Narendra 1
"Di... dia?" Suara Narendra terbata-bata saat bertanya pada seorang wanita yang kini menunduk.
Pertemuan tidak sengaja keduanya seolah adalah sebuah jawaban. Alina menghilang setelah mereka berpisah. Sosok perempuan yang kini berpenampilan layaknya ibu muda itu memang baru beberapa hari ada di kota ini. Kota yang pernah membuat sakit hati karena sebuah hubungan.
"Alina... jawab pertanyaanku?" Narendra tidak sabar menunggu jawaban keluar dari mantan mahasiswinya itu.
"Apa yang ingin kamu dengar?" tanya Alina justru menantang Narendra. "Semua sudah berlalu. Apa yang ingin kamu ketahui?" tanya Alina sama dengan pertanyaan awal.
Narendra menatap tajam ke arah perempuan yang kini juga menatapnya dengan tajam. Tatapan Narendra akhirnya sendu. Ia sadar, sejauh apa pun membuang nama Alina, tetap saja, nama itu yang akan menempati ruang di seluruh hati laki-laki itu. Namun, semua harus kandas begitu saja karena takdir.
Terlalu dini mengatakan takdir sebagai penyebab perpisahan mereka. Mereka hanya tidak menyadari jika saling mencintai satu dengan lainnya. Sakit. Terlalu sakit jika harus kembali terulang.
"Siapa anak ini?" tanya Narendra dengan suara parau.
Narendra jelas menahan tangis saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun itu. Wajah anak itu sama persis dengan dirinya pada saat usia yang sama. Ini bukan kebetulan yang dirancang oleh semesta dengan begitu hebatnya bukan? Narendra hanya ingin kebenaran keluar dari mulut Alina.
"Apa anak ini, anakku? Katakan Alina?" Suara Narendra memohon kali ini.
Entah berapa banyak luka, tangis, dan derita yang dialami Alina setelah perpisahan itu. Narendra harus menikahi perempuan lain--Soraya. Kelicikan wanita itu membuat semua hal berantakan. Bukan karena kalah restu, tetapi Alina kalah dalam permainan yang direncanakan oleh Soraya.
"Apa pentingnya jawaban itu, Narendra?" tanya Alina menantang laki-laki yang kali ini sudah berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Arkan.
"Penting. Karena malam itu kita...."Ucapan Narendra terhenti saat melihat anak yang berdiri di depannya itu mundur dan berdiri di belakang tubuh Alina.
"Jawabannya sudah jelas. Tidak ada hubungannya denganmu. Sudahlah, jangan membuang waktu lagi. Hubungan kita sudah selesai," kata Alina lalu menuntun Arkan.
"Satu langkah kamu berjalan, maka setelahnya tidak akan baik-baik saja. Aku tidak mengancam. Aku hanya berbicara kenyataan. Siapa anak itu?" tanya Narendra kali ini sudah berdiri.
"Apa pun itu, tidak penting untukmu. Anak ini tidak ada hubungannya denganmu. Satu hal, pastikan Soraya tidak tahu pertemuan ini. Dia bisa merancang banyak hal agar banyak orang celaka. Kepuasannya hanya itu saja," kata Alina dengan nada menghina.
Napas Narendra tercekat seketika. Ada satu perempuan lagi yang ada dalam hidupnya saat ini. Soraya--istri sah yang tidak pernah disentuhnya hingga detik ini. Pernikahan mereka sudah lima tahun, tetapi hambar. Hubungan mereka hanyalah sebatas suami dan istri di atas kertas.
Narendra tidak bisa menggugat cerai Soraya saat ini. Banyak pertimbangan, salah satunya keadaan sang ayah. Ayahnya--Hutama mempunyai hutang pada keluarga Soraya. Hutang yang sebenarnya hanya fiktif saja.
Narendra segera menuju ke kampus karena ada jadwal mengajar. Kali ini ia tidak fokus sama sekali. Pikiran laki-laki yang saat ini berusia tiga puluh tujuh tahun itu tertuju pada Alina. Wanita itu mendadak datang dalam hidupnya.
Kisah mereka sangat klasik. Alina dan Narendra terjebak dalam hubungan tanpa status. Namun, hubungan itu mulai dekat ketika ada rasa saling mencintai. Narendra adalah seorang dosen dan Alina mahasiswi yang memberontak. Hanya Alina yang berani menentang semua kebijakan Narendra kala itu.
"Pak Rendra... maaf, pertanyaan saya belum dijawab," kata salah satu mahasiswa yang saat ini melambaikan tangan dari kursi deretan tengah.
"Apa bisa diulangi pertanyaannya?" tanya Narendra sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari mahasiswanya.
Hening, banyak mahasiswa dan mahasiswi saling tatap. Mereka tidak pernah mendapati Pak Narendra Hutama dalam keadaan melamun. Bahkan, mata kuliah kali ini terasa hambar. Tidak bernyawa seperti sebelumnya. Entahlah, Narendra juga sibuk menetralkan mimik wajah.
Alina dengan segala ceritanya masih tersimpan rapat dalam hati yang paling dalam milik Narendra. Ruangan ini, pernah menjadi saksi bahwa kisah mereka pernah ada. Ya, ruangan ini juga tempat kuliah Alina. Pertemuan mereka tadi membawa kenangan yang tidak akan pernah hilang.
"Pak...." Lagi dan lagi, suara itu membuat Narendra terkejut di dalam kelas ini.
Embusan napas Narendra terdengar berat. Beban itu sangat berat jika dipikul seorang diri. Salahnya di mana? Jika boleh memilih, ia tidak ingin berada di posisi awal.
"Bapak baik-baik saja? Sejak tadi, Bapak hanya melamun. Apa kuliah ini akan berlanjut?" Seorang mahasiswi bertanya dengan nada lantang tanpa takut sedikit pun.
"Maaf, hari ini saya kurang sehat. Sebenarnya kuliah ini ingin saya kosongkan, tapi minggu depan tidak bisa mengganti jam kuliah. Jadilah, saya nekat mengisi kuliah ini. Saya minta maaf. Pertanyaannya tadi apa?" Kedua kalinya Narendra bertanya.
"Apa fungsi dari penangkapan dan/atau penahanan dalam penyidikan suatu tindak pidana? Apakah tindakan itu memang diperlukan? Mengingat, saat terjadi aksi demonstrasi kemarin banyak penangkapan dan penahanan yang tidak tepat." Pertanyaan itu kembali diulang oleh salah satu mahasiswa.
"Baik. Bagus sekali pertanyaan itu. Kalian meng-update berita. Saya senang dengan pertanyaan itu. Namun, perlu kalian sadari keadaan hukum di negara kita sedang tidak baik-baik saja dalam tanda kutip." Narendra menjeda setiap kata yang akan menjadi kelanjutan dari penjelasannya itu.