Tugas ke 100

1154 Kata
    Bara menginap di sebuah motel dipinggiran pantai, Dia baru saja melempar puntung rokok yang kesekian ke ujung sepatunya. sesekali dia melihat ke layar ponselnya yang dingin dan tak ada notifikasi apapun. "Apaa sih... ini kepala otaknya cewek itu Mulu, ngarep banget dia bakalan nelpon." gerutu Bara. Tidak lama ponselnya benar-benar berdering, namun bukan nomor Niana, nomor baru dengan kode area yang sudah dia hafal. "Iya..." kata Bara menjawab telpon itu tanpa basa basi. "Kawal penyelundupan 200gram sabu yang akan masuk siang ini dari gate 2 Bandara Internasional, foto terkait akan aku kirim ke nomor kamu." sahut seseorang diujung telepon.      Pekerjaan macam apa ini, tak sudi sebenarnya Bara menerima tugas ke 100 pagi ini, selain malas berurusan dengan barang-barang terlarang, dia juga masih enggan keluar motel di pagi mendung yang suram ini.      Tapi tunggu... sabu... pasti ada kaitannya sama ayahnya. Dia kan gembong mafia kelas berat yang bergerak dalam bidang Pesuruh dan Napza. "Oke... jam berapa?" tanya Bara. "Jam 12 tengah hari." jawab si penelpon. "Pastikan ini bukan jebakan, atau aku akan memenggal kepalamu." kata Bara. "Bukan-bukan ini bukan jebakan, ini benar-benar pure tugas dari boss saya." sahut penelpon. "Okke aku akan ada disana." sahut Bara.       Dia mulai mengatur rencana agar bisa mengetahui siapa penerima barang tersebut. Dalam hati dia berharap sekali bahwa ayahnya lah yang akan dia temui. "Sudah lama sekali aku menunggu hari ini ayah, btw kenapa dia tidak menyuruh anak buahnya sendiri, mungkin dia tidak mau mengambil resiko diendus oleh kepolisian." kata Bara dalam hati.      Dia mulai berselancar di dunia Maya, untuk mencari tau sejauh apa kabar kedatangan barang hari ini, rupanya sama sekali tak terdeteksi oleh pihak kepolisian dan badan Narkotika. "200gram itu lumayan loh, kenapa tidak bocor ke antek-antek polisi. Jangan-jangan ini hanya permainan mereka agar gue bisa keluar dari persembunyian." ungkap Bara. "Okke kita lihat saja, let play the game.." kata Bara kemudian.      Dia masih mengambil lagi sebatang rokok dari dalam kotaknya, menyulut ujungnya dan membiarkan asapnya mengepul di depannya. Pandangannya jauh menerawang kedepan.      Seakan disana tergambar masa lalu yang telah menggadaikan masa kecil dan mimpi kecilnya. Bayangan senyum ibunya, melintas dan membuyarkan lamunannya. "Tidak Bu... aku adalah putra ibu yang baik, dan selamanya akan tetap seperti Bara yang ibu kenal, yang tumbuh dengan kasih sayang ibu." batin Bara.      Matanya mengerjap, sudut matanya basah oleh airmata yang tak bisa dia kendalikan. Dengan sebelah tangannya dia meraih segelas air minum kemudian meneguknya sampai habis.      Sementara itu di rumah Bara, mata Niana tidak lepas dari layar ponsel yang menunjukkan cctv di rumah Bara. Tidak berapa lama dia melihat sebuah Van yang terparkir tidak jauh dari belokan rumah Bara, keluar dari sana 3 orang berperawakan tinggi besar dengan kaca mata hitam dan mantel hitam.       Pikirannya tidak enak, dia mematikan semua pendingin ruangan, kompor dan lampu kamar mandi. dengan kain basah dia buru-buru mendinginkan badan kompor yang baru saja dia gunakan untuk merebus air untuk memasak mi instan. "Duuhh cepetan cepetan..." batin Niana. Setelah lumayan dingin dia mengelap dengan tissu agar bekas air di badan kompor menghilang. Dari ponselnya dia melihat ketiga orang itu masuk ke balik pagar.       Niana memastikan pintu depan dan semua jendela terkunci, roller blind tertutup lalu berjalan cepat menuju kamar Bara untuk bersembunyi diruang rahasia, namun matanya menangkap satu roller blind di ruang tengah masih terbuka. Dia kembali berlari dan menarik ujung talinya.       Kakinya sempat terantuk kaki meja, karena tergesa-gesa untuk segera mencapai kamar Bara. Sampai di kamar, sesuai pesan Bara, dia mencari-cari tombol emergency yang ada dibawah meja juga remote pembuka pintu rahasia.       Begitu dia menekan tombol emergency, otomatis meja pantau itu terbalik dan menyembunyikan semua hal termasuk monitor, berganti dengan meja kerja biasa. "Keren tuh bocah, bisa bikin ginian." ucap Niana.      Dia lantas berlari sambil menekan remote kontrol, begitu pintu terbuka dia buru-buru masuk dan menutupnya kembali. "Kalau orang-orang itu masuk apa yang bakalan terjadi?" tanya Niana pada dirinya sendiri.      Dia terus memantau pergerakan mereka yang akhirnya berhasil masuk dari pintu belakang.      Orang-orang itu, menyebar dan salah satu dari mereka masuk kedalam kamar Niana. Sialnya di dalam kamar Niana, Bara tidak memasang cctv, mungkin untuk menjaga privasi Niana.      Mereka terlihat membahas sesuatu lalu masuk semua kedalam kamar Niana. Kemudian mereka keluar dengan salah satu dari mereka memasukkan sesuatu kedalam saku mantelnya. "Apa yang mereka bawa dari kamarku.." kata Niana.      Mereka terus berkeliling seakan mencari seseorang, memeriksa semua ruangan termasuk kamar Bara. Jantung Niana berdegup dengan kencang, yang memisahkan mereka hanyalah dinding ini saja. "Bagaimana jika mereka mengetahui tentang ruangan ini?" pikir Niana. "Nggak lah... aku percaya sama Bara, dia kan hebat." lanjutnya untuk menenangkan diri sendiri.       Karena merasa tidak menemukan sesuatu, mereka bertiga keluar. Masih memperhatikan rumah ini dari jauh, lalu masuk kembali ke Van mereka dan berlalu.       Niana berniat menelpon Bara, dia ingin mengatakan kalau baru saja ada beberapa orang masuk dan mengambil sesuatu dari dalam kamarnya. Namun dia mengurungkan niatnya karena suatu hal yang ada dipikirannya. --- Internasional Airport, 11.45      Bara berdiri bersama puluhan orang lain yang menunggu kedatangan sanak famili dari perjalanan jauh. Namun bara tidak sebahagia mereka. Alisnya bertaut, matanya menajam, dan tangannya berkeringat.      Dari jauh dia melihat sosok berkacamata dengan kemeja hitam yang ditekuk tiga perempat di lengannya. dia membawa sebuah tas kecil dan juga beberapa lembar portofolio seakan dia bertugas overseas dari kantornya.      Bara mengangkat menatapnya lurus, orang itu yang menyadari bahwa Bara yang akan menolongnya segera berbasa-basi sambil merangkulnya.       Dia lolos dari pengecekan petugas bandara. tak ada alarm yang berbunyi, Bara heran dimana pria itu menyembunyikan sabu seberat 200 gram itu.       Bara menyambut basa-basi orang itu lalu mengajaknya pergi. Dia mengantar pria itu ke sebuah titik pada GPS track yang dia terima beberapa saat yang lalu.       Sampai di tempat itu Bara membiarkan kurir itu turun dan memutar balik mobilnya. Namun dia tidak benar-benar pergi, serta merta dia memarkir mobilnya di depan sebuah minimarket. lalu kembali menyusuri jalanan untuk membuntuti mereka.       Sebuah bangunan gudang yang tak terpakai yang mereka gunakan sebagai tempat transaksi kali ini. Dia masuk perlahan namun sepi tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana, akhirnya dia masuk semakin dalam.       Betapa kagetnya saat dia masuk kedalam sebuah ruangan, yang sepertinya beberapa saat yang lalu digunakan sebagai ruang meeting ini, teronggok sesosok tubuh tak bernyawa lagi, yang tidak lain adalah pria yang baru saja diantar tadi, dia meninggal karena kehabisan darah, ada luka robek di perutnya memanjang dari atas kebawah. "Rupanya di dalam perut pria ini mereka menyembunyikan sabu nya."kata Bara. Bara mengusap wajah pria itu untuk menutup mata mengerikan itu. "Mereka pasti belum jauh dari sini." ucap Bara segera beranjak pergi, namun kakinya menginjak remah kacang polong yang tersebar di beberapa titik.        Ayah Bara adalah seorang penggemar kacang-kacangan, salah satunya kacang polong, dimana pun berada dan apapun yang dia lakukan selalu ngemil kacang polong. Dan saat melihat kacang itu, darahnya berdesir, pasti ayahnya yang telah menghabisi pria malang itu.        Dia menelpon polisi untuk melaporkan telah terjadi pembunuhan di sebuah gudang tua tak terpakai, dengan anonymous. Setelah polisi menerima laporan Bara, Bara segera bergegas pergi daru sana untuk mengejar lawannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN