"Terima kasih sudah mau antar aku, Om," ucap Iris cepat ketika gadis ini hendak keluar dari mobil mewah milik Daren.
Baru saja ia akan keluar, pergelangan tangannya ditarik pelan oleh Daren. Lantas, Iris pun mengurungkan niatnya pergi.
"Apa aku tidak perlu mengantarmu hingga ke dalam?" tawar Daren.
Iris menggeleng kecil sembari menampilkan senyum hangat miliknya. "Tidak usah, Om. Iris bisa pergi sendiri. Kalau Om ikut ke dalam, nanti mereka akan bertanya lebih kenapa Iris bisa sama Om Daren," balasnya.
Daren mengangguk paham, benar juga apa yang Iris katakan. Dia harus menyiapkan seribu alasan agar Eden dan keluarganya tak curiga.
Iris pun membuka pintu mobil dan langsung menuju ke pintu rumah sakit. Daren masih berada di tempatnya, memandang gadis itu hingga tubuhnya tak lagi terlihat.
Suara klakson di belakang mobilnya menyadarkan pria ini. Daren menjalankan mobilnya kembali dan segera menuju ke arah parkiran. Dirinya tak tenang. Daren memutuskan untuk ikut menyusul Iris ke dalam.
Iris nampak terburu-buru menuju ke ruang ICU. Itulah yang dikatakan oleh Milly tadi. Kurang hati-hati salah satu sifat Iris. Gadis ini hampir saja terjungkal ke depan akibat menghindari suster yang mendorong kursi roda. Untungnya ada sosok tangan kekar yang menarik tubuhnya. Iris menahan napasnya ketika lagi dan lagi matanya dihadapkan oleh sosok pria tampan. Bukan, lebih tepatnya dokter tampan.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya dokter itu.
Sembari menatap sang dokter, Iris mengangguk. Dokter itu bernapas lega. "Lain kali berhati-hatilah ketika berjalan. Dan juga jangan buru-buru," nasihat dokter itu. Lagi dan lagi Iris mengangguk.
"Iris!"
Panggilan dari arah belakang tubuh gadis ini membuatnya refleks menoleh. Dokter itu melepaskan pegangannya pada tubuh gadis ceroboh yang hampir membahayakan orang lain ini.
Arvie yang melihat sosok Iris pun langung menghampiri adiknya itu. "Kenapa kamu tidak hubungi aku kalau sudah sampai?" cecar Arvie. Dia tahu tabiat adiknya yang sedikit ceroboh, jadi tentu dia harus membimbing gadis ini.
Iris mengurucut sebal, padahal dia buru-buru ke sini agar bisa menengok keadaan Cinta. Bahkan dia harus merelakan waktu berharganya di mana seharusnya dia bisa bermanja-manja dengan Daren.
"Maaf? Saya permisi dulu," sela dokter pria yang menolong Iris tadi.
"Terima kasih, Dok," kata Iris yang diangguki oleh sang dokter.
Kedua kakak dan adik ini memperhatikan dokter tadi hingga punggungnya tak terlihat di belokan sana. Iris malah menampilkan senyum anehnya yang mana membuat Arvie mengernyit bingung.
"Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?" tegur Arvie menyadarkan Iris di sana.
Iris menatap kakaknya itu dengan penuh harap. "Kak. Bagaimana kalau Kak Arvie punya adik ipar seorang dokter?" tanyanya random.
Arvie pun melotot, dia paham maksud dari adiknya ini. Dia pun menjewer telinga adik nakalnya ini. "Kamu masih kecil pikirannya sudah ke mana-mana. Aku akan aduin ke Papa tentang ini," omel Arvie.
"Dasar tukang ngadu," cibir Iris.
"Arvie? Iris?"
Panggilan dari arah belakang tubuh keduanya menyadarkan mereka. Bola mata Iris membulat sempurna ketika melihat sosok Daren. Kenapa pria itu ada di sini? Bukankah Iris sudah memperingati pria ini untuk tak ikut masuk? Sekarang Iris lah yang takut ketahuan.
"Eh? Om Daren," sapa Arvie ramah. Keluarga mereka memang mengenal betul sosok Daren setahun kebelakang ini.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya Daren seolah dia dan Iris tidak ke sini bersama sebelumnya. Iris pun paham jika pria ini sedang memainkan peran.
"Tunanganku sedang dirawat di sini, Om. Om Daren sendiri sedang apa?" tanya Arvie balik.
"Oh. Aku sedang mengunjungi teman," jawab Daren senatural mungkin sembari melirik sosok Iris yang masih tenggelam dalam hoddie besar miliknya.
"Oh begitu. Kalau begitu aku dan Iris akan pergi lebih dulu, Om," kata Arvie yang berpamitan. "Ayo, Iris," ajak Arvie kepada adik perempuannya. Iris pun mengangguk. Arvie jalan lebih dulu disusul oleh Iris di sana.
Daren masih memperhatikan keduanya yang pergi di mana sesekali Iris menengok ke belakang. Dia melambaikan tangannya pada Daren, tentunya di belakang Arvie agar tidak ketahuan. Setelah memastikan gadis itu telah aman, barulah Daren benar-benar pulang ke rumah sekarang.
Di ruang ICU sudah berkumpul keluarga Arvie dan Cinta. Semua tampak menunjuk wajah penuh kekhawatiran di sana. Kedatangan kedua anak Eden dan Milly membuat semuanya menoleh kepada kedua anak muda itu. Penampilan Iris yang aneh menggunakan hoddie besar tentu menjadi perhatian di sini. Iris memilih untuk duduk di dekat Milly saja agar aman.
"Pa. Barusan aku bertemu dengan Om Daren di lorong rumah sakit. Katanya dia sedang jenguk temannya," lapor Arvie kepada Eden. Iris hanya menautkan kedua tangannya, dia gugup takut ketahuan.
"Ma. Bagaimana keadaan Kak Cinta?" tanya Iris pelan. Di seberang sana keluarga Cinta tampak bersedih ditambah lagi mama dari Cinta pun menangis tak berhenti sejak tadi.
"Belum tau. Dokter masih memeriksanya sejak tadi," jawab Milly. Iris pun ikut menjadi sedih. Dia melirik sosok Arvie yang duduk di sebelah Eden. Kakaknya pasti sangat khawatir.
Tak berapa lama, dokter pun keluar dari ruang ICU. Orang-orang mengerubungi dokter itu.
"Apakah saya bisa bicara dengan orang tua pasien?" tanya dokter itu.
Orang tua Cinta pun mengangguk dan langsung mengikuti langkah sang dokter.
"Sus, bolehkah kita menjenguk Cinta?" tanya Eden kepada suster yang kebetulan ikut keluar barusan.
"Untuk sekarang hanya boleh satu persatu, Pak," jawab sang suster.
Eden mengangguk. Pria paruh baya itu menoleh kepada sang putra. "Masuklah. Dia pasti membutuhkanmu sekarang," perintahnya. Arvie mengangguk paham.
"Kak," panggil Iris mencegah Arvie yang hendak masuk ke ruang ICU. "Sampaikan salam Iris kepada Kak Cinta, ya. Iris berdoa agar Kak Cinta cepat sembuh dan pulih."
Arvie mengangguk, dia pun mendorong pintu ruang ICU itu meninggalkan keluarganya. Baik Eden dan Milly sebenarnya tak tega melihat kedua insan itu saling berjuang hingga sekeras ini terutama Arvie. Bisa dibilang Arvie sangatlah setia kepada Cinta dan rela melakukan apa pun yang penting tunangannya bahagia dan bisa hidup normal.
***
"Selamat pagi," sapa Sherly penuh semangat. Hari sangat cerah sekarang, jadi itu membuat semangat Sherly pun membara. Gadis itu meletakkan tas miliknya di kursi, fokusnya beralih kepada Iris sekarang. "Bagaimana? Apakah berhasil?" tanyanya langsung.
Iris menatap temannya ini, kemudian dia menggeleng pelan. Hal itu tentu membuat Sherly tak habis pikir. Padahal dia sangat yakin jika usaha yang mereka lakuka pasti berhasil.
"Om Daren nggak ijinin aku pakai benda itu," ungkap Iris.
"Terus kamu nurut?" tanya Sherly balik. Iris mengangguk. Sherly menepuk dahinya pelan. Kenapa dia bisa memiliki teman sepolos Iris ini?
"Iris, harusnya kamu tetap pakai. Katamu kan kamu ingin Om Daren jadi milikmu. Ini adalah usaha yang harus kamu lakukan. Om Daren itu pria dewasa. Selera dia itu ya wanita dewasa yang seksi," jelas Sherly.
"Tapi ... Om Daren bilang kalau dia nggak suka aku yang nggak nurut. Jadi terpaksa aku nggak pakai benda itu. Lagi pula aku kurang nyaman pakainya, Sher," balas Iris.
Sherly pun mengangguk paham. Dia tak bisa memaksa Iris juga. "Oh iya aku mau tanya. Apakah kamu pernah bertemu dengan mantan istrinya Om Daren?"
Iris menggeleng pelan. Dia lupa untuk mencari tau tentang mantan istri pria itu. "Haruskah aku mencari tau tentang dia?" tanyanya lebih dulu.
"Harus. Dari sana kamu tau bagaimana selera wanita yang Om Daren suka," jelas Sherly. Iris pun mengangguk paham, dia akan mencari tau tentang ini. "Tapi, Iris. Kalau kamu beneran jadian sama Om Daren, itu artinya dia akan jadi sugar daddy mu. Wah, ini menakjubkan," seru Sherly nampak bahagia.
"Sugar daddy? Om Daren belum punya anak, Sherly," sahut Iris. Sherly tersenyum maklum.
"Nanti aku akan jelasin ke kamu soal ini. Aku melupakan sesuatu sekarang. Bisakah aku pinjam flashdisk mu? Stok film ku sudah habis," kata Sherly menampilkan sederet gigi putihnya. Iris mendengkus, tetapi dia tetap memberikan flashdisk miliknya.
⁰
Di kantor besar miliknya, ternyata Daren kedatangan sang mantan istri. Daren nampak terganggu setiap kali Fris datang menemuinya. Entahlah, wanita ini masih saja berada di sekitar Daren. Hal itu benar-benar membuat pria ini tertekan.
"Sayang. Kenapa kamu akhir-akhir ini mendadak sibuk sekali?" tanya Fris dengan nada manjanya. Bahkan wanita ini tanpa tau malu malah duduk dia tas meja kerja Daren. Daren memijat pelipisnya karena pusing melihat keberadaan Fris di sini.
"Fris. Aku mohon beri aku ruang untuk kehidupanku sendiri," pinta Daren yang selalu bersabar kepada sang mantan istri.
Bibir wanita itu tertekuk. Dia turun ke lantai dan menatap Daren dengan pandangan yang selalu mampu membuat pria itu luluh dulunya. Itu dulu, bukan untuk sekarang.
"Dulu, kamu selalu mengatakan cinta dan sayang kepadaku, tetapi sekarang semuanya berbeda. Kamu sudah berubah," keluh Fris bahkan wanita itu menggunakan air matanya untuk memikat Daren lagi.
Daren mengembuskan napas lelahnya. "Fris. Apakah kamu lupa keadaan kita sekarang sudah beda? Kita bukanlah sepasang suami istri lagi. Meskipun kamu pernah mengkhianatiku, tetapi aku tetap mau menjalin hubungan baik denganmu sebagai teman," kata Daren.
"Kamu berubah, Daren. Kenapa? Apakah ada wanita yang menjadi incaranmu saat ini? Dulu, akulah yang selalu kamu puja setiap hari," ungkap Fris.
Daren berdiri dari tempatnya, dia berjalan mendekati tempat Fris berdiri sejak tadi. "Aku menghargaimu sebagai teman dan mantan istriku, Fris. Jangan buat hubungan kita menjadi rumit," ucap Daren lagi.
Fris menatap Daren dalam. Kemudian wanita itu langsung menubrukkan dirinya pada Daren dengan posisi memeluk mantan suaminya.
"Aku masih mencintaimu, Daren. Aku tau aku salah, dan aku sudah minta maaf kepadamu. Aku ingin kita kembali seperti dulu lagi," papar Fris.
Daren tentu tak membalas pelukan itu. Dia tak ingin Fris menganggap Daren masih memiliki perasaan untuknya. Walaupun memang masih ada, tetapi Daren selalu ingat dengan pengkhianatan yang wanita ini lakukan.
Daren menarik lengan Fris agar pelukan keduanya terlepas. Dan itu berhasil. Fris menatap manik mata Daren secara langsung, begitu juga sebaliknya. "Fris ... kamu adalah wanita yang cantik dan baik. Kamu bisa menemukan pria yang pas untukmu, dan itu bukanlah aku. Aku membebaskanmu dari pernikahan kita agar kamu bisa menemukan kehidupanmu yang baru."
"Aku mencintaimu, Daren," ungkap Fris.
"Maaf. Aku--"
Belum sempat pria ini menyelesaikan perkataannya, Fris langsung menubrukkan bibir merahnya pada bibir Daren. Daren yang awalnya tak siap mendapat serangan tiba-tiba itu pun akhirnya terlena juga. Ini naluri pria miliknya.
Fris yang mendapat balasan dari Daren pun nampak senang dan ingin hal lebih. Diam-diam dia membuka kancing kemeja yang pria itu kenakan satu persatu. Ya, dia ingin memiliki Daren lagi. Dia sadar, Daren adalah harta terpenting untuknya.
Daren yang sudah lama tak bermain dengan wanita malah menuruti permainan yang Fris buat. Tubuh bagian atas pria itu telah terlepas sepenuhnya. Daren tak tinggal diam, dia juga ikut membuka pengait dress di belakang tubuh mantan istrinya itu.
Daren melakukan serangan pertama pada leher jenjang Fris. Terlihat jelas wanita itu menikmati kegiatan mereka sekarang. Sebentar lagi dia yakin akan bisa kembali bersama Daren. Tentu Daren masih mencintainya.
Tubuh Fris sudah terekspos setelah Daren menanggalkan dress ketat miliknya. Wanita itu memakai dalaman dengan warna yang menantang. Daren yang gelap mata pun langsung melahap habis tubuh bagian atas wanita itu. Fris nampak semakin senang. Suara-suara yang wanita ini keluarkan membuat Daren semakin bersemangat.
Fris diam-diam meraba milik Daren. Dia merasakan jika pria itu sudah sangat keras sekarang. Baru saja Fris akan membuka pengait celana milik Daren, ponsel pintar pria itu berbunyi dengan nyaring.
Daren yang sudah dalam kesadarannya pun langsung menjauhi tubuh Fris yang teronggok di meja kerja miliknya. Dengan cepat Daren mengambil kemejanya dan memakainya kembali. "Pakai bajumu, Fris," perintahnya kepada sang mantan istri.
Sial. Fris mengumpat kesal dan bersumpah akan memberi pelajaran kepada si pengganggu. Sedangkan Daren nampak terburu-buru memakai kemejanya sembari menempelkan ponselnya di indar pendengar.
"Halo."
"Halo, Om Daren."
Itu suara Iris. Daren pikir siapa nomor baru yang menghubunginya sekarang. Daren bersyukur dengan tindakan gadis itu yang menelepon dirinya. Hal itu membuat Daren tersadar jika dia baru saja akan terjatuh ke lubang yang sama lagi. Tidak. Dia tidak ingin kembali menjalin hubungan lebih dengan Fris. Cukup dengan masa lalu mereka.
"Ada apa, Iris?"
Fris melirik ketika mendengar satu nama asing terucap di bibir Daren. Wanita ini tampak telah selesai memakai dressnya. Dia hanya perlu membenarkan rambut serta make up cantiknya.
"Om. Aku boleh berkunjung ke kantor Om Daren, nggak?"
Daren mengernyit. Kemudian dia melirik Fris yang sibuk dengan make up. "Aku sedang sibuk kerja," jawab Daren akhirnya. Di sini ada Fris, jadi Daren tak berani mempertemukan keduanya.
"Hari ini aku pulang lebih cepat. Aku malas di rumah. Pasti sekarang sedang sepi. Jadi, aku main ke kantor Om Daren aja. Sekalian kita makan siang bersama," jelas Iris. Terdengar suara riuh di seberang sana.
"Kamu naik apa?"
"Aku minta antar Sherly, Om," jawab Iris cepat.
"Baiklah. Aku tunggu," balas Daren.
Iris memekik senang. Dia langsung mematikan panggilan itu. Pandangan Daren beralih pada Fris. Sekarang dia harus memikirkan cara untuk membuat mantan istrinya pergi.
"Apakah kamu sudah selesai?" tanya Daren yang ia tujukan pada Fris.
"Sebentar lagi," jawab wanita ini sembari mengoleskan benda merah di bibirnya. "Finish!" serunya yang meletakkan lipstiknya ke dalam tas. Atensinya beralih pada sosok Daren.
"Pulanglah sekarang." Ini terdengar seperti pengusiran langsung. Fris tentu tersinggung.
"Kamu mengusirku?" tanyanya.
"Fris. Ini jam kerja. Aku harus kembali bekerja. Jujur, adanya dirimu di sini membuatku tak bisa konsentrasi. Lagi pula, bukankah ini jadwal kamu harus ke rumah sakit?"
Fris menepuk dahinya pelan. Dia lupa. Ini adalah hari konsultasi ke dokter kecantikan. Fris segera merapikan barang-barangnya dengan buru-buru. Melihat hal itu membuat Daren bernapas lega. Dia memang tahu segala jadwal mantan istrinya ini termasuk perihal kecantikan.
Fris mengecup pelan pipi kiri Daren. "Aku akan pergi sekarang. Untung kamu mengingatkanku barusan. Terima kasih, Sayang. Oh iya, kapan-kapan aku akan main ke rumah," pamit Fris. Daren hanya mengangguk saja. Dia membiarkan mantan istrinya berbuat sesuka hatinya.
Setelah kepergian Fris, pria yang masih berada di ruangannya itu sekarang harus menyiapkan mental menghadapi anak gadis dari Eden. Daren lagi dan lagi harus mengumpulkan kesabaran yang ekstra terhadap gadis ajaib yang satu ini.
_____