6. Annoying

2093 Kata
“Thanks.” Kata Luna sebelum keluar dari mobil Brian. Brian mencekal tangan Luna sebelum perempuan itu menyentuh gagang pintu mobil. “Tunggu, jangan keluar dulu.” Alis Luna naik sebelah ketika Brian keluar dari mobil setelah mencegah Luna barusan. Cowok itu memutari mobil lalu berhenti di pintu mobil penumpang, tempat Luna berada. Ia membukakan pintu dan mempersilakan Luna untuk keluar. Trying to be a gentlemen, huh? Batin Luna. Luna menggendong tas di pundaknya lalu keluar dari mobil. Di hadapannya, gerbang besar yang menjulang tinggi telah terbuka. Memperlihatkan dengan jelas sebuah rumah berlantai dua yang sangat elite dengan halaman tak kalah luas. Lengkap dengan air mancur tepat di depan rumah tersebut. Membentuk jalan melingkar yang elegan. Brian tak pernah mengira Luna termasuk kalangan atas. Pasalnya, Luna memang pendiam dan sangat tertutup pada siapapun yang tidak akrab dengannya secara pribadi. Sebelum Luna memasuki rumahnya, Brian melempar senyuman. “Thanks for today. Kau membantuku mencari kado yang, yeah,” Brian melirik jok belakang mobilnya, “susah dicari.” Luna sedikit melirik ke belakang Brian, mengikuti arah lirikan cowok itu. “No problem. I’m gonna go.” “Okay. Omong-omong bisakah aku bertemu orang tuamu dulu? Aku ingin pamit pada mereka,” tanya Brian. Tanpa lelaki itu ketahui, tubuh Luna menegang. “No need for that. Just go home already.” Dan seperti yang sudah-sudah, sikap ketus Luna dianggap biasa oleh Brian. Tanpa ia ketahui telah menyentil sesuatu yang sangat sensitif bagi Luna.  “Well, okay. See you tomorrow and good night, Luna.” Pamit Brian, tersenyum kecil. Ia melangkah memutari mobil lalu duduk di jok sopir. Bersiap pulang. Luna hanya diam. Tidak berkata apa pun hingga kepergian mobil Brian.  Luna memasuki rumahnya. Dua satpam yang setia berjaga di gerbang dengan segera menutup gerbang. Sebenarnya Luna agak risih diperlakukan begitu hormatnya oleh para pekerja di rumahnya. Namun semakin lama, ia membiarkannya saja. Ibunya akan marah jika melihat salah satu pekerja di rumah memperlakukannya dengan tidak hormat. Penuh aturan. Luna membuka pintu rumah, keadaan cukup gelap sekaligus sepi. Hanya terdengar suara TV dari arah ruang keluarga. Setelah menutup pintu, ia berjalan menuju ruang keluarga, berniat mematikan TV. Pasti ulah adiknya yang selalu ceroboh. Pemandangan yang Luna dapatkan berbeda jauh dari yang ia kira. Di atas sofa yang berhadapan dengan TV, ada Lauren yang tertidur di sana. Meringkuk layaknya bayi akibat kedinginan. Luna menghela napas, dimatikannya TV yang sejak tadi menyala tanpa ditonton. Meja berlapis kaca telah berantakan, buku-buku dan berbagai alat tulis berserakan di atasnya. Perkiraan Luna, adiknya itu belajar sebelum terkapar di atas sofa. Luna merapikan berbagai buku pelajaran beserta buku catatan milik adiknya, tak lupa juga dengan alat-alat tulisnya. Setelah selesai, ia menengok ke jam kakek tua yang berdiri tegak di sebelah perapian, jam sembilan malam. Adiknya pasti belum makan malam. Dengan perkiraan seperti itu, Luna bergegas menuju dapur, hendak memasakkan makan malam untuk adiknya. Ditinggal seharian dengan keahlian memasak yang sungguh nol, Lauren lebih memilih mati kelaparan daripada meledakkan dapur rumah. Akhir-akhir ini Lauren semakin bertambah malas. Bagaimana nilainya di sekolah? Jika dibiarkan, aku yakin dia tak akan lulus Junior High School, batin Luna sembari memasak bitterballen. Lauren yang mencium wangi masakan pun spontan membuka kedua matanya. Seingatnya ia sendirian di rumah, hanya ditemani oleh dua satpam yang selalu berjaga di pos dekat gerbang rumah. Penasaran, Lauren berjalan menuju dapur. Ia melongo melihat sosok kakak perempuannya sedang asyik menggoreng sesuatu di dapur. Wanginya menyebar sampai ruang keluarga. "Kakak? Kapan pulang?" tanya Lauren, duduk di kursi meja makan. Luna berbalik badan. "Oh, kau sudah bangun. Apa aku terlalu berisik? Sorry." Lauren menggeleng cepat. "No no no no no no no, aku terbangun dengan sendirinya. Don't worry." Luna kembali fokus ke penggorengan berisi bitterballen buatannya. "Oh begitu. Tunggu sebentar lagi, bitterballen-nya akan matang." Lauren sedikit terkejut. Soalnya Luna jarang memasak makanan di rumah. Paling mentok adalah membuat teh dan jus buah. Bisa dibilang, ini pertama kalinya Luna memasakkan makanan untuknya tanpa diminta. Lauren langsung excited untuk segera mencoba masakan buatan Luna. Lima menit menunggu, bitterballen buatan Luna telah siap dimakan lengkap dengan saus mustard. Setelah membaca doa, Lauren segera menyantapnya dengan dicocol saus mustard. Luna duduk di hadapannya dengan wajah datar, tapi sebenarnya dalam hati ia harap-harap cemas menantikan respon Lauren tentang masakannya. "Ini enak! I like it!" seru Lauren setelah menelan bitterballen pertamanya. Luna bernapas lega. "Syukurlah." Lauren mencomot bitterballen dengan riangnya. "Kukira aku akan mati kelaparan hari ini." "Jangan konyol. Lagipula, bagaimana bisa kau tertidur di sofa dengan buku pelajaran berserakan dimana-mana?" tanya Luna. "Oh, itu? Aku awalnya berniat mengerjakan tugas Mr James, and hell yeah, aku mengantuk dan langsung tertidur begitu saja." jawab Lauren tanpa merasa panik dengan tugasnya yang belum selesai. "Jadi tugasmu sekarang belum selesai?" tanya Luna lagi dengan dahi mengerut. Lauren nyengir kuda. "Begitulah." Luna bangkit berdiri dengan helaan napas berat. "Segera habiskan makananmu. Akan kubantu menyelesaikannya." Lauren kembali dibuat melongo dengan sikap Luna. Kakaknya itu jarang sekali membantunya belajar apalagi sekedar mengobrol seperti barusan. Sekarang Lauren mulai curiga, apakah perempuan itu memang benar kakaknya atau barusan disambar petir bahkan mungkin salah makan? *** "Kakak sebenarnya kenapa hari ini? Pulang telat, tiba-tiba berperilaku baik kepadaku. Aku bingung." tanya Lauren disela-sela menulis rangkuman rumus-rumus Sains. "Nothing. Jangan pikirkan aku, pikirkan saja tugas-tugasmu." jawab Luna, enggan berkata jujur pada adiknya. "Apa ini ada hubungannya dengan Brian? Brian Westlake?" tembak Lauren langsung to the point. Luna spontan menoleh. "Apa maksudmu?" "Yeah, akhir-akhir Andrew dan aku mulai akrab, dalam artian teman. Dia selalu bilang jika kakaknya lumayan sering bercurhat dengan Rudolf. You know that, anjing peliharannya." ungkap Lauren, masih sibuk menulis. "Sayangnya ini tak ada kaitannya dengan Brian. Berhenti menarik kesimpulan tak terbukti seperti itu." Luna membantah. "Oh ya? Lalu kenapa hari ini kakak pulangnya jam sembilan?" Lauren memancarkan binar curiga. "Aku sudah pernah bilang tak akan pernah memikirkan hal-hal berbau cinta. Berhentilah mencurigaiku seperti itu." jelas Luna sedikit ketus. Lauren manggut-manggut. "Yeah maksudku, kakak dengan Brian itu cocok sekali. Aku berharap kalian menjadi couple." "What're you talking about?" Luna pun jengah dengan segala ocehan Lauren. Lauren tertawa puas mendengar keluhan Luna yang sepertinya sudah mulai kesal dengan ocehannya. Sedangkan Luna, ia mengecek ponselnya yang barusan berdering singkat. Satu pesan masuk. Brian: Sleep, balok es. Semoga besok kau bisa menangis terharu. Alis Luna spontan naik sebelah ketika membaca satu pesan dari Brian tersebut. Tak mengerti dengan maksud dari cowok itu. Luna: Apa maksudmu? Brian: Nope. Jika kuberitahu sekarang, tak akan seru nantinya. Jadi, tunggu saja esok hari. Tak mau ambil pusing, Luna membiarkan pesan dari Brian tanpa membalasnya. "Itu pasti pesan dari Brian. Aku yakin itu." celetuk Lauren. "Shut up." balas Luna. *** Luna berangkat ke sekolah menaiki sepeda seperti biasanya. Earphone menyumbat kedua telinganya, membuatnya sedikit bersenandung ria sesuai lagu yang terputar di iPod-nya. Ketika memasuki area Poly Prep, seluruh tatapan siswa tertuju padanya. Bukan Luna namanya jika tidak cuek. Selesai memparkirkan sepedanya, Luna berjalan menuju kelasnya. Tatapan para siswa terang-terangan menusuknya. Dalam hati, Luna bertanya-tanya tentang penyebab itu semua. Sebelum ia menginjakkan kaki memasuki kelas, suara speaker sekolah membuatnya terdiam. Speaker yang biasanya dipakai oleh para guru dan anak OSIS untuk mengumumkan hal yang penting. Tapi entah kenapa perasaan Luna tidak enak. Memang ada pengumuman penting apa di pagi buta? "Eng..., sepertinya dia sudah datang, ya? Good morning, Luna!" Luna speechless di tempat. Sudah ia duga. "Huh? Itu suaranya Brian, 'kan?" tanya Rebecca yang baru saja tiba di sekolah. "Ini masih pagi dan anak itu sudah membuat ulah. Oh, boy." keluh Elise. "Sesuai janjiku kemarin ya, Luna. Luna, I love you so much!!" Hening. Seluruh kegiatan siswa tiba-tiba terhenti secara bersamaan. Rebecca dan Elise melongo, otak mereka bekerja lambat untuk mencerna perkataan Brian barusan. Sedetik kemudian, "WHAT?! Brian si kapten tim basket itu menyukai Luna?!!" "Ini tak bisa dipercaya, ini tak bisa dipercaya!!" "Katakan padaku kalau ini hanya mimpi!" "Dia pasti hanya bercanda, oh ayolah Brian tak pernah serius dalam melakukan sesuatu." Seluruh tatapan siswa mengarah lagi ke Luna. Ada yang menatapnya begitu tajam, sinis, tersirat luka patah hati, dan datar. Luna mengabaikannya, ia memasuki kelas tanpa merasa telah terjadi sesuatu sebelumnya. Membuat para penggemar Brian salah sangka. Mengira jika Luna menyombongkan diri dengan hanya berdiam diri. Elise melotot di depan Luna. "Serius, apa yang telah terjadi di antara kalian berdua?! Kemarin dia membopongmu dan mengantarkanmu pulang, sekarang begini. Apa yang telah terjadi?!" "Tak ada yang terjadi." jawab Luna. "Bohong! Kau salah memilih sasaran jika berbohong padaku, nona jenius!" tukas Rebecca dengan tangan bersedekap di d**a. Luna melirik Rebecca sekilas. "Aku berkata jujur." "Oh for god sake, akhirnya Luna punya kekasih. Oh my." ujar Bianca mendramatisir. "Dia bukan kekasihku." elak Luna. "Oh ya, kalau begitu seharusnya dia tidak ber-" BRAK! Suara pintu kelas yang dibuka dengan keras menyela ucapan Elise. Seluruh siswa menoleh ke ambang pintu, ada Isabelle berdiri di sana dengan raut kesal. "Luna Handerson!" serunya dengan suara lantang. Menimbulkan suara cempreng yang sungguh menyakitkan di telinga. Luna hanya menoleh tanpa membalas seruan dari Isabelle. Hal itu membuat Isabelle semakin geram. Dengan langkah cepat sang ketua cheerleader itu menghampiri bangku Luna, menggebraknya dengan kasar. Luna masih tetap poker face. "Apa yang barusan kudengar pagi ini, hmm? Kekasihku mengatakan suka padamu, oh wow sekali! Bisakah kau berhenti bersikap centil di dekat Brian?! Menjijikkan sekali!" Marah Isabelle. Elise langsung melotot. "Kau kurang kerjaan sampai memarahi Luna seperti itu. Seharusnya KEKASIHMU itu lah yang kau marahi. Bukan Luna!" Isabelle menoleh ke Elise. "Shut up you little jerk! Aku muak berurusan denganmu yang tak mau bergabung dalam cheers. Jangan membuatku berurusan lagi denganmu karena perempuan jalang ini!" Isabelle menunjuk Luna, menjelaskan siapa yang ia maksud jalang. "Dengar ya, Lockhart, aku akan diam selama kau hanya menghujat bahkan membullyku. Tapi aku tak terima jika kau sudah mengataiku jalang." Luna melawan. Isabelle tersenyum miring. "Kenapa? Bukankah sudah jelas, kenapa akhir-akhir ini kau begitu dekat dengan geng Brian? Menjelaskan sekali jika kau sudah dibagi-bagi." "Pernah melihatnya secara langsung? Ada buktinya?" tanya Luna balik. "Hal seperti itu tak perlu bukti. Oh c'mon, satu Poly Prep pun tahu bagaimana sifat-sifat mereka bertujuh, player dengan kehidupan bebasnya." jawab Isabelle. "Sekarang aku balik bertanya padamu, di rumahmu ada kaca?" Luna berdiri, tanpa ada rasa takut melawan Isabelle. Dahi Isabelle mengerut. "Tentu saja ada, kau pikir aku semiskin apa sampai tak punya kaca." "Jika begitu, pernah berkaca? Apa yang kau lihat di pantulan kaca ketika bercermin? Dirimu yang sudah tidak perawan," Luna langsung menghujat. Wajah Isabelle memerah. Emosi telah menanjak naik sampai ke ubun-ubunnya. "Jadi, jangan pernah mengataiku sebagai perempuan jalang disaat dirimu sendiri sudah bukan nona lagi." tambah Luna. Dari ambang pintu, geng Brian tersenyum puas melihat perlawanan Luna pada Isabelle. *** "Wow, aku tak pernah menyangka kau bisa sebegitu beraninya pada Isabelle." ungkap Shane, kagum dengan tontonan pagi hari sebelum bel masuk berbunyi. Luna menghembuskan napas panjang. "Jika tidak dilawan, dia akan terus mengataiku jalang." Shane tersenyum tipis. "Good job, aku suka perlawanan telak itu. Wajah Isabelle sudah mengalahkan merahnya tomat." Mereka berdua sekarang ada di podium penonton yang mengelilingi lapangan basket. Luna harus pintar-pintar mencari alasan untuk kabur dari ketiga sahabatnya saat jam istirahat tiba. Ia menemani Shane ketika jam itu tiba, terlepas dari permintaan gadis itu yang ingin bergabung dengan Luna dkk. "Hey," Shane menunjuk ke tengah lapangan, "Bukankah itu Brian?" Luna melihat ke arah jari telunjuk Shane menunjuk. Benar, ada Brian di sana. Sedang berdiri di tengah lapangan dengan gaya sok coolnya. "Dia kurang kerjaan kali, ya." gumam Shane pelan namun terdengar di telinga Luna. Brian menarik napas panjang. "LUNA, I LOVE YOU!!" Shane langsung memasang raut jijik. Sedangkan Luna, ia biasa saja. -Luna POV- Brian benar-benar melakukannya. Dia benar-benar 'menyatakan' perasaan lewat speaker tadi pagi, tanpa ada rasa malu. Aku sebetulnya sungguh jijik dengan kelakuannya. Apakah tak terlihat di wajahku? Aku dan Shane berpisah lima belas menit sebelum pelajaran kembali dimulai. Waktu sesingkat itu kupergunakan ke kantin sekolah lebih dahulu. Ucapan Brian di lapangan basket barusan membuatku nyaris kehilangan selera makan. So ridiculous. Sekarang aku bertanya-tanya, kenapa tak ada guru yang menegurnya? Setelah membayar s**u kotak aku mulai melangkah ke kelas. Di persimpangan laboratorium bahasa, aku terkejut melihat sosok Brian yang entah bagaimana kronologinya sudah berdiri lima meter di hadapanku. Oh Tuhan. "Hey kita ketemu lagi. Ngomong-ngomong, cintaku lebih manis daripada s**u vanilla yang kamu beli itu." ujarnya, lagi-lagi menggodaiku. "Shut up dan minggirlah, aku mau ke kelas." Balasku datar. Oke, aku menyesal telah menolak ajakannya untuk bermain dance dance revolution. Masih ada waktu lima menit sebelum Mr Theo memasuki kelas. Ketiga sahabatku sibuk menggosip. Mereka tidak mengajakku karena memang aku tidak suka menggosip, lebih memilih membaca novel. Dan lagi-lagi, "Cintaku lebih mudah kamu mengerti daripada pelajarannya Mr Theo, Luna." AKU BENAR-BENAR AKAN GILA !!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN