Karenina membalikkan tubuhnya.
Dia memunggungi Damian.
Damian kecewa. Tapi tak mengurangi kebahagiaannya melihat wanita yang disayanginya itu baik-baik saja. Damian paham kalau sekarang Karenina bukanlah wanita single. Dia istri seorang pria muda yang pernah Damian lihat menghiasi majalah bisnis terkemuka. Pria muda yang dengan keambisiusannya selalu berhasil dalam bisnis. Pria muda yang memiliki dept store di beberapa negara. Damian tahu itu semua dan dia seketika merasa inferior dengan keunggulan Evan.
Damian menghampiri Karenina yang sendirian. Dia teramat senang bisa melihat wajah Karenina setelah perpisahan itu.
“Apa kabar?” sapanya hangat.
Karenina mengangkat wajah. Menatap mata cokelat cerah Damian.
“Damian....”
Damian tersenyum. Senyum kehangatan dan keramahan yang selalu diberikannya untuk setiap orang. Semua orang menyukai Damian, tidak ada alasan untuk membenci Damian.
“Aku senang bisa melihatmu lagi, Karenina.” Tatapan Damian menelusuri wajah cantik Karenina kemudian turun ke leher panjang yang seelegan leher angsa. Ada mantel yang menutupi bagian d**a Karenina. Karenina yang menyadari tatapan Damian menarik mantel itu lebih lagi ke arah dadanya.
“Penampilanmu luar biasa, Karenina. Aku tak pernah melihatmu seperti ini.”
Karenina menunduk malu. Pujian itu seperti sindirian baginya.
“Aku datang dengan Evan, kuharap kamu segera pergi sebelum Evan kesini.”
Damian menggeleng. “Aku tidak peduli dengan Evan, Karenina. Aku hanya peduli padamu.” Dia melangkah mendekati Karenina yang matanya melebar melihat Damian seagresif itu. Damian tidak seperti itu. Ini bukan Damian. Dan jika Evan melihat ini, Evan mungkin akan membuatnya lebih sengsara lagi.
“Damian,” gumam Karenina mencoba menahan pria itu agar tidak semakin mendekat di tengah alunan musik manis.
Damian menjulurkan lehernya mendekati telinga Karenina. “Aku mencintaimu.” bisiknya. “Masih mencintaimu, Karenina.” bisiknya lagi.
Bulu di tengkuk Karenina meremang. Damian mengatakannya dengan apa adanya tapi kalimat itu berhasil menyihir Karenina hingga membeku beberapa saat seperti sebuah senjata yang menembakkan perasaan sedih campur haru yang menyakitkan.
Mereka kembali saling bersitatap. Entah kenapa mata cokelat Damian berkilat menyakitkan di mata Karenina. Seakan dia telah begitu melukai hati Damian. Meski tak pernah Karenina melihat kebencian di mata Damian. Pria baik. Yang mencintainya begitu dalam hingga—Karenina tahu bahwa Damian belum dekat dengan wanita manapun.
“Semua sudah usai, Damian. Semua sudah berlalu. Aku bukan Karenina yang dulu.” Karenina mengatakan kalimat yang bertolak belakang dengan keinginannya.
Semua belum usai. Semua belum berlalu. Aku masih menjadi Kareninamu yang dulu.
“Rasanya begitu lama berjumpa lagi denganmu setelah perpisahan yang kamu minta. Seperti ratusan abad.” Damian tersenyum miris. Dia membayangkan dirinya yang menunggu untuk melihat Karenina di balik pagar rumah Evan.
“Pria macam apa yang berani mendekati istri pria lain.” Itu adalah sebuah pernyatan bernada tajam dari Evan. Tatapannya tajam menusuk Karenina saat matanya bersitemu dengan mata Evan.
“Evan,” gumam Karenina.
Evan menyunggingkan senyum sinis yang selalu tampak di wajah Evan saat dia mencemooh Karenian.
“Aku hanya berbincang dengannya.” Damian mundur selangkah.
“Oh tentu. Tentu saja hanya berbincang. Karenina istriku.” Dia menarik bahu Karenina hingga tubuh Karenina menempel pada Evan.
Damian mengangguk dengan senyum yang menyakitkan dan menciptakan rasa bersalah dalam diri Karenina.
“Ayo kita berdansa, Sayang.” Evan menarik Karenina sampai di depan panggung. Bersejajar dengan dua pasangan lain yang berdansa. Evan menarik mantelnya seakan ingin mempertontonkan keindahan tubuh Karenina di hadapan semua orang dan menunjukkan bahwa dia pemilik Karenina sepenuhnya di mata Damian.
“Apa yang—“ tanya Karenina saat mantel itu diberikan kepada seorang pelayan dan menyuruh pelayan tersebut meletakkannya di kursi kosong.
Karenina tahu dia menjadi pusat perhatian di sana. Bukan karena kecantikan dan gaunnya yang cukup transparan hingga Karenina merasa teramat malu, tapi juga karena dia adalah istri Evan. Para wanita iri karena Karenina bisa bersanding dengan Evan bahkan Karenina sempat mendengar bisik-bisik betapa beruntungnya dirinya. Para pria iri karena Evan memiliki istri yang bukan hanya sekadar cantik dengan tubuh indah tapi juga aura yang benar-benar menakjubkan.
Evan menarik tubuh Karenina dan matanya sempat bersitatap dengan Damian yang menatap adegan itu dengan terluka. Karenina bisa merasakan rasa panas dari tbuh Evan yang menekan tubuhnya.
“Kamu tampak tegang, Karenina.” komentar Evan sewaktu desakan gairah melandanya.
“Aku malu.” Karenina menunduk.
“Malu karena mantan kekasihmu melihatmu mengenakan gaun bermodel yang diciptakan untuk w************n?”
Karenina menatap tajam Evan.
“Lihatlah, Damian tampak begitu tersiksa melihatmu bersamaku.” Evan menunjuk Damian yang masih berdiri di sana dengan berusaha untuk tidak memperhatikan Karenina yang bersama Evan.
Karenina melihat Damian mengobrol dengan para wanita. Mengobrol dengan para wanita cantik mungkin bisa mengalihkan dari rasa sakit yang menderanya.
“Aku bisa melakukan lebih dari ini kalau aku melihatmu bersamanya lagi.” Evan meraih bibir Karenina yang ternganga.
Karenina hanya menyalahkan dirinya karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan kegilaan Evan yang memang berniat menyakiti dirinya dan Damian secara bersamaan.
***
Abigail melihat berita online yang menampilkan adegan Evan berciuman dengan istrinya. Dia ternganga. Bagaimana bisa pria itu menampilkan adegan seperti itu di publik? Seperti bukan Evan. Evan bukan tipe pria yang suka publisitas apalagi mencoba menarik perhatian media. Abigail membaca berita online itu dengan perasaan panas membara. Dia membanting ponselnya di atas kasur. Dadanya terbakar.
Dia cemburu.
Evan—pria yang sudah lama diincar menikahi wanita lain. Pria yang selalu menjadi obsesinya kini secara terang-terangan mengekspose keromantisan yang tidak bisa dianggap sepele. Abigail menarik-narik rambutnya dengan frustrasi.
“Bagaimana bisa aku membiarkan Evan terus bertingkah seperti ini kepadaku?”
“Dia tidak mencintaimu, Abigail.” ucap Rara dengan wajah geli karena aktrisnya gila.
Abigail menatap wanita 35 tahun itu dengan tatapan sengit. “Dia mencintaiku!” katanya keukeuh.
Rara hanya menggeleng. Itu hanya halusinasimu saja, pikirnya.
“Dia Cuma tidak siap untuk menjadi suamiku.” Abigail berkata seakan-akan itu adalah alasan nyata yang diluncurkan kedua daun bibir tipis Evan.
Rara tahu kalau kegilaan yang aneh mulai merenggut kewarasan Abigail. Wanita berkacamata itu memberikan Abigail jus jeruk.
Abigail meraih jus itu dan meminumnya dengan santai. “Suatu saat nanti aku yakin Evan akan memilihku. Aku hanya perlu bersabar. Ra, Karenina tidak secantik dan sepopuler aku. Siapa pria yang bisa menolak Abigail?” katanya pongah.
“Ya, tapi kamu harus sadar kalau mau bagaimanapun juga Evan adalah suami Karenina. Mencoba mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain itu dilarang, Abigail.” Rara berkata dengan nada menasehati yang seakan sudah tidak sabar untuk menjambak Abigail.
“Tapi aku mencintainya.”
“Tapi Evan tidak mencintaimu.”
“Ra!” pekik Abigail dengan wajah merah padam.
“Oke,” Rara mengangkat kedua tangannya seakan menyerah. Dia pergi meninggalkan Abigail yang terus menerus meyakini kehalusinasiannya.
“Hidup terlalu singkat untuk menderita.” Seulas senyum licik terukir di wajah cantik Abigail
***