BAB 3

1190 Kata
Damian menatap sendu pagar rumah mewah yang suram itu dari balik mobilnya. Rumah itu begitu sunyi, hampa dan kelam. Di sanalah pujaan hatinya tinggal saat ini, ralat, mantan kekasihnya—yang masih diinginkan Damian. Damian selalu menyempatkan diri melihat rumah suram itu setiap kali dia melewati jalan ini. Demi menuntaskan rasa rindunya pada Karenina. Wanita yang sangat dicintainya melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Wanita tangguh yang memilih keluarganya dibandingkan dirinya hanya karena dia tidak ingin Evan melukai ibu ataupun kakaknya barang secuil pun. Dan Damian menerima itu. Damian sempat menawarkan bantuan hukum pada Karenina, tapi wanita itu malah mengingatkan kekuasaan Evan. Bahwa hukum tak berlaku bagi Evan Rangga Wijaya.             Damian pria yang baik, tampan dan menakjubkan. Dia punya selera yang bagus. Memiliki kecerdasan luar biasa dan salah satu pria unggulan di dunia yang diyakini Karenina. Dan Karenina menyukai semua yang dimiliki Damian termasuk dengkurannya. Karenina pernah memergokinya tertidur di atas sofa dan pria tampan itu mendengkur. Dengkurannya malah membuat Karenina nyaman. Karenina memeluk Damian yang malah terbangun.             Dulu, hidup begitu indah meskipun hidup Karenina serba kekurangan. Dia tetap bahagia. Semua serba menakutkan saat Angga meninggal. Evan menikahi Karenina dan Shopia buronan Evan. Sebenarnya, Evan tahu di mana Shopia. Dia jelas punya banyak mata-mata. Tapi dia memilih menyiksa Shopia dengan membuat Karenina tertekan.             Lima belas menit berlalu dan Damian belum melihat Karenina. Ya, sejak Karenina membicarakan perpisahan tersebab dia akan menikah, Karenina selalu menghindari Damian. Rumah mewah itu dibatasi pagar besi yang menjulang tinggi seakan mencoba menyembunyikan isi dan pemiliknya.             “Asal kamu tahu Karenina, aku akan tetap mencintaimu. Suatu saat nanti, aku berjanji akan membawamu keluar dari rumah iblis itu. Dan kita akan hidup bahagia.” ucap Damian seakan pagar rumah itu adalah Karenina.             Damian menyalakan mesin mobilnya dan pergi masih dengan perasaan sedihnya. Kerinduannya pada Karenina sedikit terobat meskipun hanya dengan memandang pagar rumah mewah itu.             “Kamu pernah baca cerita Romeo dan Juliet belum?” tanya Karenina saat mereka berdua melewati bangunan-bangunan tua Jakarta.             “Sudah. Kenapa?” tanya Damian melirik kekasihnya.             “Emm, kamu suka cerita romansa dengan unsur menyedihkan yang membuat dua orang saling mencintai mati.”             Damian menggeleng. “Aku tidak suka. Aku suka cerita dengan kisah yang bahagia, Karenina. Eh, ngomong-ngomong kamu hari ini cantik. Sangat cantik.” puji Damian menatap Karenina intens.             Karenina terkikik geli. “Kamu hampir setiap malam memuji kecantikanku.”             “Aku tak pernah melihat wanita secantik dirimu, Karenina.”             “Bohong.”                                                                               “Sumpah. Kamu punya kecantikan klasik yang berbeda dari wanita-wanita lainnya. Aku suka itu.”             Karenina yakin kini wajahnya memerah seperti buah cherry. Dia selalu menyukai pujian yang diluncurkan bibir indah Damian. Pria ini adalah kekasihnya saat dia masih hidup dalam berkecukupan dan tetap memilih menjadi kekasihnya saat semua yang dimiliki Karenina lenyap. Damian dan cintanya pada Karenina tak pernah hilang bahkan ketika wanita itu memilih pria lain sebagai suaminya. Damian masih menunggu.             Di sini.             Di hatinya. ***             Gaun satin warna mauve on itu menempel di tubuhnya. Bahannya yang lembut menjuntai ke lantai bagai aliran sutra. Karenina menatap dirinya di balik cermin yang menampilkan sosok yang—seperti orang asing. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya, blush on merah muda, rambut yang di buat menyerupai kelopak bunga mawar, berlian asli buatan Perancis yang diberikan nenek Evan sebelum meninggal. Rasanya benar-benar asing. Seperti bukan dirinya.             “Cantik!” puji Claire—seorang stylish yang sering dipakai para selebritas. Evan meminta Claire memberi sentuhan make up untuk Karenina.             “Terima kasih.” balas Karenina sopan dan lembut.             “Beruntung kamu menikah dengan pria muda yang baik hati itu.” semua orang nyaris bilang Evan baik hati tapi bagi Karenina itu hanya semacam topeng. Evan tidak seperti yang orang-orang pikirkan.             Karenina hanya tersenyum sebagai balasan atas pernyataan Claire. Claire baru 35 tahun dan dia menikah dua kali. Dia merasa takjub pada Evan yang memang sulit untuk ditaklukan. Dia pernah mendengar tentang kenekatan Abigail mendekati Evan.             “Selamat bersenang-senang di rumah mewah miliuner muda.” Claire tersenyum sebelum meninggalkan Karenina.             Claire tersenyum pada Evan yang mengucapkan terima kasih dan mengantarnya sampai di depan pintu.             “Istrimu cantik sekali.” pujinya lagi dengan senyum terbaiknya.             Evan mengangguk seraya tersenyum. Jas hitam ketat yang dikenakan Evan membuat tubuhnya yang kekar terlihat jelas.             “Terima kasih, Claire.”             “Ya, sama-sama. Bye!” Claire melambaikan tangan dan masuk ke mobil disusul asisten pribadinya.             Evan membalas lambaian tangan Claire. Dia nyaris terkejut melihat Karenina yang berdiri di sampingnya. Dan lebih terkejut lagi karena Karenina tampil begitu memikat dengan gaun satin mauve on. Evan membiarkan tatapannya jatuh menyusuri bahu telanjang Karenina lalu turun ke d**a yang seakan mengundang para pria untuk berlabuh di sana.             “Kenapa kamu mengenakan gaun seperti itu?” tanya Evan dengan kilatan marah di matanya.             Karenina memperhatikan gaunnya dan dia menyadari betapa gaun itu memperlihatkan lekuk tubuh dan bagian d**a yang rendah. “Claire yang memilihkannya untukku. Ini gaun Claire. Dia bilang kamu mempercayakanku padanya.”             “Tapi bukan gaun seperti itu yang ingin aku lihat darimu. Seperti w************n yang mencari perhatian pria saja!” bentak Evan menatapnya tajam seakan menusuknya.             Karenina hanya terdiam dan memejamkan mata sesaat. Kalau malam ini dia mengenakan gaun seperti ini apakah itu salahnya? Bukankah Evan sendiri yang memilih stylish semacam Claire? Kenapa dia melimpahkan kesalahan pada Karenina? Mencemoohnya bahkan mengejeknya seakan dia memang ada untuk dijadikan bahan tatapan pria dan patut untuk dikatakan ‘murahan’.             “Lalu kamu mau apa? Mau aku mengganti gaun ini?” Karenina masih bersikap wajar. Dia tidak bisa menampilkan emosi pada pria yang selalu saja membuatnya ingin menghancurkan rumah ini dan seluruh isinya.             Evan masuk ke dalam rumah beberapa saat lalu dia kembali dengan tangan membawa sebuah mantel berwarna hitam. Dia melingkarkan mantel itu di bahu Karenina. “Jangan pernah lepaskan mantel ini. Aku tidak suka pria-pria di sana memandangimu dengan tatapan menginginkanmu.”             Sesampainya mereka di rumah mewah miliuner baru yang berusia masih sangat muda, Evan dan Karenina disambut dengan baik dan ramah. Evan menyalami dan berinteraksi dengan ramah. Sangat berbeda ketika dia di rumah. Pria dingin itu benar-benar seperti seorang psikopat yang bisa merubah diri. Tapi Karenina tak mengingkari pesona Evan yang luar biasa. Dia tampan dengan rahang kukuh. Rambut tebal hitam legamnya. Hidung mancung sempurnanya dan belahan bibir yang begitu memikat. Karenina mengerjapkan mata dan berhenti memandangi suaminya yang berbincang asyik dengan koleganya.             “Aku ke sana sebentar. Jangan kemana-mana.” kata Evan sebelum meninggalkan Karenina dengan para koleganya.             Karenina mengangguk.             Tatapannya menjalar ke segala arah. Memperhatikan wanita-wanita yang seperti telanjang dengan gaun tipisnya. Dengan segala kemewahan yang mereka pertontonkan. Pria-pria berjas yang begitu bergaya.             “Mau sampanye?” tanya seorang pelayan menawarinya.             Karenina menolaknya dengan menggeleg.             Rasanya berdiri di sini bersama dengan puluhan orang asing membuatnya merasa tidak nyaman. Karenina ingin kabur. Dia ingin berdiam diri saja di rumah dibandingkan harus berada di tengah-tengah kegilaan. Tanpa sengaja dengan rasa lelah luar biasa dan kepeningan yang mendadak hadir, matanya bersitatap dengan seorang pria berjas warna navy. Pria dengan seribu bayang-bayang indah. Pria yang dulu pernah mengisi hatinya. Pria yang entah bagaimana masih diinginkannya.             “Damian...”                      Damian melambaikan tangan padanya.             Karenina merasakan detakkan jantungnya yang begitu cepat sampai-sampai seakan detakkan jantung itu lenyap. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN