BAB 5

1283 Kata
            Ciuman itu masih terasa di bibir Karenina. Cara Evan menciumnya benar-benar di luar dugaannya. Begitu memikat meski dia tak menginginkannya. Ciuman pertama yang Evan berikan padanya di tempat publik dinikmati puluhan pasang mata. Dan Karenina yakin Damian juga melihat ciuman itu. Karenina tak pernah bermaksud menyakiti Damian. Tak pernah sekalipun dia berniat melukai pria yang begitu mencintainya. Menggerutu atas hidupnya pun sudah tidak berlaku lagi.             “Buang gaun yang kamu kenakan tadi malam.” Evan muncul dengan jas dan tas kantornya.             “Kenapa?”                                               “Aku tidak menyukainya kecuali kalau kamu ingin membuatku menyentuhmu.”             Karenina menatap bola mata gelap Evan.             “Aku tidak akan mengenakannya lagi. Tidak perlu dibuang, kamu membelinya dengan harga tinggi.” Karenina berpura-pura sibuk dengan peralatan makan.             “Mungkin saja kamu mengenakannya lagi nanti di depan Damian.”             Karenina tidak tahu apa isi otak Evan. Dia mengatakannya seakan Karenina adalah w*************a. Bahkan Damian tak pernah menyentuh tubuhnya sekalipun.             “Aku bukan w************n, Evan!” kali ini Karenina benar-benar marah. Dia benci ketika Evan terus-terusan mencemoohnya. Sejak tadi malam, tak pernahkah terpikir oleh Evan kalau Karenina sangat terluka dengan setiap perkataan yang menyudutkannya.             Evan tidak menjawab. Dia hanya menatap Karenina dengan tatapan dingin yang menusuk. Seakan semua kegelapan berada di pusatnya di kedua bola mata gelap Evan.             “Aku akan menghancurkanmu kalau sampai aku melihatmu dengan Damian lagi. Aku tidak akan segan-segan untuk membawa kakakmu ke dalam lubang kesengsaraan. “Aku bisa melakukan itu dengan mudah, Karenina. Ingat itu.” Evan mengatakannya dengan nada rendah namun terdengar sangat mengerikan di telinga Karenina. ***             Entah kenapa Evan merasa takut jika Karenina bertemu lagi dengan Damian. Ketakutan-ketakutan yang menyelimutinya membuat Evan seakan ingin melampiaskan semua amarahnya pada Karenina. Evan takut Damian membawa pergi Karenina. Seharusnya bukan ketakutan semacam ini yang menghantuinya. Kalau pun iya Karenina pergi itu bukanlah masalah besar bagi Evan. Dia masih bisa membalaskan dendamnya langsung pada kakak Karenina itu.             Roger datang dengan ekspresinya yang selalu kaku. “Tuan, Damian bilang dia bisa bertemu dengan Anda siang ini juga.”             Evan mengangguk. “Cari tempat sepi untuk pertemuanku dengan Damian.”             “Baik,” Roger mengangguk dan melesat pergi mencari tempat untuk pertemuan dua pria dewasa itu.             Roger selalu patuh dan tidak banyak bertanya tentang urusan pribadi Evan. Baginya dia hanya bekerja untuk melayani Evan. Melayani putra dari orang tua yang memberikannya sekolah gratis dari SD hingga kuliah. Dia selalu ada untuk Evan. Perasaannya bukan hanya sebatas antara bawahan dan karyawan tapi lebih dari itu. bahkan Roger berjanji dalam pusara ayah Evan kalau dia akan menjaga Evan dan terus membantu Evan dalam segala hal. Roger menganggap Evan seperti menganggap adiknya sendiri. Sayangnya, Evan tak pernah menganggap Roger kakaknya. Roger hanyalah seseorang yang dibantu keluarganya dan sudah semestinya dia mengabdi pada Evan. Itu pemikiran Evan.             Selang beberapa jam pertemua itu pun terjadi. Mereka bertemu di ruang kerja Evan. Menurut Evan setelah Roger menemukan tempat yang cocok untuk pertemuan mereka, lebih baik dia bertemu Damian di ruang kerjanya sendiri. Sekaligus memamerkan betapa kayanya Evan dibandingkan Damian yang hanya memiliki perusahaan dengan nilai saham yang tidak menentu.             Damian—seperti biasanya. Pembawaannya tenang, hangat dan menyenangkan. Rambutnya yang tebal dengan wajah mulus menawan sukses membuat Evan berpikir kalau Karenina tentu saja masih mencinta pria bermata sendu itu.             “Halo, Evan.” Damian mengulurkan tangannya yang hanya ditanggapi dengan senyuman kecut Evan.             Damian kembali menarik tangannya dan mulai bersikap seperti Evan bersikap padanya. Tadi malam wajah Karenina memang begitu cantik tapi Damian tahu dari sorot mata Karenina kalau dia tertekan. Dia tertekan hidup bersama Evan. Damian ingin kembali memiliki Karenina. Membahagiakan wanita kesayanagnnya karena yakin kalau Karenina bersamanya, wanita itu pasti akan hidup dalam kebahagiaan.             Untuk apa kamu mengundangku kemari?” tanya Damian dengan gaya elegan seorang pria dewasa.             “Memperingatkanmu untuk menjauhi istriku.” Setiap perkataan yang meluncur dari kedua daun bibir Evan mampu menggetarkan nyali siapa pun tapi tidak dengan Damian.             “Aku hanya menyapanya. Meluapkan kerinduanku pada kenangan-kenangan indah antara aku dan Karenina.”             “k*****t!” Evan mulai bereaksi. Wajahnya berubah dari dingin ke angker.             Damian menanggapi umpatan Evan dengan tersenyum santai.             “Jangan pernah ganggu Karenina lagi. Dia milikku.” Matanya menatap tajam mata sendu Damian.             “Selama aku masih hidup aku akan selalu menghantuimu, Evan. Karenina masih mencintaiku.” Damian menatap Evan dengan tatapan seorang pria yang tersakiti karena kekasihnya diambil dan dijadikan istri pria lain dengan paksa. “Kami saling mencintai.” Damian mengatakannya dengan keseriusan yang berasal dari dalam relung hatinya. Selalu meyakini bahwa dia dan Karenina masih dan akan tetap saling mencintai.             Evan nyaris menarik kerah kemeja Damian kalau saja dia dan Damian berada di tempat lain selain kantornya. “Aku bisa melakukan apa pun yang kumau termasuk menghancurkan perusahaanmu. Kamu tahu siapa aku.”             “Ya, semua orang tahu siapa kamu. Tapi, kamu juga perlu tahu siapa aku.” Damian bangkit. Dia merapikan jas abu-abunya. Tersenyum menantang pada Evan lalu pergi meninggalkan Evan.             Evan menelan ludah.                                                                         ***             “Siapa Mr. Nekles?” tanya Karenina saat Evan memintanya untuk kembali menemani Evan ke sebuah pesta yang dihadiri Damian. Evan sengaja membawa kembali Karenina untuk membuat Damian semakin kepanasan dengan sebuah penegasan kalau Karenina milik Evan dan semua orang di Bumi ini perlu tahu itu. Dia berniat akan selalu membawa Karenina di berbagai undangan termasuk peluncuran produknya kelak dan Evan telah memutuskan untuk tidak memakai Abigail sebagai brand ambasador produknya. Dia tidak ingin Abigail membuatnya makin kacau apalagi akun gosip anonim yang jelas akan membuat berita mengada-ngada demi menambah followers dan pemasukan mereka dari gosip k*****t yang beredar.             “Paman dari Damian.” Evan menyeringai keji.             Karenina ternganga sejenak. “Tidak. Aku tidak mau ikut.” tolak Karenina.             “Harus.” Evan menatap tajam sekaligus dingin istrinya itu.             “Aku tidak mau!” ada kilatan emosi yang terbaca dengan jelas di mata Evan.             “Kamu takut kalau aku kembali melakukannya?” Evan semakin terpancing.             “Evan, aku mohon, aku—“             Evan menarik Karenina dan menjatuhkannya ke ranjang. Dia tidak tahu kekuatan macam apa yang dilakukannya pada Karenina. Dia tidak bisa menyakiti wanita itu secuil pun. Tapi Karenina malah membuatnya semakin ingin melakukan yang tidak seharusnya dia lakukan.             “Evan kamu mau apa?!” Karenina tampak ketakutan saat Evan mengambil sebuah pistol di dalam saku celananya dan menghadapkannya pada Karenina yang mencoba bangkit dari atas ranjang. Kedua daun bibir Karenina terbuka lebar.             “Aku bisa melakukannya, Karenina. Aku bisa membunuhmu dan membuatmu mati sepeti kakakku.” katanya dengan nada datar dan tanpa mengalihkan pandangan dari Karenina sedetik pun.             Karenina menelan ludah.             “Kalau kamu tidak mau aku tidak akan datang ke pesta itu. Kedatanganku ke sana hanya untuk membuatmu melihat kekasihmu menderita dengan kemesraan yang aku tunjukkan. Hanya itu tujuanku. Kamu tahu, dia menantangku, Karenina. Aku tidak suka ditantang seperti itu dan aku yakin dia akan hancur.” Evan berbalik dan pergi dengan pistol yang masih berada di atas tangannya.             Bagaimana bisa Karenina pergi dari rumah ini sedangkan Evan bisa dengan mudah membunuhnya, kakaknya, ibunya bahkan Damian.             Evan berdiam diri seraya menatap langit gelap lewat jendela. Dia menyesal kenapa dia membuat Karenina ketakutan seperti itu. Dia menyesal karena dia belum bisa menjinakkan Karenina sepenuhnya. Dia menyesal karena entah kenapa selalu seperti ada keinginan untuk memeluk dan mencium Karenina. Bahkan lebih dari itu.             Evan mengambil minuman beralkohol di dalam kulkas. Dia menenggaknya hingga air dalam botol itu habis. Malam ini terasa kacau baginya. Seperti ada dua jiwa yang berselesih di dalam dadanya. Evan mengerutuki dirinya sendiri.             Karenina mengunci pintu kamarnya. Dia memilih membaringkan diri di atas ranjang dan memejamkan mata mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi. Ketakutan itu masih ada dan keinginan untuk keluar dari rumah Evan begitu kuat. Tapi dia harus bertahan demi ibu dan kakaknya. Demi keselamatan ibu dan kakaknya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN