti antar Bunda ke mall ya, Arka." Ujar Bunda Reina pada Arka. Arka hanya menganggukkan kepalanya dan meneruskan sarapannya. Noah yang mengetahui maksud lain Bunda Reina segera menawarkan dirinya untuk menggantikan Arka menemani Bunda Reina belanja. "Biar Noah saja yang temani Bunda sama Ara ke mall, ya." Kata Noah tersenyum lebar, sebelumnya dia membaca pikiran sang bunda yang akan mengajak Arafah berbelanja. "Noah berhenti baca pikiran orang-orang! Lagipula bukannya kamu harus pergi ke kantor David sama Ayah Aidan." Noah mencebik kesal, wajahnya semakin merengut tatkala melihat tawa menang Arka. Terlebih lagi pagi ini Arafah selalu menghindari tatapannya, ya akhirnya Arafah sudah tahu kalau Noah bisa membaca pikiran setiap orang. Gadis itu jadi lebih menghindarinya, takut sekaligus malu karena selama ini dia selalu berpikir yang aneh-aneh, terutama mengenai Arka. "Itu 'kan bisa dikerjakan sama Arka." "Sudahlah terima saja!" tukas Ayah Aidan menyesap kopinya. "Lagipula Arka tidak mengerti dengan pekerjaan ini." Noah menepuk jidatnya sendiri. Dia melongo ke arah Ayah Aidan lalu menganggukkan kepalanya, dia benar-benar lupa mengenai pekerjaannya dengan Om David, ayah dari Fariz dan Hariz. "Memangnya apa yang lo kerjain?"tanya Arka penasaran. Noah mengangkat bahunya seraya tersenyum jenaka, "Kepo!" "Biarin." "Kami pergi dulu, ya. Arka, jaga dua wanita cantik ini, jangan sampai mereka kenapa-kenapa." Nasehat Ayah Aidan. Arka langsung menganggukkan kepalanya. Tanpa diminta pun dia akan melindungi dua wanita yang sangat dicintainya. Arka melihat ayahnya yang mencium kening bundanya serta Noah yang mencium tangan Bunda Reina dan tiba-tiba saja mencium pipi Arafah membuat gadis itu mematung karenanya. "NOAH!!!" teriak semua orang marah dengan tingkah Noah, terutama Arka. Noah nyengir lebar, mengangkat tangannya dan membentuk huruf 'V', "Hehe, habisnya Ara–nya ngegemesin deh, yaudah aku pergi cari nafkah dulu. Yayang Ara, doain Masmu ini agar pekerjaannya cepat kelar supaya nanti bisa nyusul kalian ke mall, nanti kita belanja perlengkapan pernikahan, biar sudah itu kita bisa langsung pergi ke KUA, ya?" "Jangan harap." Ketus Arka. "Gue enggak minta pendapat lo kok, wekk." Balasnya seraya menjulurkan lidahnya pada Arka. "Ayo, Ayah, nanti Om Dave marah karena kita terlambat. Dahh, Bun, Ra," Noah berjalan mendekati Arka. "Jaga mereka baik-baik! Jika terjadi sesuatu, sebut nama gue saja." "Gue enggak selemah yang lo bayangin," "Gue tahu, dan gue percaya sama kemampuan bela diri lo. Tapi ini masalahnya beda, Al." "Noah, ayo!" Noah menganggukkan kepalanya lalu berjalan cepat mengikuti Ayah Aidan yang sudah berada jauh darinya. Arka menatap kepergian Noah dengan kerutan samar di keningnya. Dia tidak bisa meragukan ucapan Noah, karena bagaimanapun juga prediksi lelaki itu selalu benar. "AYAH, NOAH, JANGAN LUPA NANTI MALAM!" teriak Bunda Reina. "KAMI TIDAK AKAN LUPA." Sahut Ayah Aidan dan Noah dari luar. Bunda Reina tersenyum lebar, dia memandang Arafah. "Ara, siap-siap! Sebentar lagi kita berangkat." Ujar Bunda Reina dengan antusias, menggiring Arafah ke kamarnya untuk ganti baju. *** Arka mendudukan dirinya di atas kursi kafe. Berulang kali dia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras, keringat membasahi dahi putihnya. Mata hijau zamrudnya menatap dua orang wanita yang asik mengobrol membicarakan resep makanan yang baru mereka temui. "Mas Arka capek?"tanya Arafah menyadari kalau sedari tadi Arka mengikuti dirinya dan Bunda Reina mengelilingi mall yang besar ini. Arka tersenyum, "Capek, tapi senang." Dia sama sekali tidak mengeluh saat harus mengikuti para wanita saat belanja banyak keperluan, dan menjadi pembantu pribadi mereka. Lihatlah belanjaan bundanya saat ini. Ada banyak kantong belanjaan yang membuat Arka geleng-geleng. Pantas saja dia merasa lelah, tapi walaupun begitu dia sangat senang. Untuk pertama kalinya dia melihat tawa Arafah yang lepas dan berona merah ketika Arka memuji baju yang dibelikan oleh Bunda Reina. Padahal biasanya Arafah lebih banyak diam, mungkin karena sekarang temannya adalah perempuan jadi Arafah lebih berekspresip. "Setelah ini kita pergi ke toko sepatu, ya." Bunda Reina menatap kedua orang yang ada di hadapannya ini dengan antusias. Sontak Arafah dan Arka memutar bola mata mereka dengan jengah. Terkadang mereka tidak mengerti dengan Bunda Reina yang seperti tidak kelelahan setelah masuk-keluar banyak toko. Saat tengah makan tiba-tiba saja seseorang menghampiri meja mereka. Ketiga yang menduduki meja yang dihampiri seseorang mengangkat kepalanya dan memfokuskan pandangannya pada sosok gadis cantik yang ada di hadapan mereka. "Hai, Arka! Ada Tante Reina? Apa kabar? Kapan ke sini? Kenapa enggak bilang sama Bintang." Cerocos gadis yang mengenalkan dirinya sebagai Bintang. Bunda Reina tersenyum dan menyuruh Bintang untuk duduk. "Kabar Tante baik. Kemarin Tante datang ke Jakarta buat nengok dua anak Tante yang tidak tahu diri ini." Kesal Bunda Reina memandang Arka. "Oh iya, bagaimana kabar papa mamah kamu? Sudah lama kami tidak berkomunikasi, tahu-tahu saat ketemu ngasih undangan pesta ulang tahun pernikahan mereka." Bintang tersenyum kepada Arka dan Bunda Reina sedangkan pada Arafah hanya menatapnya penuh peringatan. "Papa mama baik, palingan suka berantem jika papa lihat mamah bicara sama lelaki lain." "Dasar Adam, masih saja suka cemburu." Bintang menganggukkan kepalnya. Dia kembali mengajak ngobrol Bunda Reina dan Arka banyak hal, mencoba untuk menghapus perhatian yang diberikan oleh Bunda Reina dan Arka pada Arafah sebelumnya. Arafah hanya diam menyimak pembicaraan Bintang dan yang lainnya. Dia tahu jika Bintang kesal mungkin marah padanya karena telah lancang berdekatan dengan Arka. Arafah menarik napas panjang, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan mata yang melihat ke luar jendela, tempat orang-orang berlalu-lalang. "Apa flat shoes itu sangat berharga untukmu?" tanya Arka tiba-tiba yang langsung membuat Arafah segera mengalihkan perhatiannya. Arafah tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. Masih belum menyadari kalau Arka tahu tentang flat shoesnya. "Iya, flat shoes ini sangat berharga untukku. Ini adalah pemberian ibuku sebelum beliau pergi. Dulu aku sempat sedih karena sebelah flat shoesnya hilang waktu dikejar oleh seseorang, ditambah lagi satu pasangannya ketinggalan di rumah Tuan Hemmy. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba saja kemarin siang flat shoes ini ada di kamar, lengkap lagi." Arka terkekeh pelan, dia benar-benar terkesima pada kepolosan Arafah. Sepertinya gadis itu tidak sadar dan tidak mau tahu siapa yang telah menyimpan kotak flat shoes itu di kamarnya. "Kamu tahu siapa yang memberikannya?" tanya Arka memancing. Arafah menggelengkan kepalanya cemberut. "Aku tidak tahu, tapi aku sangat berterima kasih pada orang yang telah memberikan flat shoesku, pasti dia orang yang sangat baik." Kata Arafah membayangkan orang yang telah memberikan flat shoesnya. Arka menganggukkan kepalanya, wajahnya sedikit cemberut dan bahagia ketika mendengar pujian Arafah pada orang yang tekah mengembalikan flat shoesnya. Di sisi lain, Bintang yang melihat kedekatan Arka dan Arafah merasa sangat geram. Gadis itu tidak pantas berada di sisi Arka, Arafah tidak sepadan dengannya ataupun Arka. Terlebih sepertinya Bunda Reina sangat menyukai Arafah. Bintang tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia akan menyingkirkan Arafah secepatnya. *** Sesuai rencana yang mereka susun. Bunda Reina serta yang lainnya pergi ke toko sepatu. Bintang berusaha untuk mendekati Arka dan menjauhkannya dari Arafah. Arafah yang menyadari tingkah Bintang hanya diam, berusaha untuk menghindari Arka serta Bintang. Arafah berusaha untuk memberi mereka berdua waktu bersama. Dia tahu kalau Arka dan Bintang saling mencintai, terlihat jelas di mata mereka. Maka dari itulah setiap kali Arka mendekatinya tanpa mendapat perintah dari Bintang dia menghindari Arka dan sibuk bersama Bunda Reina. Dia ingin lelaki yang disayanginya bahagia bersama oranglain. "Bunda, aku duduk di sana, ya." "Iya, kamu tunggu di sana. Nanti Bunda nyusul kalau sudah beres." Balas Bunda Reina lembut. "Bintang, mau tolong Tante buat nyari sepatu yang cocok." Bintang langsung melebarkan senyumannya dan mengangguk mengikuti Bunda Reina untuk memilih sepatu yang diinginkannya. Meninggalkan Arka yang bernapas lega karena tidak lagi diganggu oleh gadis manja seperti Bintang.     Arafah menarik napas panjang dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa yang begitu empuk. Untuk sesaat matanya terpejam, berusaha untuk mengenyahkan rasa nyeri di hatinya ketika melihat Arka dan Bintang yang terlihat begitu bahagia dan ... sangat serasi. Dia tersenyum kecil. Membayangkan kalau dirinya lah yang di posisi Bintang. Pasti sangat menyenangkan. Tapi dengan cepat-cepat dia mengenyahkan bayangan indah itu. Selamanya Arka hanya akan menjadi pahlawannya tidak lebih. Bagus dirinya sudah ditolong oleh Arka dan Noah. Dan dia tidak mau melunjak karena terang-terangan menyukai Arka yang jelas-jelas sangat tidak cocok dengannya. Arafah terpekik kaget ketika merasakan kakinya disentuh seseorang. Ternyata Arka sedang memakaikan Arafah sebuah flat shoesberwarna cokelat lembut dengan hiasan indah di atasnya. Mata gadis itu terbelalak, dia sangat tahu kalau flat shoes itu sangat mahal. "Mas Arka?!" panggil Arafah masih sedikit terkejut. Arka tersenyum lebar ketika melihat flat shoes pilihannya sangat cocok dikenakan oleh Arafah. Dia membawa flat shoes hitam kesayangan Arafah dan menyerahkannya pada Pelayan untuk dikemas, sementara flat shoes pilihannya langsung dikenakan oleh Arafah. "Kenapa Mas memberikan flat shoes itu pada pelayan toko, dan ini ..." Arafah hendak melepaskan flat shoes cokelat yang sangat nyaman dipakai olehnya.   "Jangan lepaskan!" perintah Arka tegas, wajahnya berubah tajam. Arafah mengerjapkan matanya. Ini pertama kalinya dia melihat Arka marah. Sepertinya lelaki itu tidak ingin dirinya melepaskan flat shoes cokelat yang menyihir matanya itu. Perlahan sudut bibir Arka terangkat. "Jangan lepas! Aku ingin lihat kamu pakai flat shoes pilihanku. Dan kuharap kamu akan menjaganya dengan baik, seperti kamu menjaga flat shoes peninggalan ibumu." Tutur Arka dengan lembut. "Tapi, ini pasti sangat mahal. Aku tidak pantas mengenakannya." "Kata siapa kamu tidak pantas mengenakannya?" bentak Arka geram. "Flat shoes ini tidak ada harganya dibandingkan dengan kamu. Jangan pernah merendah!" ujar Arka kembali lembut. "Kamu seorang wanita juga. Pastinya kamu menyukai barang-barang seperti ini, jadi jangan pernah menolaknya." "Iya, tapi, ini terlalu berlebihan, Mas Arka. Kamu sudah beri banyak aku barang dan sekarang—" "Aku membelikanmu semuanya karena aku mampu membelikan semua yang kuinginkan. Uangku banyak, tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uangku. "Tapi, saat bertemu denganmu aku bisa menggunakan uangku. Setidaknya ada artinya aku bekerja, bukan hanya semata-mata karena tanggung jawab dari orangtua saja." Arafah terdiam, memandang flat shoes yang menempel dengan indahnya di kakinya. "Terima kasih, aku pasti akan menjaganya dengan baik." Arka tersenyum lebar mendengar perkataan Arafah yang menandakan kalau gadis itu telah menyerah untuk berdebat dengannya. Kepalanya menggeleng pelan, diberi flat shoes saja Arafah sudah nolaknya kayak gimana. Bagaimana nanti kalau Arafah diperlakukan sebagaimana kekasih Arka Orlando yang pastinya Arka akan lelah membujuk Arafah untuk menerima semua barang pemberiannya. "Sama-sama," sahutnya memperhatikan kaki Arafah yang dibungkus oleh flat shoes pilihannya. Sepertinya gadis itu juga menyukai flat shoes yang diberikannya. Bintang datang menghampiri Arafah dan Arka dengan wajah bersungut-sungut. Marah pada Arafah karena telah berani merebut Arka darinya. Dengan segera dia menarik Arka dan menjauhkannya dari Arafah. "Bintang, apa-apaan sih?" tanya Arka kesal. Tapi Bintang hanya diam, matanya menatap Arafah benci. Tidak lama kemudian Bunda Reina datang dan menyelamatkan Arafah dari sinar laser Bintang. Arafah tersenyum lega, akhirnya dia bisa kabur dari Bintang.   Arka tertegun tatkala merasakan seseorang tengah memperhatikannya. Dia menajamkan pandangannya, berputar ke sekelilingnya berusaha untuk menemukan orang yang tengah mengawasinya. Sambil sekali-kali melihat ke arah Arafah dan bundanya yang berjalan tepat di depannya. "Bunda, Ara ke toilet dulu, ya." Kata Arafah tiba-tiba. "Bunda temani," Arafah buru-buru menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Tidak usah, aku bisa pergi sendiri." Setelah mengatakan hal itu Arafah segera pergi ke toilet. Arka yang baru saja tiba di meja Bunda Reina mengerutkan keningnya ketika tidak melihat Arafah bersama bundanya. Lalu pandangannya teralih pada Bintang yang masih asik menempel pada tubuhnya, membuatnya risih, padahal dulu dia sangat menyukai hal ini dari Bintang. "Ara mana, Bun?" tanya Arka penasaran, "lepasin tangan aku, Bintang." Kesal Arka mencoba untuk melepaskan diri dari Bintang. "Ara lagi ke toilet." "Ngapain sih kamu nanyain gadis aneh itu?"  tanya Bintang kesal karena Arka lebih memperhatikan Arafah dibandingkadirinya. Arka memandang datar Bintang. "Karena dia tidak pernah menolak keberadaanku." Balasnya dengan nada dingin dan amarah yang terpendam. Arka merasakan perasaan tidak enak mengenai Arafah. Maka itu dia segera menyusul Arafah ke toilet. Berharap gadis itu baik-baik saja dan tidak bertemu dengan para pria yang sedang mengincarnya. Arka tersenyum lebar manakala matanya melihat Arafah yang sedang berjalan ke arahnya. Brukk Mata hijau gelap itu memandang tajam pada seorang lelaki bertubuh besar dengan pakaian serba hitam. Kedua tangannya mencengkram kerah kemeja sang lelaki berwajah sangar dengan sangat erat hingga membuat lelaki itu terbatuk-batuk kesulitan napas. "Apa yang kau lakukan pada Arafah?" tanya Arka geram saat melihat seorang lelaki berjalan di belakang Arafah, hendak untuk menculiknya. Beruntung Arka menyadari semuanya hingga Arafah bisa lolos saat ini. "Kau anak buahnya Noah Aldric, bukan?" tanya Arka memindai wajah lelaki yang ada di hadapannya dengan teliti, dia adalah anak buahnya Noah, Arka tahu ketika Noah mengajaknya mengunjungi kantor tempat saudaranya itu bekerja. "A-Anda, Tu ... an Arka. Maafkan saya, saya hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh bos." Kata Yudi terbata-bata. "Aldric tidak mungkin menyuruhmu untuk membawa Arafah pergi. Jadi katakan siapa yang berani menyuruhmu untuk membawa Arafah?" tekan Arka semakin geram, dia yakin kalau yang memerintahkan Yudi adalah Hemmy, tapi bagaimana bisa Yudi bersama lelaki br*ngsek itu? Setahu Arka, Noah tidak pernah berhubungan dengan Hemmy. "Sekali lagi maafkan saya, saya tidak bisa memberi tahu, Tuan, siapa yang telah menyuruh saya." Arka memejamkan matanya untuk sesaat. "Hemmy, dia yang memyuruhmu untuk membawa Arafah, bukan?" Yudi diam, "jangan diam saja! Atau kau ingin aku menyuruh Aldric untuk memecatmu dan menghancurkan keluargamu. Kau pasti tahu sifat loyal Aldric pada saudaranya?" Yudi menatap Arka tidak percaya, dia baru teringat kalau Noah dan Arka sama-sama mempunyai sisi gelap mereka. Dia telah lengah sekarang, harusnya dia memikirkan kedepannya, tapi dia benar-benar tidak tahu kalau gadis yang sedang diincarnya dilindungi oleh saudara tuannya sendiri. Melihat kediaman Yudi, asumsi Arka kalau Hemmy lah yang menyuruh Yudi untuk menculik Arafah semakin kuat. Seketika mata hijaunya menyala, bibirnya terkatup rapat. "Jangan pernah ganggu Arafah lagi! Bilang pada Hemmy kalau dia tidak akan pernah mendapatkan Arafah." Arka melepaskan cekalannya dan beranjak pergi meninggalkan Yudi yang sibuk mengatur pernapasannya. Sementara itu dari kejauhan, terlihat seseorang tengah menyeringai, senang karena pada akhirnya dia bisa menyingkirkan seseorang yang telah merebut Arka darinya. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN