Chapter 1
London, Inggris
“Selesai sudah untuk berita olahraga hari ini, kita akan bertemu kembali besok di jam yang sama! Bagaimana dengan sport lover, apakah sudah mendapat cukup informasi tentang ranah olahraga hari ini?” Krystal menarik napas sejenak, menoleh ke rekannya yang mengacungkan jempol di luar ruang siaran melalui kaca. “Sebelum berpisah, ada berita penting yang harus saya sampaikan pada kalian semua. Minggu depan, kejuaraan Formula 1 Grand Prix Inggris, akan disiarkan secara live oleh radio kami dari sirkuit Silverstone. Untuk informasi selengkapnya, kami akan memberikannya lagi besok. Saya Krystal Louis mohon undur diri, dan selamat sore.”
Jari-jari lentik itu menari di atas audio mixer bersama dengan suara musik yang menyambung suaranya, kemudian melepaskan headphone dan bangun. Seorang pria muda datang menghampirinya sambil menepuk bahunya dengan senang. Krystal pun meregangkan otot-otot di tubuhnya karena selama beberapa jam siaran dalam segmen olahraga.
“Kerja bagus, Krys! Kau akan langsung pulang?” tanya rekannya.
“Hm. Kalau aku terlambat, mungkin bocah itu sudah mencabuti sayuran milik nenek Sam untuk dimakan karena kelaparan,” balas Krystal.
Mereka keluar dari ruang siaran sementara musik melantun di saluran radio. Krystal meraih tasnya dan memasukkan beberapa barang, kemudian berjalan menyusuri lorong kantornya, menyapa beberapa rekannya yang masih bertugas untuk siaran.
Rekannya memberinya sebuah berkas yang segera diterima. Dengan dahi mengerut Krystal membukanya, membacanya sesaat dan wajahnya berubah ngeri. Kemudian menatap rekannya dengan pandangan sedih dan muram.
“Kenapa wajahmu? Seharusnya kau senang bisa masuk langsung ke sirkuit Silverstone. Jika beruntung, bisa mewawancarai para pembalap.”
Krystal masih berwajah sedih yang dibuat-buat. “Apa bos kita baru saja menabrak pintu kantor? Kemarin dia bilang Dianne yang akan pergi, kenapa sekarang aku yang pergi?”
“Dianne minggu depan pulang ke rumahnya, ibunya mengadakan pesta. Satu-satunya penyiar olahraga yang tersisa hanya dirimu.”
Diam sejenak, Krystal kembali melirik berkas yang mencantumkan beberapa instruksi untuknya. Ia menampilkan halaman di mana nama seseorang terpampang dengan nyata. “Kau lihat ini? Kenapa harus ada nama Dionte Arentino?”
Rekannya itu menatap Krystal dengan aneh. “Kurasa wanita tidak waras satu-satunya di dunia ini hanya kau. Semua wanita bahkan rela merangkak di tempat tidur seorang Dionte Arentino, dan kau bahkan membuat drama tak mau mewawancarainya.”
Wajah Krystal semakin jatuh dan jatuh, ingin menangis dan menyedihkan seperti teraniaya. “Kau tahu kan, aku dan dia...”
“Kau pernah ditolak olehnya, yakan?”
Krystal mendengus sambil memukul temannya dengan tas. “Jangan dipertegas! Ya sudah, aku akan datang dan bos harus memberiku gaji enam kali lipat.”
“Dasar mata duitan,” gerutu temannya.
Krystal pun harus rela menerima pekerjaan ini dari bosnya. Lagipula, dia berpikir jika itu bagus untuknya melihat pria itu seperti apa jika dari dekat. Sudah bertahun-tahun lalu, dan Krystal hanya bisa menghela napas jika mengingat kenangan pahit masa lalunya.
Ketika keluar dari gedung kantornya, dua sosok sedang berdiri di depannya dengan senyum lebar dari masing-masing wajah. Satu lelaki dewasa, dan satu anak lelaki berusia empat tahun.
“Mommy!” teriak anak lelaki itu dengan senyum lebar, berlari menghampiri Krystal dan memeluknya.
Krystal dengan senang mengangkat tubuh anak itu, memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya. “Apa kabarmu hari ini? Di sekolah kau tidak memberikan kecoak pada temanmu lagi, kan?”
“Tentu saja tidak!” jawab anak itu dengan deretan giginya yang ompong beberapa.
“Bagus!” balas Krystal dengan bangga.
“Aku hanya memasukkan laba-laba mainan ke tas anak yang duduk di depanku!”
Krystal tersedak dan hampir batuk. Memandang anak itu, ia hampir menangis melihat wajah tanpa dosa dengan pipi gembil dan memerah itu. Ingin mencubitnya, tapi juga tak ingin dia merasakan sakit.
Krystal mengalihkan pandangan ke pria jangkung dan berbadan cukup atletis dengan setelan kemeja dan celana bahan. Wajahnya tampan dan dewasa, dengan pembawaan yang tenang.
Dengan senyum tak bersalah, Krystal menjawabnya, “Tidak! Aku menyuruhnya memanggilku Mommy di mana pun, tapi dia tetap memanggilku Kakak jika di tempat umum. Dio membuatku terlihat seperti gadis perawan yang malu-malu.”
Pria itu memasang wajah hendak muntah, hanya menepuk kepala Dio dengan pelan dan mengabaikan segala macam ekspresi dan jawaban Krystal.
“Ren, kau mengajak anakku makan tidak?” tanya Krystal pada temannya itu.
“Tentu saja tidak, aku baru saja pulang dan bertemu dengan Dio di rumah nenek. Kau pasti menitipkannya di rumah nenek lagi, kan?”
Krystal menghela napas pelan, wajahnya kembali muram. “Bagaimana lagi, aku tak punya uang untuk menyewa pengasuh. Kalau aku memasukkannya ke tempat penitipan anak pun biaya sewanya mahal. Aku kan miskin, Ren.”
Ren memandang Krystal dengan wajah datar dan bosan. “Kau juga pasti akan bilang tak punya uang untuk membeli makan malam,” tebaknya.
“Sesuai tebakanmu!” pekik Krystal dengan senyum lebar.
Ren menghela napas mencoba sabar. “Ayo! Aku akan traktir kalian berdua makan. Aku heran, kau ini seorang ibu, tapi benar-benar tukang drama.”
Krystal mengangguk dengan wajah pura-pura muram, dan Dio bersorak senang karena akan makan enak di restoran. “Untuk kali ini, uang Mommy aman,” bisik Krystal pada Dio yang masih digendong.
Dio mengangguk-angguk dengan kepala lentur membuat Krystal meringis melihat putranya. “Dio makan enak, karena makanan Mommy beracun.”
“Kau ini!” Krystal mendengkus sebal seraya menurunkan Dio. “Ibu sendiri di-bully,” lanjutnya.
Bocah lelaki itu bersorak senang dan berlari ke arah Ren, meraih tangan Ren dan melompat-lompat senang di trotoar. Sedangkan Krystal berjalan di belakang mereka, menatap sang putra dengan bahagia. Meski ada kesedihan yang tiba-tiba kembali menyelusup di hatinya setelah bertahun-tahun lalu ia berhasil bangkit.
Melihat perawakan tinggi bocah empat tahun itu, dengan rambut cokelat madu dan mata yang juga berwarna cokelat madu dan tajam, dengan fitur wajah yang sama persis dengan sang ayah membuat Krystal harus selalu mengatakan pada dirinya bahwa Dio hanya putranya, bukan putra dari pria itu––meskipun pria itu memang menyumbang benihnya.
*****
Modena, Italia
Hiruk pikuk dengan musik yang berdentum-dentum menghentak lantai pun terdengar di hall besar itu. Satu sosok pria tampan dengan perawakan tinggi, rambut cokelat madu dan mata sewarna yang tajam, sedang duduk di depan meja bar sambil memegang segelas minuman berwarna biru. Jasnya tidak dikancingkan, sedangkan kemejanya tidak dikancingkan tiga teratas hingga memberikannya kesan seksi dan sensual. Tatapannya datar dan bosan, memandang pada lantai dansa di mana orang-orang dari kaum elit sedang berdansa. Wanita-wanita dengan gaun indah, dan para pria dengan setelan jas mewah.
“Dionte,” panggil seorang wanita dengan suara merdu dan manja.
Dionte menoleh, memandang wanita itu dengan bosan dan tak minat. Wanita dengan gaun seksi yang menampilkan belahan dadanya, juga riasannya yang cantik dan enerjik dengan bibir merah. Tangan-tangan rampingnya berada di bahu dan d**a Dionte, tubuhnya menempel dengan pria itu.
“Kulihat kau hanya sendiri,” kata wanita itu lagi. “Selamat atas kemenanganmu minggu kemarin di GP Spanyol.”
Dionte kembali menoleh pada wanita itu dan menjauhkan tangan-tangan sensual sang wanita dari d**a. “Kau lihat di arah jam satu,” katanya.
Wanita itu menoleh ke arah yang ditunjuk Dionte, dan ada sekerumunan wanita bergaun indah yang sedang menatap wanita itu dengan ganas dan garang seakan hendak melahapnya hidup-hidup. Wanita itu bergidik ngeri melihat tatapan sekumpulan wanita yang sepertinya berhasil diusir oleh Dionte.
“Dionte!” suara seorang pria kembali memanggilnya, sambil mendekat.
Dionte menoleh dan menatap pria berkemeja hitam. Pria itu duduk di samping Dionte dan tidak melirik wanita yang sedari tadi menempel.
“Ada apa?” tanya Dionte.
“Seisa Group, perusahaan telekomunikasi Inggris mengontrakmu! Mereka bergabung dengan tim. Mereka mengontrakmu untuk season besok.”
Dionte menaikkan sebelah alisnya, menatap pria yang merupakan manager-nya itu sesaat kemudian menunjuk wanita di sampingnya yang masih menempel. “Enric, usir dia dulu,” titahnya.
Sang manager menatap wanita itu dengan wajah terkejut, kemudian menatap Dionte dengan senyum kaku. “Dionte, ini Byanca, putri gubernur.”
“Usir dia,” ulangnya lagi.
Sang manager pun harus menurut dan menurunkan sedikit harga dirinya di depan putri gubernur untuk Dionte. Disaat manager-nya mengurus wanita itu dan berhasil mengusirnya, Dionte masih menatap pesta di depannya. Sepanjang pesta berlangsung, wajahnya selalu terlihat bosan.
“Bagus, aku memang ingin mereka bergabung di tim kita.”
Sang manager tersenyum dengan cerah sambil mengangguk. “Benar! Aku akan berdiskusi lagi dengan tim, kau nikmatilah pestanya.”
Setelah Enric pergi, Dionte kembali sendiri dan semua wanita lajang di sana diam-diam mengintainya. Mereka ingin mendekat, tapi akan diusir. Jika mereka tidak mencoba peruntungan, siapa yang tahu mereka akan menjadi kekasihnya kali ini. Dionte Arentino selalu menjadi perhatian publik, bahkan dikala dirinya melajang.
Dionte pun bangun, meninggalkan kursinya dan melangkah melewati aula besar yang dipenuhi orang-orang kalangan elit. Ia melangkah dengan gagah, kedua tangan di saku celana dan mendekati pintu. Bertemu dengan beberapa bodyguard yang mengawalnya di luar.
Semenjak karirnya di Formula 1 semakin meningkat dan sering menjadi juara dunia di beberapa musim, nama Dionte Arentino semakin melesat tinggi. Meski lima tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan di arena balapan Qatar, menyebabkan kepalanya mengalami cidera dan harus beristirahat selama satu tahun dari balapan.
Setelah kembali ke arena balapan dengan tim barunya Scuderia Ferrari, sering finish dibagian terdepan membuat Dionte melupakan kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya di Qatar dulu. Dari kecelakaan itulah, Dionte semakin bersemangat untuk menaklukan semua sirkuit di seluruh dunia untuk menjadi yang terdepan.
“Apa Mr. Arentino akan pulang?” tanya salah satu bodyguard.
Dionte mengangguk tanpa mengatakan apa pun lagi, menuruni tangga rendah sampai tiba di mobilnya. Tiba-tiba kilatan blits kamera menghujaninya, membuat Dionte harus menutupi wajahnya seraya masuk mobil ketika sopir membuka bagian penumpang. Ia masuk, dan duduk dengan tenang. Para wartawan yang terus memburu berita dan fotonya pun tak henti memotretnya meski dihadang oleh bodyguard.
Di pesta kali ini, Dionte tidak pulang membawa satu pun wanita. Di setiap foto yang ditangkap oleh wartawan dalam setiap pesta yang didatangi nya, ia selalu keluar bersama wanita yang berbeda. Entah itu anak pengusaha, seorang model, seorang selebritis maupun pengusaha wanita.
“Kita pulang ke rumah orang tuaku,” katanya pada sopir.
“Baik, Tuan.”