Narendra 2

933 Kata
Rutinitas Narendra tidak ada perbedaan sama sekali sejak dulu. Dosen, profesi yang konon mentereng, tetapi banyak menimbulkan kontra dan pro. Narendra salah satu dosen di Fakultas Hukum salah satu universitas swasta di Jakarta. Namanya pun cukup diperhitungkan oleh banyak pihak. Sejak dulu, Narendra hanya mengajar di kampus lalu pulang. Meski status sudah berbeda, tetapi tetap saja, laki-laki itu menjadi primadona di kampus ini. Narendra sudah menikah, tetapi hanya pernikahan di atas kertas. Tak banyak yang tahu, karena Narendra menutup rapat kehidupan pribadinya. Narendra menjadi pribadi yang tertutup semenjak kisahnya bersama Alina kandas di tengah jalan. Sudah menjadi rahasia umum, rumor itu akan ada di setiap cerita. Mahasiswa setiap angkatan yang berbeda pasti akan mendengar kisah manis itu. Sayang, kisah itu harus kandas. Akhir-akhir ini semangat belajar mahasiswa dan mahasiswi di kampus ini tidak pernah padam. Mereka akan selalu kembali dengan pertanyaan baru. Semangat itu pernah dikobarkan oleh seorang Alina. Mahasiswi angkatan delapan yang tahun lalu. "Sebelum saya lanjutkan menjawab, adakah yang ingin menjawabnya?" tanya Narendra menguji seberapa jauh peserta didiknya itu belajar. "Dari saya, Pak." Salah satu mahasiswa itu mengangkat tangan kanan. "Kadang para petugas, maksud saya polisi kadang hanya asal tangkap. Setelah menjadi korban salah tangkap, mereka tidak akan baik-baik saja. Polisi juga tidak akan meminta maaf. Jadi, tidak ada fungsinya penahanan itu. Justru hanya menjadi trauma hebat saja," katanya lagi dengan penuh percaya diri. Narendra tersenyum lebar, diskusi kali ini sangatlah hidup. Sama seperti dengan diskusi dari mahasiswa tahun-tahun sebelumnya. Mereka lebih melek belajar dan perkembangan masalah hukum. Tidak ada yang salah dengan perubahan itu. "Ada yang ingin menambahkan?" tanya Narendra bukan melempar tanggung jawab pada mahasiswanya itu. "Saya, Pak. Menurut saya, polisi atau pihak berwajib tidak salah juga. Mereka bekerja dengan sistem seperti itu. Pendemo, kadang keterlaluan. Mereka menangkap dan menahan karena sebuah tindakan yang kriminal dan bahkan cenderung sebagai pemicu kekacauan. Penyidik berhak melakukan tindakan penangkapan atau pengekangan sementara hanya jika sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pada masa ini, penyidik akan mengumpulkan banyak bukti sebagai acuan nantinya sesorang bisa bebas atau menjadi terdakwa. Semua dilakukan dengan prosedur hingga persidangan tiba." Jawaban itu membuat Narendra terdiam seketika. Tidak salah dengan jawaban itu, tetapi cara mahasiswanya menjawab sangatlah percaya diri. Salah dan benar dalam diskusi bukan masalah besar. Mereka adalah calon penegak hukum dan mungkin nantinya ada pengacara hebat yang lahir dari kelas ini. Narendra lantas tersenyum lebar. "Benar dan tepat sekali, penangkapan dan penahanan itu jelas diperlukan dalam sebuah kejadian. Adapun tentang caranya diatur dalam sebuah KUHAP. Perbedaannya, penangkapan dilakukan pihak berwajib sebagai upaya pengekangan untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan. Sedangkan, penahanan itu sendiri adalah sebuah tindakan yang dilakukan pihak berwajib khususnya penyidik dengan menempatkan tersangka di tempat tertentu hingga gelar sidang." Narendra tersenyum setelah menjelaskan. "Ada yang ingin ditanyakan lagi? Sebelum kuliah ini berakhir, saya ingin menginformasikan dua hal. Pertama, tugas dikumpulkan sebelum hari Senin tidak ada protes. Kedua, TAS dilakukan minggu depan secara online dan open book. Saya tidak di kampus karena ada tugas," kata Narendra sambil menutup buku. Mahasiswa Narendra berkasak-kusuk. Mereka ingin tidak setuju, tetapi tidak berani. Tes open book, sama saja dengan bunuh diri. Tidak akan ada jawaban dalam buku catatan. Semua mahasiswa dan mahasiswi harus pandai memakai logika mereka. "Baik. Jika tidak ada pertanyaan, kuliah ini saya akhiri." Narendra merapikan semua perlengkapan mengajar dengan cepat lalu gegas keluar dari kelas. Narendra tidak kembali ke ruangan kerja. Ia segera menemui salah satu rekan kerjanya dulu. Detektif. Ya, ia akan menemui sosok Andri. Narendra ingin tahu di mana keberadaan Alina dan siapa anak itu. "Ren... sudah tahu kabar baru? Alina ada di kota ini. Dia bekerja sebagai asisten pengacara." Suara Akbar membuat langkah Narendra terhenti seketika. "Kamu tahu?" Narendra kali ini membalik badannya. "Ya, Keenan yang bilang. Dia baru saja menemui Alina. Rumah sakit tempatnya bekerja butuh bantuan pengacara," kata Akbar membuat perasaan Narendra tidak menentu. "Sejak kapan Alina datang?" Bukan pertanyaan, tetapi tuduhan untuk Akbar seolah tahu jika Alina ada di kota ini. Akbar mengerjab beberapa kali. Tidak paham ke mana arah pembiracaraan Narendra kali ini. Ia bahkan belum bertemu dengan Alina sama sekali. Keenan-lah yang memberi kabar tentang keberadaan Alina di kota ini. "Katakan!" Nada bicara Narendra sudah naik dua oktaf kali ini. "Sabar. Aku belum bertemu Alina, Ren. Keenan yang kasih kabar. Jadi, seharusnya kamu tanya sama Keenan," kata Akbar tidak ingin meladeni emosi sahabat karibnya itu. Narendra jelas tidak mau menemui Keenan. Ia sudah kalah telak dari laki-laki yang tak lain sepupu Akbar. Mereka bersaing untuk mendapatkan cinta Alina. Sayang, kesempatan emas itu dilepaskan begitu saja oleh Narendra. Menyesal? Tentu sudah terlambat. Keenan bukan orang baru bagi Narendra. Mereka saling kenal, tetapi untuk masalah hati Narendra tidak akan menyerah. Ia akan perjuangkan menjadi pemenang hati Alina. Namun, masalah datang bertubi dan uang bukan penyelesaiannya. "Kamu sudah ketemu Alina?" Narendra terkejut mendengar pertanyaan itu. "Keenan yang bilang," lanjutnya dengan nada hati-hati. "Bisa kamu beritahu di mana Alina berada? Aku ingin bertemu dia dan anakku," kata Narendra membuat Akbar terkejut. "A-anak siapa yang kamu bahas?" Akbar jelas tidak paham. Akbar tidak tahu sama sekali tentang anak. Lima tahun lalu, kisah sang sahabat berakhir tragis. Bukan cinta tanpa restu orang tua. Kisah mereka hancur karena orang ketiga. Kisah yang seharusnya masih ada hingga sekarang. Namun, lagi dan lagi, takdir tidak berpihak pada mereka. Soraya datang dan membuat kekacauan yang luar biasa. Kisah mereka kandas dan seolah tidak saling kenal. "Anak?" Narendra menyadari satu hal, Akbar tidak tahu banyak. "Ah, tidak, aku hanya asal saja. Lupakan saja," kata Narendra menyadari kesalahannya. Narendra gegas meninggalkan Akbar saat ini. Ia tidak mau terpancing lagi. Tujuannya satu, mencari tahu siapa anak itu. Kesempatan langka ini harus segera didapatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN