"Kamu bisa tidak serius di mata kuliah yang saya ampu?" Narendra sudah kehabisan kesabaran saat menghadapi salah satu dari sekian mahasiswi.
"Saya sudah berusaha serius, Pak. Tapi, mau bagaimana lagi, otak saya tidak sampai. Saya nggak paham sama sekali penjelasan, Bapak." Alina tampak santai menyampaikan keluh kesahnya pada Narendra.
Embusan napas kasar Narendra mengenai wajah Alina. Alina mundur dua langkah dari tempatnya berdiri. Ah, ya, mereka dosen dan mahasiswi yang saling bermasalah. Masalah itu bukan ada di Alina, tetapi Narendra.
Narendra Hutama, sosok dosen berusia tiga puluh lima tahun dikenal karena sikap yang terlalu perfeksionis. Mahasiswa dan mahasiswi banyak yang mengeluhkan sikap Narendra selama ini. Namun, keluhan itu hanyalah angin lalu.
"Kalo tes tengah semester nilai kamu jeblok, saya tidak akan memberikan remedial," kata Narendra yang hanya dijawab dengan senyuman manis oleh Alina.
"Tenang saja, Pak, saya juga nggak minta. Lagian ngapain? Toh, sama saja. Remedial justru lebih sulit daripada saat tes." Alina langsung meninggalkan Narendra yang diam membeku di tempatnya.
Tidak seperti mahasiswi lain, Alina pantang mengemis nilai pada sosok dosen yang dianggap dajal oleh semua orang. Hanya Alina saja yang tampak santai di depan Narendra. Padahal, mahasiswi lain sudah pasti menangis mendengar ucapan tajam disertai ancaman dari Narendra. Alina, justru sebaliknya--tidak peduli.
"Tunggu, berani keluar dari ruanganku, kamu tidak boleh lagi masuk ke kelasku besok." Narendra mengancam Alina dengan nada dingin membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
Narendra tersenyum tipis karena berpikir ancamannya berhasil. Belum ada mahasiswa atau mahasiswi yang berani padanya. Narendra bukan laki-laki m***m, tetapi kolot. Ia selalu berpikir jika setiap orang harus patuh padanya.
"Baguslah. Jadi, saya nggak perlu capek-capek lagi bangun pagi. Saya bisa ke kampus jam kuliah siang saja," kata Alina tanpa berbalik badan sedikit pun.
Narendra terkesiap mendengar jawaban Alina. Mahasiswinya tampak berjalan tanpa beban sama sekali. Seolah ada kelegaan tersendiri setelah tidak diizinkan masuk ke dalam kelasnya. Narendra tidak bisa terima itu.
Alina pun segera ke kantin. Perutnya lapar karena berdebat dengan dosen gila itu. Ternyata berdebat justru membutuhkan energi lebih banyak daripada memikirkan tugas jurnal atau tes tengah semester. Alina memesan seporsi jumbo mie ayam dan segelas besar es air putih.
"Laper banget, Bu?" tanya Sintia salah satu angkatan Alina yang saat ini ikut duduk.
"Iya. Astaga! Gila emang Pak Narendra! Aku cuma telat ngumpulin jurnal. Nggak ada lima menit loh telatnya, udah ngomel nggak jelas. Apa lagi pms tu orang, ya?" Alina tampak kesal saat membahas tentang Narendra.
Sintia kaget saat mendengar ucapan teman baiknya itu. Tidak ada yang berani menggunjing sosok dosen killer itu. Dinding di kampus ini bisa menyampaikan ucapan itu. Lihat saja besok, pasti Alina dalam masalah.
"Ssttt! Kamu jangan keras-keras bahas Pak Rendra. Kalo kena masalah gimana?" tanya Sintia ikut merasa takut saat ini.
"Emang udah dapat masalah. Aku nggak diizinkan masuk kelasnya lagi. Jadi, ngapain takut. Udahlah, nggak lulus mata kuliah ini juga aku nggak akan mati," kata Alina setelahnya menyeruput es air putihnya.
"A-apa kamu bilang?!" Sintia terkejut mendengar ucapan Alina. "Nggak usah gila kamu, Lin. Ini bukan perkara sepele. Mata kuliah ini diperlukan untuk syarat pengajuan skripsi besok," kata Sintia panik karena ulah sang sahabat.
"Skripsi? Masih lama. Ini masih semester empat. Masih satu setengah tahun lagi. Kalo ada semester pendek, aku akan kejar di sana. Toh, nanti beda dosen pengampunya," kata Alina enteng tanpa tahu kenyataannya.
Wajah Sintia mendadak pucat pasi. Alina tampak heran melihat wajah sang sahabat. Entahlah, apa mendadak kantin ini ada hantu atau semacamnya. Sebab, Sintia sangat penakut pada hal-hal mistis seperti itu.
"Kamu kenapa? Masih siang loh, ada setan emang?" tanya Alina setelahnya mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan seporsi mie ayam jumbo.
"Lina, kayaknya aku mau ke perpustakaan dulu. Aku mau ngadem," kata Sintia tanpa menjelaskan apa pun pada Alina.
Alina langsung menyantap seporsi mie ayam jumbo itu tanpa melihat ke arah sekeliling. Ternyata ada beberapa teman dekat Narendra yang sejak tadi memperhatikan Alina. Alina sibuk dengan makanannya. Mengisi perut jauh lebih penting jika dibandingkan melihat sekeliling.
"Kamu mahasiswa semester empat?" tanya perempuan yang entah sejak kapan sudah duduk di depan Alina.
"Ya." Alina langsung melanjutkan makanannya tanpa menawari perempuan itu.
Penampilan perempuan itu tampak sangat rapi berbeda dengan Alina. Alina lebih nyaman memakai kaos berkerah dan dipadu padankan dengan celana jeans. Itu sudah memenuhi standar kesopanan untuk mahasiswi yang berkuliah di kampus ini. Alina lantas mendongak menatap ke arah perempuan itu.
"Mbak ada perlu dengan saya?" tanya Alina yang saat ini menjeda suapan mie ayamnya.
"Tidak ada. Tapi, saya dengar kamu bermasalah dengan Pak Narendra?" tanya perempuan itu.
"Nggak. Saya nggak bermasalah dengan siapa pun. Kalo Pak Rendra merasa ada masalah, silakan dikonfirmasi pada beliau langsung." Alina menjawab santai pertanyaan perempuan itu. "Lagi pula, Anda kok gemar sekali menguping? Apa itu kelebihan Anda?" tanya Alina dengan nada pedas.
Perempuan itu terkejut. Soraya, salah satu asisten dosen yang sedang mengejar Narendra. Sosok Soraya terkenal dingin pada mahasiswa dan mahasiswi itu juga sedang menempuh jenjang pendidikan S2. Alasannya satu, agar setara dengan Narendra.
"Kamu tidak takut bermasalah dengan Pak Narendra?" tanya Soraya yang saat ini mulai dengan nada sinis.
"Kenapa harus takut. Pak Rendra makan nasi, juga makanan manusia lainnya. Pak Rendra juga masih menapak tanah kalo jalan. Kenapa harus takut? Beda cerita kalo Pak Narendra jalan udah nggak napak tanah. Makannya juga bunga melati dan semacamnya. Itu mungkin baru menakutkan. Lagi pula, Anda siapa?" tanya Alina yang memang tidak mengenal Soraya.
Mahasiswa senior tahu jika Soraya adalah mata-mata Narendra. Kadang informasi yang diberikan berlebihan. Sikap Narendra juga tidak berubah bahkan semakin menjadi. Tak jarang mahasiswa dan mahasiswi menjadi korban.
Banyak dari mereka tidak lulus dan kesulitan mengajukan skripsi atau tugas akhir. Narendra tidak pernah memberikan kemudahan pada orang lain. Egois, Narendra selalu melampiaskan masalah pada orang lain. Namun, Alina tidak bisa terima itu.
"Kamu?!" Tangan Soraya mengayun dan hampir mengenai wajah Alina.
Namun, tangan itu dicekal oleh seseorang. Soraya kaget saat melihat siapa pemilik tangan itu. Wajah perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu memerah. Entah memerah menahan marah atau malu yang luar biasa.
"Kenapa dihentikan? Biar saja tangannya sampai ke pipi saya. Saya mahasiswa Fakultas Hukum, sudah pasti akan menempuh jalur hukum untuk kekerasan yang dia lakukan," kata Alina membuat dua orang itu saling pandang.