Narendra 3

801 Kata
Setelah berdiskusi lama dengan sahabatnya yang seorang detektif--Andri. Namun, kali ini Andri menolak menolong Narendra. Alasannya sudah jelas, Soraya. Mereka saling kenal dan jika tiba-tiba ada informasi penting, pastilah Soraya akan mencarinya. "Kamu menolak karena Soraya? Oh, ayolah, dia tidak akan terlibat dan tidak akan membuatmu dalam bahaya. Ini hanya urusan kita berdua, An. Aku mohon." Narendra menangkupkan kedua tangan di depan d**a. "Aku hanya ingin tahu tentang kebenaran itu," kata Narendra dengan suara parau. Dulu, sebelum berpisah, beredar jika Alina tengah hamil. Namun, berita buruk yang beredar anak yang dikandung Alina adalah anak kandung Keenan. Narendra kala itu tidak langsung percaya. Namun, kebenaran yang tercipta dengan rencana licik seseorang telah menutup mata seorang Narendra Hutama. "Anak Alina sudah jelas anak Keenan, Ren. Tidak ada lagi yang perlu kamu curigai. Alina datang ke sini juga untuk membantu Keenan. Dia tidak akan datang jika tanpa alasan. Kamu tahu itu sejak awal bukan?" tanya Andri berusaha tenang. "Tapi, kenapa wajah anak itu mirip aku saat usia yang sama?" Andri terkekeh mendengar ucapan Narendra. "Maaf, bukan menertawakan pertanyaan kamu. Tapi, wajah anak kecil memang rata-rata akan berubah-ubah hingga dewasa. Jadi, sudahlah, tutup masalah lama itu. Tidak semua masalah harus aku pecahkan, Ren. Aku tahu, ini berat buat kamu, tapi terimalah. Semua sudah berakhir," kata Andri yang tidak ingin lagi berdebat dengan Narendra. Embusan napas kasar disertai kepulan asap rokok keluar bersamaan dari mulut Narendra. Laki-laki itu masih betah duduk di salah satu kafe di Jakarta setelah pulang dari rumah Andri. Ia masih percaya, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Wajah anak laki-laki yang dibawa Alina jelas bukan kebetulan. Narendra merogoh saku celana, mengambil dompet. Ia membuka benda berbentuk persi panjang itu perlahan. Sebuah foto lalu dikeluarkan. Foto itu adalah gambar miliknya saat berusia lima atau enam tahun. 'Wajah ini sama persis dengan anak itu. Lantas mengapa harus berbohong, Lin?' Narendra bertanya pada diri sendiri tanpa tahu apa jawabannya. Malam semakin larut, pukul dua dini hari. Telepon genggam milik Narendra bergetar. Satu panggilan masuk. Soraya--sang istri menghubunginya kali ini. "Halo, Mas, kamu di mana? Aku ke kampus tadi, tapi kata orang-orang kamu sejak sore kamu sudah pulang." "Ada urusan apa?" "Mas, aku ini istrimu. Wajarlah kalo pengen tahu kamu di mana." Narendra mengembuskan napas kasar. Kehidupannya tidak lagi bahagia penuh tawa. Tidak lagi seperti saat masih bersama Alina kala itu. Saat ini, Narendra lebih banyak menjadi pendiam dan penyendiri. "Mas, kamu ke club malam?!" Nada bicara Soraya sudah naik satu oktaf saat ini membuat Narendra geram. Pernikahan mereka hanya sandiwara saja. Narendra juga tidak bisa menceraikan Soraya karena sang papa. Perusahaan Hutama berhutang banyak pada perusahaan keluarga Soraya. "Mas! Kamu masih dengar? Atau aku susul? Kamu di club mana?" Narendra semakin geram. Ia mematikan sambungan telepon itu lalu gegas pulang. Masalah tidak akan berhenti jika meladeni Soraya. Wanita itu bukan mencintainya, tetapi hanya obsesi. Butuh waktu setengah jam bagi Narendra agar bisa sampai ke rumah. Ia lantas membuka pintu gerbang lalu kembali naik ke mobil. Rumah ini sepi seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Narendra mengembuskan napas panjang sebelum turun dari mobil. "Kamu kenapa tidak balas pesanku?!" Baru saja masuk ke dalam rumah, Narendra sudah menerima bentakan dari Soraya. "Kamu tahu, 'kan? Aku sangat khawatir!" bentak Soraya yang kali ini mendekat ke arah Narendra. Narendra tidak menjawab apa pun pertanyaan perempuan itu. Ia langsung menuju ke ruang kerja. Mereka sudah lama menikah, tetapi tidak pernah tidur satu ranjang. Narendra merasa jijik dengan Soraya. Pernikahan ini juga untuk menutup aib Soraya. Narendra berkorban sangat jauh dan besar. Ia bahkan mengorbankan perasaannya pada Alina. Namun, keluarga Hutama seolah menutup mata. Mereka butuh, dalih yang selalu dipakai. Usai membersihkan diri, Narendra duduk di ujung kasur. Ia mengingat setiap keping kebersamaannya bersama Alina dulu. Sesekali Narendra tersenyum, mereka seperti kucing dan tikus. Ada saja masalah yang membuat mereka marah, tetapi langsung berbaikan kembali. "Mas, mau makan?" Ketukan pintu di luar membuat Narendra terkejut dan buyar, tetapi enggan membuka pintu. Ketukan dan suara itu akhirnya hilang. Narendra kembali mengingat kenangannya bersama Alina. Hubungan mereka bukan sekadar pacar kontrak, tetapi lebih dari itu. Ya, Narendra mencintai Alina pun sebaliknya. "Ini yang pertama buat kamu, Sayang? Terima kasih," kata Narendra kala itu setelah mereka melakukannya di satu malam yang tak terduga. Anggukan Alina sudah menjadi bukti, Narendra-lah yang mendapatkan Alina untuk pertama kalinya. Tidak ada paksaan atau ancaman apa pun. Alina melakukannya dengan penuh kesadaran. Ia juga mencintai sosok dosen yang sering kali membuat naik pitam. "Mas... rahasiakan ini, aku nggak ingin...."Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Narendra sudah membungkam bibir Alina dengan bibirnya. "Kamu hanya perlu diam, kita nikmati saja malam ini," jawab Narendra seketika membuat Alina memejamkan mata. Mereka lalu melakukannya lagi hingga pagi. Padahal, hubungan mereka dikampus tidaklah baik seperti layaknya mahasiswi dan dosen. Hubungan mereka seperti musuh antagonis dan Alina adalah korban. Beginilah kisah mereka 6 tahun yang lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN