Seorang pria jangkung berambut pirang sedang menaiki tangga dengan santai.
Seragam putih abu-abu nya memang terlihat bersih tetapi ia tidak merapihkan nya sehingga telihat acak-acakan dengan kemeja putih yang di keluarkan.
Ia membuka pintu di depannya, hingga terlihat seorang laki-laki yang duduk di kursi dan di kelilingi oleh empat orang cowok.
Ke-empat cowok itu minggir, memberi jalan Bian untuk bertemu orang yang sedang duduk.
Bian menarik kerah kemeja Doni hingga membuat laki-laki itu berdiri.
"Apa alesan lo lakuin itu?" tanya nya santai namun terkesan tajam.
Doni gelagapan, "Gu-gue—"
"Tiga...." Hitung Bian mundur.
"Uhm... Aaa- Gu—" Laki-laki itu masih tergagap karena ketakutan.
"Dua..."
"Gu-gue d-di di su—"
"Satu..."
Bian melepaskan tangannya dari kerah kemeja Doni, lalu berjalan mundur dan...
Brak!
Bian menendang Doni, hingga membuat laki-laki itu jatuh tersungkur.
Biar berdiri di hadapan Doni yang tersungkur, "Lo buang waktu gue!" Katanya, dengan seringai nya yang tajam.
Ke-empat cowok yang merupakan teman Bian hanya duduk tanpa berniat menolong Doni.
Bian menarik kerah Doni membuatnya terbangun. Lalu menghajar nya.
Bugh!
Bugh!
Doni tersungkur kembali dengan pipi lebam dan sudut bibir yang berdarah.
Sekali lagi ia membuat Doni terbangun, ia berdiri di hadapan Doni yang terlihat pasrah di depannya.
"Pukul gue!" titah Bian.
Ke-tiga temannya melongo tidak percaya. Tetapi temannya yang bernama Neptunus nampak tenang melihatnya.
Doni beringsut mundur ketakutan. Bian menarik kerah Doni.
"Pukul gue! Kalau ga...." Bian sengaja tidak melanjutkan ucapannya. Tetapi dari seringai yang Bian berikan membuat Doni paham jika tidak menuruti laki-laki itu, ia bisa menjadi lebih parah.
Bugh!
Doni memukul Bian tepat di bagian pipi kirinya.
Bian memegangi pipi nya yang nyeri. Lalu ia menatap Doni tajam.
"Sejak saat lo bantu Arthur buat jebak gue hari itu... Lo bukan lagi anggota Corvus." Kata Bian pelan tapi tajam.
Doni menundukkan kepalanya merasa bersalah, lalu ia keluar dari rooftop dengan tergesa-gesa.
Bian menghela napas kasar. Ia berdiri di ujung rooftop.
Rokok di saku celana nya ia keluarkan, lalu ia selipkan di sela-sela bibirnya.
Bian mencari pemantik api di saku celana dan baju tapi tidak ketemu. Helaan napas kasar terdengar dari mulutnya.
Alta menghampiri Bian dan berdiri di dekatnya. Ia menyerahkan pemantik api miliknya.
Bian mengambilnya lalu mulai menyalakan rokok yang sudah berada di bibirnya. Ia mengepulkan asap rokoknya ke udara.
Teman-teman nya memang tidak tau tentang pernikahannya. Tetapi mereka tau jika Bian menyuruh Doni memukul balik karena ada alasan di balik itu semua.
•••
Sejak pulang dari kafe hingga sekarang jam 7 malam Ivy berada dirumah Ibu nya.
Ia merebahkan badannya di kasur miliknya. Matanya terpejam tetapi ia tidak tidur. Ivy sudah memakai piyama miliknya yang berada di lemari kamar.
Tetapi matanya terbuka saat melihat Ibu nya membuka pintu, lalu duduk di tepi ranjang.
"Sayang," panggil Ibu nya lembut.
"Kamu gak kasihan sama suami kamu?" tanya Arum pada Ivy. Anaknya itu hanya diam menatapnya.
"Kalau dia belum makan gimana?" tanya Ibu nya lagi sambil tersenyum menatap Ivy.
Ivy bangun, lalu duduk berhadapan di depan Ibunya.
"Dia bukan anak kecil lagi Bu," kata Ivy pelan.
Arum menggeleng pelan, "Kamu itu seorang istri. Tugas kamu harus berbakti pada suami mu..." Katanya, sambil mengusap punggung Ivy.
Ivy merengut, "Pokoknya aku gak mau pulang." Ucapnya.
"Ibu kan selalu bilang tentang kewajiban seorang istri, kamu jalani kan selama ini?" tanya Arum menatap Ivy menunggu jawabannya.
Ivy terdiam, lalu menundukkan kepalanya, "Maaf."
Mata Arum berkaca-kaca, "Walaupun kalian menikah terpaksa, tapi kalian sudah menjadi suami istri. Jangan permainkan pernikahan. Hati Ibu sakit saat tau kenyataan ini." Kata Ibu nya dengan lirih.
Ivy masih menunduk, air mata nya menetes begitu saja.
"Kamu terpaut lima tahun, kalau Bian belum bisa jadi suami yang baik. Seenggaknya kamu jadi istri yang baik dahulu." Kata Ibu nya lagi.
Ivy memeberanikan diri menatap Ibunya, "Maafin aku Bu." Kata Ivy lalu memeluk Ibu nya.
Arum mengusap pundak Ivy dengan sayang.
"Ibu percaya kamu bisa jadi istri yang baik." Ucap Arum dengan sendu.