Bian membeli 30 box pizza ukuran besar. Sekarang pizza itu sudah terjejer rapih di ruangan. Anggota Corvus sudah duduk bersiap untuk menyantap makanan itu.
"Boss gue do'ain dapet istrinya montok." Celetuk Dirga dengan tatapan lurus ke arah pizza. Sedangkan Bian sudah melotot tetapi Dirga tetap fokus pada makanan itu.
Oka menepuk dahi adik kelas nya itu, "Si boss belom mau nikah. Mending do'ain gue biar cepet nikah. Biar bobo ada yang nemenin," ucap Oka dengan bayang-bayang halu nya.
"Mau dikasih makan apa anak orang. Mikir! Jangan tidur mulu makanya." Balas Dirga tajam.
HAHAHA!
Oke. Jangan tanya itu ketawa siapa.
Leo sudah memegang perutnya sambil tertawa kencang. Ujung matanya hingga ber-air.
Perdebatan itu jadi hal biasa. Bian si ketua geng hanya diam dengan sesekali terkekeh geli. Dia tipe yang santai tetapi ia tidak bisa memaafkan segala sesuatu tentang penghianatan. Dan berubah kejam jika berhadapan dengan musuhnya.
Mereka semua sedang menikmati lezatnya pizza. Bian juga memakannya sambil memainkan Handphone.
Uhuk, uhuk!
Dengan cepat ia merampas gelas yang berada di tangan Alta dan langsung meminumnya.
"Lah! Ngapa lo?" tanya Alta heran.
Bian diam sebentar sambil menatap teman-temannya yang memandang nya heran.
"Enjoy aja! Gue ada urusan." Kata Bian, lalu bangkit dari duduknya dan pergi dengan motor trail kesayangannya.
Ia pergi menemui Ivy di kafe. Bian sudah berdiri di depan kafe yang bernama Ruang Daisy itu. Ia membuka pintu lalu masuk kedalam.
Ia berdiri, matanya terus mencari keberadaan Ivy. Tetapi yang ia temukan hanya Megan, sahabat istrinya itu.
Megan berjalan menghampiri Bian, "Eh, Bian? Cari bini ya?" tanya nya dengan nada menggoda.
Bian mengangguk, "Ivy mana?"
"Bentar gue panggil dulu! Lo duduk aja di sana. Enjoy yaa!" Kata Megan sambil menunjuk arah meja yang kosong. Dan pergi ke dalam mencari Ivy.
"Vy!" panggil Megan. Ivy yang sedang fokus dengan laptopnya hanya berdeham menjawab Megan.
"Ada Bian diluar." Katanya, yang membuat jari-jari cantik Ivy berhenti mengetik.
"Serius?" tanya nya dengan mata membulat sempurna.
"Iya," balas Megan. Ivy buru-buru menghampiri Bian sebelum menghampiri suami nya itu ia memesan dua Milk Shake.
Ivy menghampiri Bian yang tengah duduk sambil memainkan Handphone.
"Kenapa?" tanya Ivy setelah mendudukan bokongnya di kursi.
Sebelum Bian menjawab, dua Milk Shake sudah tiba di meja nya. Ivy menyuruh Bian untuk minum terlebih dahulu.
Setelah Bian minum ia mulai berbicara, "Mamah mau kerumah!"
Byurr!
Uhuk!
Untung Bian menghindar. Kalau tidak wajah tampannya bisa kena sembur.
"Kalau mau ngomong yang ngagetin! Tunggu gue selesai minum kek." Katanya, dengan wajah kesal.
Ivy mengambil tissue untuk mengelap baju dan rok nya yang terkena semburannya tadi. Ia mengelapnya perlahan sedangkan Bian menunggu jawaban dari sang istri.
"Jadi?" tanya Bian sambil menatap Ivy.
Selesai mengelap baju dan rok nya Ivy menatap Bian, "Jam berapa?" tanya nya.
"Jam 2," jawab Bian.
"HAH!" teriak Ivy, lalu menutup mulutnya.
Ia melanjutkan ucapannya, "Sekarang udah jam 2 Bian. Kenapa lo gak dari tadi bilang!"
Bian mendengus kasar, "Gue juga baru tau."
Ivy berdiri, "Ayuk pulang!" Ajaknya.
Tetapi sebelum pulang Ivy pamitan pada Megan terlebih dahulu.
Ivy menaiki taksi yang di ikuti Bian di belakangnya.
Sesampainya di lobi Ivy menunggu Bian yang sedang memarkirkan motor.
Mereka sama-sama terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan.
Ivy menekan angka 20 di lift. Ia masih diam dan Bian juga diam.
"Kalem Vy!" ucapnya dalam hati.
Cklek
Pintu apartemen terbuka. Dan terpampang wajah Mamah Bian yang memerah.
Bukannya marah Aretha malah menangis.
"Ka-kalian bohongin Mamah. Hiks..." Ucap Retha sambil menangis.
Ivy duduk disamping mertuanya itu, "Maaf Mah." Katanya, sambil memegang tangan Aretha.
Bian juga duduk di samping Mamahnya.
"Kita gak bermaksud buat bohongin siapa-siapa." Kata Bian, sambil menunduk.
Aretha berdiri dari duduknya, "Setelah Mamah kesini lagi kalian masih pisah kamar. Mamah gak akan nganggep kalian anak!" ancamnya lalu pergi meninggalkan anak dan menantunya.
Ivy menunduk, "Maaf." Lirih nya.
Bian hanya bergeming.
"Sekarang kita bakal tidur satu kamar," ucap Ivy dengan yakin.
Bian menatap Ivy, "Lo yakin?" tanya nya.
Masalahnya Bian tidak mau memaksa Ivy. Karena ia tau pernikahan nya bukan di dasari atas cinta.
Ivy hanya mengangguk lalu ia bangun dan pergi ke kamarnya untuk memindahkan barang-barangnya ke kamar Bian yang lebih besar.
•••
Selesai makan malam Ivy dan Bian mencoba menelpon Aretha.
Telpon Ivy di angkat. Langsung ia meminta maaf setelah terdengar jawaban Halo di sebrang sana.
"Vy," panggil Aretha lembut.
"Maafin anak Mamah. Walaupun kalian menikah terpaksa tapi Mamah harap pernikahan kalian selamanya." Kata Retha dengan sendu.
Ivy kian merasa bersalah. Setelah terdiam sejenak ia menjawab, "Maaf Mah karena Ivy egois. Maaf untuk semua nya." Kata Ivy dengan mata berkaca-kaca.
Bian menghampiri Ivy yang sedang duduk di tepi ranjang sambil telponan dengan Mamahnya.
Setelah mendapat Maaf dari Aretha Ivy mematikan panggilan telpon itu. Ia menaruh Handphone nya di nakas. Lalu menatap Bian yang duduk di sampingnya.
Mata Ivy berkaca-kaca, "Maaf! Seharusnya gue sadar kalau gue udah jadi istri. Dan lakuin kewajiban gue sebagai istri." Katanya, sambil menunduk.
Bian menggeleng, "Gue yang salah. Karena gue kepala rumah tangga seharusnya gue gak egois." Kata Bian sambil menatap lurus kedepan.
"Gue harap kita sama-sama belajar. Belajar mencintai dan memahami." Kata Bian lalu menatap Ivy.
"Tapi..." Ucap Ivy terhenti.
"Perlahan..." jawab Bian. Lalu ia melanjutkan ucapannya, "Kalau suatu saat kita masih belum saling cinta. Kita bisa berhenti disitu." Ucapnya, lalu menghela napas kasar.
Ivy hanya diam sambil menatap netra hitam milik suaminya itu.