Ivy sudah terlelap dalam tidurnya. Tetapi ia terbangun dan terlonjak kaget saat merasakan sebuah tangan yang melingkar di perutnya.
Karena lampu di matikan Ivy tidak dapat melihat jelas seseorang yang ikut tidur bersamanya. Tetapi dari aroma parfum nya Ivy seperti nya kenal.
"Kenapa bangun?" tanya Bian dengan suara serak khas bangun tidur.
Ivy masih terkejut dengan kehadiran Bian yang tiba-tiba.
Ivy malah bangkit dari ranjang dan mencari saklar lampu untuk menerangkan isi kamarnya.
Bian menutup wajahnya silau, "Kenapa di nyalain?" tanya Bian yang sudah kehilangan kantuknya.
"Ngapain di kamar gue?" tanya Ivy mencoba menetralkan suaranya agar terkesan tidak gugup.
Bian menatap Ivy yang masih bediri dekat saklar lampu.
"Jemput istri gue!" Katanya, lalu mendudukan dirinya.
Ivy berjalan perlahan lalu duduk di tepi kasur. Sekarang ia duduk berhadapan dengan Bian.
Mata Ivy menatap hidung mancung Bian, lalu turun ke arah pipinya.
"Lo berantem?" tebak Ivy saat melihat pipi lebam suaminya itu.
Bian menggeleng, lalu merebahkan dirinya kembali.
"Lo udah makan?" tanya Ivy pelan.
"Udah," jawab Bian.
Ivy terdiam dan masih duduk di tepi kasur.
Bian menatap istrinya itu, "Lo gak mau tidur?" tanya nya.
Ivy mulai menaiki kasurnya perlahan lalu merebahkan badannya di samping Bian.
Mereka sama-sama belum tidur. Bian berpura-pura memejamkan matanya. Sedangkan Ivy menatap laki-laki berambut pirang disampingnya itu dengan sebal.
"Kenapa gue gugup gini!" monolognya dalam hati.
Ivy menggerakkan badannya membelakangi Bian. Ia mulai memejamkan matanya.
Aish! Tetapi gagal.
Ia lupa mematikan lampu kembali. Dan sekarang ia mencoba tidur tetapi tidak bisa.
Ranjang bergerak, Ivy melihat Bian yang mematikan lampu. Lalu ia naik lagi ke atas kasur, "Gue gak bisa tidur kalau silau." Katanya.
Ivy hanya diam dan mencoba tidur dengan posisi nya tadi.
Ivy mencoba memejamkan matanya. Tetapi ia membuka matanya kembali melihat tangan yang melingkar di perutnya. Bian memeluknya dari belakang.
Ivy memegang tangan Bian dan ingin melepaskannya tetapi gerakan tangannya berhenti saat mengingat ucapan Ibunya. Benar, ia seorang istri. Bukankah ini hal yang biasa bagi pasangan suami istri. Tangannya tidak jadi melepaskan pelukan dari Bian.
Bian berbisik di telinga Ivy, "Gue salah. Maaf."
What? Seorang Bian minta maaf?
Congrats Ivy sudah berhasil meluluhkan keegoisan seorang Bian Samudera.
Ivy hanya diam dan mencoba untuk memejamkan matanya.
•••
Tangan Bian menepuk-nepuk kasur di sampingnya. Matanya lalu terbuka, ia tidak menemukan Ivy.
Tetapi netranya menatap seseorang yang membuka pintu.
"Mandi, abis itu sarapan." Kata Ivy di ambang pintu. Lalu menutup pintu kembali.
Bian menatap istrinya itu yang kian cantik. Ivy memakai rok berwarna biru selutut dan kaos polos berwarna putih yang di pasukan kedalam rok. Sepertinya Ivy mau pergi ke kafe. Sedangkan Bian tidak sekolah karena ini hari minggu.
Untung Bian pernah menginap dirumah Ivy jadi pakaiannya ada di lemari istrinya itu.
Setelah mandi Bian turun untuk sarapan.
Disana sudah ada Diyar, Ayahnya Ivy. Arum, Ibu nya Ivy dan Ivy. Bian dengan canggung duduk di samping Ivy. Mereka memulai sarapannya dengan khidmat.
Selesai sarapan Ivy kembali ke kamarnya untuk memakai Hoodie dan mengambil tas.
Bian masuk ke dalam kamar, membuat Ivy tidak jadi keluar.
Mereka masih saling diam.
Suasana menjadi canggung.
Bian mencoba mencairkan suasana.
"Vy..." panggil nya pelan. Ivy menatap Bian dengan alis terangkat.
"Ternyata lo gak tepos," ucap Bian lalu tertawa kencang.
Bian memang berniat menjahili istrinya itu. Wajah Ivy sudah memerah. Entah tersipu malu atau menahan amarah.
Ia membuang tasnya sembarangan, lalu mendekat ke arah Bian yang sudah selesai tertawa.
Ivy berjingjit lalu menjambak rambut Bian kencang.
Bian meringis kesakitan, ia memegang tangan Ivy yang menjambaknya.
"Gue bercanda!" ucapnya dengan wajah pias.
Ivy melepaskan jambakannya.
Wanita yang menguncir kuda rambutnya itu berbalik badan menuju pintu untuk keluar.
Bian mengikutinya di belakang. Tetapi Ivy berbalik badan menghadap Bian di belakangnya.
Ivy menatap Bian sebentar, lalu tangannya merapihkan rambut suami nya itu.
"Kalau Ibu tau gue jambak lo, bisa di tatar gue." Katanya, lalu melanjutkan langkahnya keluar.
Bian tersenyum tipis melihat perlakuan Ivy.
Setelah Ivy dan Bian pamitan. Mereka keluar dari rumah besar itu.
"Gue anter!" Kata Bian, mereka masih di pekarangan rumah Ivy.
Ivy menatap dirinya yang memakai rok.
"Nggak," tolaknya.
Bian menghela napas panjang, "Kenapa sih pake rok mulu! Mau pamer lo!" Katanya sambil menatap betis putih Ivy yang terpampang.
"Apaan sih!" jawab Ivy malas lalu berjalan mendahului Bian.
Bian menaiki motornya, ia mengikuti Ivy yang menaiki taxi.
Sesampainya di kafe, Bian mendekat ke arah Ivy.
"Gue ke markas!" pamit Bian.
Ivy terdiam sejenak. Lalu ia berkata, "Jangan berantem." Ucap Ivy yang langsung berlari kecil masuk kedalam kafe.