7. Gym

2624 Kata
"Hey dude, berhentilah melamun. Masih banyak tanaman di sana yang belum kau siram !!" Teriak Steven dari lantai dua gedung sekolah. Brian mengumpat sekaligus menggerutu di bawah sana, di taman sekolah. Dengan selang air di tangan kanannya, Brian melaksanakan detensinya menjadi seorang 'tukang kebun' sekolah. Sialnya lagi, para sohibnya itu bukannya membantu malah menertawainya dari atas. "Aku kasihan, sayangnya aku lebih menyayangi energiku." Ledek Thomas memanas-manasi Brian. Samuel meniup balon dari permen karet yang ia kunyah. "Gardener isn't my style." "So fuckin' s**t, Sam. I agree !" Seru Jack dengan tawa renyahnya. Tensi darah Brian mulai merangkak naik. Genggamannya pada selang air semakin menguat, nyaris saja kuku-kukunya menancap di selang yang tak berdosa itu. "Oh man, sudah jam lima sore. Time for cafe, guys !" Pekik Jeff sambil terus melirik Brian di bawah sana. Yang lain pun bersorak kemudian berlagak pergi. Brian yang baru menoleh setelah keenam sahabatnya pergi pun langsung berteriak kesal. "FUUUUUCCCKKK... !!!" Elise menoleh ke luar kelas ketika telinganya menangkap gelombang suara lima oktaf dari arah taman sekolah. Karena ia menemani Luna merangkum ulang seluruh materi pelajaran, Elise celingukan dari tempatnya duduk, mencoba melihat taman yang jaraknya cukup dekat dari kelas. Luna sendiri hanya fokus pada rentetan materi di hadapannya. Entah kenapa otaknya berpikir suara lima oktaf itu adalah suara Brian. Luna pun merasa sudah yakin bahwa itu memang suara Brian, entah mengapa. "Siapa orang gila yang berteriak di taman, hah ? Mengganggu." Gerutu Elise kembali duduk menghadap Luna, memainkan ponsel canggihnya. "Siapapun itu dia pasti memang gila." Sahut Luna kemudian merenggangkan badannya. Pegal menulis dua jam penuh sejak bel pulang sekolah berbunyi. Elise menghela napas. "Sama gilanya seperti Isabelle. b***h itu nggak ada lelahnya mengajakku bergabung cheerleader." "Memangnya ada apa tiba-tiba dia mengajakmu?" Tanya Luna. "Tim basket Poly Prep yang menang pertandingan kemarin akan kembali bertanding di grand final. Mengejutkan, lawannya adalah Trinity School. You know that, sekolah itu berisi siswa kalangan atas bahkan selebriti pun ada. "Isabelle mencari perempuan kalangan atas dengan paras perfect, tak peduli dia termasuk golongan nerd atau tidak eksis." Jawab Elise dengan geraman pelan. Luna menyesap lemon tea miliknya. "Singkatnya, dia ingin memamerkan jika Poly Prep sepadan dengan mereka?" "Begitulah," Elise menghela napas berat, "dan aku tak mau terjerumus setelah menjadi cheerleader." Luna menghela napas lelah. Sahabatnya yang satu ini jika sudah membenci orang pasti akan permanen tanpa bisa dihapus. Tak peduli ia kenal dengan orang itu atau tidak, Elise tetap menanamkan kebencian. "Tahu Shane Cowell?" Tanya Luna, pandangannya lurus ke kedua bola mata hazel milik Elise. Dahi Elise mengerut. "Who is that?" "Cheerleader, yang bahkan dia membenci golongannya sendiri." Jawab Luna. "Lalu apa urusannya?" Kerutan di dahi Elise semakin dalam ketika mendengar kata cheerleader. "Dia ingin berteman dengan kita disaat Isabelle menyuruh cheerleader menghancurkan mejaku. Alasan aku selalu tak bersama kalian saat jam istirahat, aku menemani Shane." Ungkap Luna tanpa ragu lagi untuk memberitahu Elise, perempuan yang paling membenci cheerleader. Raut wajah Elise langsung kesal dengan bibir mengatup rapat. Ia berdiri dari duduknya, menatap Luna begitu geram. "Bisa-bisanya kau percaya begitu saja dengan anak cheerleader! Lebih bagusnya lagi, kau lebih memilih bersama dia daripada ketiga sahabatmu sendiri, Luna!" Marah Elise. Luna turut berdiri. "I've already told to you, there's one person who was different with other cheerleader. And that person is Shane." "Dia tidak sungguh-sungguh mau menjadi teman kita. Tidak. Satupun. Di mana pikiran jeniusmu? Apa kau sudah lupa dengan kelakuan mereka pada bangku dan buku catatanmu? Perlu kuingatkan lagi, Luna?!" Elise menggeram kesal. "Mau sampai kapan ?" Tanya Luna tidak jelas. Elise memicingkan sebelah mata. "Apa yang kau maksud?" "Mau sampai kapan kau terus membenci orang secara permanen? Bahkan jika orang yang kau benci telah berubah menjadi baik."  Ucapan Luna menohok hati Elise begitu dalam.  *** Brian dan keenam sahabatnya sekarang berada di Starbucks, tentunya setelah Brian menyelesaikan acara siram-menyiram tanaman di sekolah. Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk nongkrong di cafe pada jam lima sore. Obrolan mereka pun sudah tak ada bedanya dengan menggosip seperti perempuan. "Kita akan bertanding melawan Trinity di grand final dan kita malah bergosip di sini. Salah siapa ini?" Celetuk Brandon dengan kekehan kecil. "Don't ask me, dude. Kapten kita sedang tidak becus-becusnya hanya karena seorang perempuan." Sahut Jeff. Sontak kelima cowok lainnya tertawa, hanya Brian yang mendengus kesal. Saking kesalnya ia sampai menyumbat kedua telinganya dengan earphone. Tak dapat Brian pungkiri jika pikirannya akhir-akhir ini penuh dengan wajah Luna. Bukan, bukan layaknya perasaan suka atau cinta, lebih ke penasaran. Apa yang membuat Luna menjadi sedingin itu? Kenapa ia tidak menjawab pertanyaannya mengenai Ayah dan Ibunya ada di rumah atau tidak? Seperti ada banyak hal yang gadis itu sembunyikan. "Apa kubilang? Kapten kita ini terkadang memang nggak bisa diandalkan." Ujar Brandon sedikit cemberut. Jack menyesap coffe americano miliknya. "Pokoknya jika nanti kita kalah, itu salah Brian." "Suruh dia menari hula-hula lengkap dengan rok rumbai dan rangkaian bunga di kepala." Timpal Thomas. Samuel langsung menoleh dengan raut jijik. "Hey bung, itu menggelikan." Smirk mulai muncul di wajah Thomas. "Who care? Aku ingin melihatnya menderita karena malu. Apalagi jika itu dilihat oleh Luna!"  "Oh oh! Jika perlu, lengkap dengan Lauren juga!" Seru Steven, wajahnya berbinar bahagia sekali.  Semuanya menoleh -kecuali Brian- ke Stevan dengan alis naik sebelah. "Who is that?" "Adik Luna, bung. She's so damn cute. Apalagi umurnya juga baru lima belas tahun." Jawab Steven. "Cute it doesn't mean sexy, end of story." Tukas Jeff kemudian meminum blended vanilla dengan cuek. Steven menyeringai melihat Jeff yang meremehkan Lauren hanya dengan mendengar 'cute'. Ide m***m mulai terlintas di benaknya. Membuat yang lain mengerutkan kening.  Percaya atau tidak, Brian benar-benar asik dengan dunianya sendiri. "I can prove that, dude." Ujar Steven, senyumnya seolah menantang Jeff. Brian mendesah malas. "Whatever you want to do, Stev, I won't join." "Beside, darimana kau tahu Luna punya adik?" Tanya Brandon, alisnya naik sebelah. "Hey Thom, jangan tidur di sini!" Tegur Samuel sambil menggeplak kepala Thomas yang terhuyung ke sandaran kursi, nyaris tertidur. Kaki Steven naik ke kaki sebelahnya dengan sombongnya. "Kalian lupa jika aku punya adik perempuan namanya Claudia? Dia bersekolah di sekolah yang sama dengan Andrew. Dia selalu menggerutu jika tidak berhasil masuk lima besar di sekolah, padahal dia rangking enam satu sekolahan." "She said 'Why Lauren always get five rank?! Ah, this is so tragic!'. Dan dia mengatakan jika nama keluarga Lauren itu Handerson. Good." Jelas Steven panjang lebar. "Just like her sister, smart." Tanggap Brandon lalu merenggangkan otot-otot tangannya. Jack memukul pundak kirinya yang kaku. "Man, kapan terakhir kali aku ada di gym?" Steven langsung menggebrak meja cukup keras, membuat para pengunjung cafe di sekitar mereka menoleh dengan wajah bingung bercampur kesal.  "Ide bagus, Jack! Besok minggu, waktu yang bagus untuk gym. Apalagi kita sama sekali tidak latihan buat grand final. Gym bisa membuat stamina bagus, bisa ajak Luna dan Lauren juga!" Cetus Steven, aura mesumnya sudah menyebar kemana-mana. Spontan Brian melepas kedua earphone-nya, dahinya mengerut. "Wha-What ? Besok ? Gym ? Luna Lauren ? No no no, aku tidak setuju dengan mengajak mereka berdua."  Senyuman di wajah Steven semakin menyebalkan. "Oh oh oh langsung lepas earphone. Posesif sekali kalau sudah menyangkut Luna." "Serius Steven, aku tak peduli kau mau apa asal tidak menyangkut Lu-" Ucapan Brian berhenti, sadar dengan kelakuannya sekarang. Di hatinya sudah penuh dengan berbagai ucapan kotor dan kutukan untuk Steven. Raut jahil terpampang jelas di wajah keenam sahabatnya. Brian mengerang lelah lalu menenteng ranselnya, hendak kabur. Sebelum satu langkah dimulai, tangan-tangan mereka sudah menahannya lalu membantingnya cukup kasar ke tempat duduknya semula. Jujur saja, kelakuan mereka paling berisik dan menarik perhatian di area Starbucks. "Hey bung, jika kau lupa, lusa kita akan menghadapi grand final and guess what we do now? Menggosip di Starbucks semacam perempuan ababil !" Ujar Brandon, nyaris menekankan setiap kata. Thomas mengaduk ristretto bianco miliknya. "Jika lusa kita kalah, itu salahmu, dude. Ajakan Steven ada manfaatnya meskipun ada niat terselubungnya."  "I don't care, yang penting nggak ada Luna dan Lauren." Brian kekeuh. "Bilang saja kau tak ingin tubuh Luna terekpos dan menjadi pemandangan gratis bagi kami. Posesif sekali." Ledek Jeff. Samuel menghela napas panjang. "Apa pun yang mau kalian lakukan, guys. Aku ikut saja." "Bisakah kita lupakan konflik antara Steven dengan Brian dan tetap pergi ke gym besok? nggak kasihan kah kalian dengan pundakku yang kaku ini ?" Ujar Jack masih dengan memukul-mukul pundaknya sendiri. "Apa pun keputusannya, aku ikut saja." Tukas Brandon. Steven dan Brian yang masih berdebat sendiri dengan tatapan tajam mereka pun tak menyadari, kelima sahabat mereka pergi meninggalkan mereka berdua. *** Luna menaiki tangga rumahnya yang berkelok menuju lantai dua yang merupakan tempat kamarnya dan kamar Lauren berada. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Meskipun besok hari minggu, Luna tak mau menyia-nyiakan satu hari pun tanpa belajar. Luna berhenti berjalan, melihat jika pintu kamar adiknya sedikit terbuka, Luna pun berniat mengintip sejenak. Lampu kamarnya masih menyala, TV pun juga menyala dengan menampilkan film dewasa karena jam-jam malam memang jadwalnya film rating delapan belas ke atas. Luna tidak marah dengan TV menayangkan film dewasa karena Lauren memang tidak menontonnya. Adiknya itu mendumal kesal di depan layar ponsel canggihnya. Luna mengetuk pintu. "Kenapa kau tidak tidur?" Lauren menoleh dengan bibir mengerucut sebal. "Awalnya berniat tidur, tapi tiba-tiba Andrew mengirim chatting padaku. Isinya membuatku kesal."  "Apa isinya?" Luna melangkah memasuki kamar Lauren. "Tiba-tiba saja dia mengajakku pergi ke gym nanti pagi jam enam!" Seru Lauren semakin frustasi. Luna duduk di kursi meja rias. "So, what? Kau nggak pernah berolahraga. Tubuh langsingmu itu perlu dikhawatirkan jika kau tak mau berolahraga, bisa-bisa membuncit." "Ini tidak sesimple seperti yang kau bayangkan, sist," ujar Lauren, "Andrew bilang Brian dan keenam sahabatnya akan ke gym juga. Dan kau, harus ikut." Anakan gurita itu memang ingin segera pergi ke neraka, ya? batin Luna. "Oh please, aku tahu jika kakak tidak mau juga, begitu pula aku. Katakan padaku jika kakak tidak menyetujui hal konyol ini!" Lauren mengacak rambutnya sendiri layaknya orang stress. Luna menghela napas panjang. "Turuti saja apa mau Andrew." Seketika rahang Lauren jatuh ke bawah. "Wha-What?!" "Iya, turuti saja. Dia temanmu, 'kan? Kau juga bisa olahraga untuk menipiskan lemak di perutmu itu." Jelas Luna tanpa tedeng aling-aling. "Perutku tetap datar dan aku tidak punya lemak berlebih." Cetus Lauren sedikit sinis. Luna bangkit berdiri. "Sudahlah, kau harus cepat tidur. Jika kau mengatakan aku menyuruhmu ikut tapi aku tidak ikut padahal disuruh ikut, aku akan ikut denganmu. End of story, sleep tight." *** "Kak, katakan padaku jika semalam kakak hanya bercanda. Aku malas, kak..." keluh Lauren sembari menuruni anak tangga dengan langkah gontai dan wajah bantalnya. Luna yang sudah menunggu Lauren di sofa ruang keluarga pun cuek saja dengan keluhan Lauren. Bukan berarti ia sangat ingin nge-gym bersama ketujuh cowok tampan itu, ia lebih memikirkan kesehatan Lauren kalau tubuhnya terus menempel di kasur. Luna memutar kunci mobil menggunakan jari telunjuknya. "Hurry up, Lauren. Kita naik LaFerrari." Seketika wajah Lauren berubah dalam sekejap mata. "Really?! Ahhhh!!! You know what I wanted to do!" Dengan semangat 45-nya, Lauren langsung berlari menuruni anak tangga dan meloncat-loncat girang di pintu utama rumah. Luna menggelengkan kepala kemudian berdiri, melangkah menuju garasi rumah.  Ketika pintu besi garasi dibuka, terlihatlah mobil sport mahal berwarna merah terang, Ferrari LaFerrari, hadiah ulang tahun Luna yang keenam belas dari Ayahnya. Luna bisa mengendarainya, sudah tingkat mahir. Bahkan jika ia mau, ia bisa membawa mobil mewah itu sebagai kendaraan ke sekolah setiap hari. Sayangnya ia tidak mau mendapat banyak fake friend. Setelah pintu besi rumah dibuka lebar oleh security, mobil mewah itu langsung melesat menembus jalanan New York di pagi hari yang masih berembun. *** Andrew dan Brian menunggu kedatangan Lauren dan Luna, keenam sahabat Brian pun turut menunggu juga. Tak baik jika langsung berolahraga disaat kedua perempuan itu belum datang. "Karakter cewek, lambat." Gerutu Steven yang berjongkok layaknya pengemis.  "Sebentar lagi pasti datang, bersabarlah." Tandas Jack, kesal sendiri mendengar Steven terus-terusan mengeluh. Mobil sport berwarna merah terang langsung menarik perhatian mereka. Apalagi itu mobil mahal dengan nilai tambahan, mewah. LaFerrari itu memasuki pelataran parkir gym dan mulus terparkir di salah satu tempatnya. Mereka berdelapan langsung melongo ketika melihat Luna dan Lauren keluar dari mobil yang telah menjadi pusat perhatian mereka. Apalagi, Luna keluar dari pintu pengemudi. Lauren melambaikan tangannya pada Andrew, tak lupa memamerkan sederetan gigi putihnya. "Morning, jerk!" "What do you say?! You i***t!" Balas Andrew kesal. Steven bersiul jahil. "Dua bidadari sexy datang mengendarai LaFerrari. Wow~" Luna berhenti beberapa meter di depan mereka bersama Lauren. "Tunggu apa lagi? Ayo masuk." Tersadar dari kecengoan mereka, mereka pun masuk ke dalam gym. Sejak awal Brian tak berhenti memandangi Luna. Pertama kali ia melihat Luna mengucir rambutnya dengan model ponytail, memamerkan leher jenjangnya yang begitu putih.  Thomas menggeplak kepala Brian. "Ini masih pagi dan kau sudah nafsu melihat Luna ? Oh c'mon, tujuan kita melatih stamina di sini." Brian mencebik. "Iya iya iya, ayo segera ganti baju." Luna memandang adiknya tak setuju di ruang ganti. Adiknya itu memakai hot pants training lengkap dengan atasannya yang hanya menutupi d**a, perutnya terekspos jelas. Mengundang libido laki-laki dengan warnanya yang begitu panas dilihat, hitam. "Apa kau gila memamerkan tubuh seperti itu?" Tanya Luna. Lauren menoleh. "Ayolah kak, ini wajar. Kita akan olahraga. Percayalah, memakai pakaian tertutup tak akan membuatmu nyaman." "Ya, tapi ada delapan laki-laki di-" "Shut up and wear this. Terlihat kompak denganku." Sela Lauren seraya menyodorkan pakaian yang modelnya sama dengannya. Hanya saja berwarna putih. Luna memakainya dengan amat terpaksa, masalahnya ia tidak punya baju training. Awalnya berniat memakai tank top ketat dan hot pants saja, tapi malah banting stir memakai training seksi seperti Lauren. Ketika kakak beradik itu keluar dari ruang ganti, tatapan para lelaki langsung tertuju pada mereka. Siapapun yang melihat Lauren, pasti tak akan mengira jika gadis itu masih berumur lima belas tahun.  Kedelapan cowok melongo melihat mereka berdua. Tampak seksi dan membangunkan b****i. "I-Ini fenomena. Kapan lagi bisa melihat Luna berpakaian seksi seperti itu?!" Celetuk Steven. "Dasar mesum." Gumam Samuel, cepat-cepat tersadar dari lamunannya lalu mulai berolahraga dengan menaiki treadmill.   Brian duduk di salah satu leg press machine yang berada tepat di sebelah Luna. Luna yang sudah menekukkan kedua lututnya pun menoleh ketika merasa ada orang di sebelahnya. "Apa?" Tanya Luna. Brian tersenyum geli. "Nggak. Kalau boleh jujur, kau membangkitkan nafsuku." Luna memicingkan sebelah mata, jijik. Tanpa membalas ucapan Brian, Luna mulai mendorong beban menggunakan papan besi yang di belakangnya telah ada roda besi yang menjadi beban. Jika didorong oleh kedua kaki, roda itu akan naik ke atas sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan kedua kaki. Jika Luna kembali menekukkan lututnya, roda itu juga otomatis akan kembali turun. Ketika Luna menekukkan lututnya itu lah, Brian mati-matian menahan matanya untuk tidak melirik paha Luna yang terekpos. Brian sendiri juga mulai menggunakan leg press. Tapi otaknya tak sejalan dengan hatinya yang berniat berolahraga. "Luna," panggil Brian. "Apa?" Tanya Luna tanpa menoleh, keringat mulai membasahi keningnya. "Kau akan melihat grand final, 'kan?" Tanya Brian balik. Kening Luna mengerut, memikirkan jadwalnya sepanjang minggu baru esok. Menunggu jawaban Luna membuat Brian sedikit ketar-ketir sendiri layaknya remaja labil. Apalagi keberisikan teman-temannya yang terus menggodai Andrew dan Lauren. Brian berdecak kesal lalu menoleh ke teman-temannya di belakang. "Bisa diam tidak?! Ini di tempat umum!" "Salahkan Steven, dude. Dia bukannya berolahraga justru menonton Lauren yang menggunakan pec deck!" Sahut Thomas lalu kembali menabok kepala Steven.  Brian menghembuskan napas lelah. "Stev, olahraga atau kutelpon Claudia sekarang." "Aye aye captain!!" Cepat-cepat Steven menggunakan treadmill di sebelah Samuel yang asik menggunakannya juga dengan earphone menyumbat kedua telinganya. Satu yang Steven takutkan di dunia selain kedua orang tuanya, adiknya sendiri. Brian menoleh ke Luna. "Jadi, bagaimana?" "Yeah, aku bisa. Dengan satu syarat," jawab Luna. "Apa itu?" Tanya Brian. Luna menoleh ke Brian. "Berhenti 'menyatakan' perasaan kepadaku di sekolah. Itu menjijikkan, freak." Brian tertawa pelan. "Okay okay, I'm sorry." "Aku tidak ikut-ikutan jika detensimu bertambah." Tukas Luna. "I know." Tandas Brian, tersenyum geli dengan kedua kaki terus mendorong beban leg press.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN