Iris tak pernah berhenti tersenyum karena dia duduk tepat di sebelah Daren. Lebih tepatnya keduanya sedang berada di dalam mobil mewah milik pria itu. Daren sebenarnya enggan untuk keluar rumah, apalagi bersama gadis ini. Tetapi, Iris terus saja merengek, meminta pria itu menemaninya jalan-jalan. Iris pun mengancam dia akan jalan-jalan sendiri. Tentu Daren tak bisa tinggal diam di mana gadis itu tak menggunakan dalaman dan hanya mengandalkan hoddie besar miliknya.
"Om, mau ke minimarket sebentar boleh?" tanya Iris. Daren hanya berdeham sembari membelokkan mobilnya ke minimarket yang tak jauh dari mobilnya lewati. Minimarket terlihat sepi.
Iris dan Daren pun masuk. Lagi dan lagi Daren tak bisa meninggalkan gadis itu sendirian. Sosok Daren yang berada di sebelah Iris sedikit membuat perhatian beberapa pengunjung, sekitar tiga orang. Tentu mereka mengira jika Daren adalah orang tua dari gadis imut dan cantik ini.
"Iris boleh ambil minuman ini nggak, Om?" tanyanya menunjuk sekotak minuman s**u yang ada di dalam kulkas. Daren mengangguk saja. Pria itu membuka kulkas lain dan mengambil minuman di sana. Iris memberikan miliknya kepada Daren.
"Hanya ini?" tanya Daren memastikan. Iris mengangguk. "Camilan? Jajan??" lanjutnya.
"Memang boleh?" tanya Iris dengan polos. Daren mengangguk. Senyum di wajah Iris melebar, dengan sigap gadis itu menuju ke rak berisi makanan ringan. Daren mengikuti dari belakang.
Iris mengambil camilan yang berbahan dasar dari kentang. Sebuah tangan bersamaan mengambil makanan itu. Baik Iris dan Daren saling menoleh.
"Sam?" Iris terkejut bertemu dengan teman kampusnya ini. Daren yang mendengar satu nama itu mencoba mengingatnya karena Iris sepertinya sempat menyebut nama Sam.
Sam memang berada satu minimarket dengan mereka. Dia baru sadar jika itu adalah Iris. Seketika wajahnya terlihat bahagia karena bertemu dengan sang pujaan. "Aku kira ini bukan kamu," ucap pemuda itu. Aneh memang melihat tubuh kecil Iris yang tenggelam di hoddie besar yang ia pakai. Siapa pun juga tahu jika itu adalah hoddie seorang laki-laki.
Pandangan Sam beralih kepada sosok Daren yang berdiri tepat di belakang teman sekolahnya ini. Daren ikut menatap pemuda itu dengan pandangan dingin miliknya. Iris yang tahu arti tatapan Sam pun menggeser tubuh kecil miliknya agar tak menghalangi tubuh besar Daren.
"Sam kenalin, ini Om Daren," ujar Iris. Dia memang harus memperkenalkan keduanya karena dia tak menyangka akan bertemu dengan Sam di sini. Semoga Sam tak membicarakan sosok Daren di depan keluarga gadis itu.
Sam mengulurukan tangan kanannya. Kedua laki-laki itu saling berjabat. "Saya Sam. Teman kampus Iris, Om," kata pemuda ini. Daren hanya mengangguk. Keduanya melepaskan tautan tangan mereka.
Atensi Sam beralih kepada Iris. "Kamu sedang melakukan kegiatan apa hari ini?" tanyanya.
Iris mengambil camilan yang tadinya sempat ia tunda ambil. "Aku mau jalan-jalan saja sama Om Daren," jawabnya jujur. Daren menyumpah serapahi Iris di dalam hati karena gadis ini terlalu polos dan jujur. Kedua remaja itu menuju ke kasir, Daren mengikuti dari belakang.
Kasir menghitung belanjaan Iris dan Daren lebih dulu. Daren mengeluarkan lembaran uang sembari terus mendengarkan percakapan Iris bersama teman sekolahnya ini.
"Kalau begitu sampai jumpa besok di kampus," kata Iris mengakhiri obrolan mereka karena Daren sudah selesai di kasir. Sam mengangguk dan ikut tersenyum di sana. Cinta pasangan anak muda, pikir Daren kala itu.
Daren dan Iris masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan mereka. "Om. Apa pendapat Om tentang Sam?" tanya gadis ini tiba-tiba.
Daren tak serta merta menjawab. Pria itu mencoba menggunakan kata yang tepat setiap kali ingin dia berbicara. "Biasa saja," jawabnya. Iris menganga. Jawaban terlalu singkat dari Daren tak membuatnya puas.
"Dia Sam. Dia yang aku ceritakan saat itu. Dia beberapa kali mengatakan jika menyukaiku. Tapi aku bilang, aku hanya menyukainya sebagai teman. Sherly juga menyarankan aku untuk menerima Sam, tapi aku tetap nggak mau. Lagian aku takut kalau Kak Arvie tau," ceritanya. Daren hanya mendengarkan curhatan gadis yang akan berulang tahun ke 18 ini.
"Oh iya, katanya Om Daren pernah menikah. Apakah itu benar?"
Topik yang begitu tak ingin pria ini bahas. "Ya, itu benar," jawab Daren akhirnya.
Daren membelokkan mobilnya ke sebuah hotel, mata Iris membulat sempurna. "Om. Ngapain kita ke sini?" tanya gadis itu.
Daren tak serta merta menjawab. Dia memarkirkan mobilnya di parkiran dan langsung keluar mobil diikuti oleh Iris. Gadis itu seperti anak ayam yang tak ingin kehilangan induknya.
Pengunjung hotel nampak melirik ke arah kedua orang ini. Sungguh penampilan mereka terlihat kontras sekali. Daren yang rapi meski tidak menggunakan jas, sedangkan Iris yang hanya memakai hoddie.
Iris mempercepat langkah kakinya agar tak kehilangan jejak Daren di hotel besar tersebut. Mereka memasuki lift, Daren menekan nomor lantai di sana.
"Om, kita ngapain di sini?" tanya Iris lagi.
"Aku ingin mengecek sesuatu. Hanya sebentar," jawabnya singkat. Iris menutup mulutny, dia tak lagi bertanya.
Pintu lift terbuka di sebuah lantai yang sunyi. Seram juga, pikir Iris kala itu.
"Selamat pagi, Pak."
Seorang wanita dengan pakaian kerja yang terlalu ketat menampilian bagian bentuk tubuhnya menyapa Daren. Iris yang melihat senyum wanita itu selalu tertuju kepada Daren pun merasa panas.
"Aku tidak lama-lama di sini. Bisakah kau ambilkan file yang aku minta tadi?" ucap Daren. Wanita itu mengangguk.
"Baik, Pak. Mari saya antar ke ruangan Anda," tawar wanita itu.
"Tidak perlu. Aku tidak lama di sini. Kau ambilkan file nya, aku akan menunggu di kursi itu," jawab Daren menunjuk beberapa bangku yang memang tersedia di sana.
Wanita cantik dan seksi itu mengangguk. Dia berbalik menuju ke ruangannya. Iris mendengkus kala wanita itu sengaja melenggak lenggokkan tubuhnya di depan Daren. Sepertinya saingan Iris adalah wanita seksi itu kali ini.
"Ayo," ajak Daren yang langsung menarik gadis itu karena tak kunjung beranjak. Iris dan Daren duduk di kursi.
"Ini hotel Om Daren?" tanya Iris mencari informasi.
"Ya."
Iris berdecak kagum. Daren benar-benar sangat kaya. Maklum, dia sama sekali tak mencari tahu tentang Daren di internet. "Hotel yang bagus, Om," pujinya. Gadis itu beberapa kali menggerak-gerakkan kakinya di lantai. "Terus, tante yang barusan siapa?" tanyanya lebih lanjut.
"Dia yang menghandle hotel ini jika aku tidak ada," jelasnya. Iris mengangguk paham. Itu artinya Daren dekat dengan wanita itu. Dan Iris harus ekstra lebih menjaga Daren dari jeratan para wanita di luar sana.
Tak berapa lama kemudian, wanita tadi pun kembali sembari membawa map biru. Daren langsung menerima map itu. "Baiklah, kau lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan pergi sekarang," kata Daren setelah mengecek dokumen yang ia terima.
Wanita itu mengangguk sembari menampilkan senyum terbaiknya.
Langkah Iris berhenti tepat di depan wanita ini. "Tante. Iris boleh kasih saran, nggak? Kalau dandan jangan terlalu tebal, itu bisa menyumbat pori-pori. Akibatnya kulit Tante nggak bisa bernapas. Terus, apa Tante tidak sesak memakai pakaian yang ketat ini? Kalau Iris memakai baju ketat, pasti dosen langsung marahin Iris."
Bolehkah Daren tertawa sekarang? Tentu saja dia tak ingin menurunkan image nya. Pria itu hanya diam di sana memperhatikan tingkah ajaib gadis ini.
Iris menampilkan senyum terbaiknya kepada wanita itu. Terlihat jelas jika wanita tersebut menahan amarah terhadap gadis yang tak ia ketahui siapa ini.
"Tante nggak perlu berterima kasih kepadaku. Sesama manusia harus saling mengingatkan bukan? Ya sudah Iris pergi dulu ya, Tante. Sampai jumpa," pamit gadis itu yang menyusul Daren di sana.
Setelah kepergian mereka, barulah wanita tadi mengeluarkan amarahnya di lorong sepi itu. Sial, dirinya dipermalukan di depan Daren oleh seorang bocah.
"Om. Kenapa Om nggak negur Tante tadi? Pakaian dia itu kurang pantas menurut Iris. Mama saja kalau melihat karyawan Papa berpakaian seperti itu langsung ditegur," tutur gadis itu.
"Itu hak dia, Iris. Aku malas untuk mengurusi pakaian wanita."
"Tapi, Tante tadi bisa saja mendapat kejahatan jika berada di luar."
Daren mengernyit. Pikiran gadis ini bisa dibilang pintar, di mana dia masih sempat-sempatnya memikirkan bahaya yang didapat wanita jika berpakaian seksi. Tapi, kenapa Iris tetap mengejar dirinya?
"Sudahlah. Jangan terlalu kamu pikirkan. Sekarang kita mau ke mana? Apakah kamu mau aku antar pulang?" tanya Daren. Keduanya baru keluar dari lift. Iris berhenti melangkah. "Ada apa?" tanya Daren yang ikut berhenti.
"Om. Di hotel ini ada tamannya, nggak?"
"Ada."
"Boleh kita ke sana saja? Aku malas di rumah sendirian. Papa, Mama, dan Kak Arvie pasti belum pulang."
Daren pun mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa ke taman duluan, bukan? Aku akan ke parkiran sebentar untuk meletakkan dokumen ini sekalian membawakan makanan dan minuman yang kita beli tadi."
Iris mengangguk setuju. "Berjalanlah ke arah sana. Nanti tamannya akan terlihat," terang Daren menunjuk ke sisi barat hotel. Iris mengangguk paham. Keduanya berjalan berlainan arah di mana Iris nampak menikmati suasana tenang di hotel ini.
Gadis itu berhenti tepat di kursi panjang taman. Di sana hanya ada beberapa orang saja. Iris kembali menghirup aroma yang ada di hoddie milik Daren. Pagi-pagi begini menggunakan hoddie terasa panas untuknya, tapi Daren melarang Iris membuka hoddie itu.
Tiba-tiba saja ada seorang wanita yang duduk tepat di sebelah gadis ini. Tentu Iris terkejut bukan main. Sepertinya wanita itu baru selesai jogging. Iris merass insecure ketika melihat tubuh bagus wanita itu yang tercetak jelas di pakaian olahraga miliknya yang ketat.
"Oh, hai. Bolehkah aku duduk di sini?" tanya wanita itu. Iris mengangguk di tempat. "Perkenalkan namaku Jingga," lanjutnya. Iris menerima uluran tangan wanita ini. Tangan Jingga terasa lembut ketika Iris pegang. Wanita ini benar-benar terlihat sempurna.
"Iris, Kak." Gadis ini memilih memanggil Jingga dengan sebutan kakak karena Jingga terlihat kurang cocok jika dipanggil tante.
"Wajahmu terlihat lucu dan imut, Dek," kata Jingga sembari terkekeh. "Tapi, apa kamu tidak gerah memakai hoddie di pagi hari seperti ini?"
Iris menggeleng. "Om Daren nggak bolehin Iris lepas hoddie nya," ungkapnya jujur.
"Om Daren?" tanya Jingga timbul kernyitan di dahinya.
"Iris."
Sebuah suara panggilan itu membuat kedua perempuan ini menoleh. Iris tersenyum senang melihat Daren yang baru kembali dan tak lupa membawa makanan yang mereka beli tadi.
Daren memberikan kresek berisi minuman dan makanan itu. Pandangannya melirik kepada sosok yang duduk di samping gadis ini. Siapa lagi sekarang?
"Hai, Pak. Anda pasti Om nya Iris, ya? Perkenalkan, saya Jingga," ucap Jingga mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Daren mengernyit ketika wanita itu memanggilnya dengan sebutan pak. Apakah dirinya terlihat sangat tua?
"Jangan panggil saya pak. Panggil saja Daren atau Om Daren," ralat pria itu. Memang lebih baik dia dipanggil om-om saja.
Jingga mengangguk paham. Kemudian dia melihat jarum jam yang melingkar di tangannya. "Maaf, sepertinya aku harus pergi sekarang," katanya. "Iris, aku pergi dulu ya. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi," lanjutnya kepada gadis ini. "Om, saya permisi dulu," pamitnya kepada Daren.
"Hati-hati, Kak Jingga."
Jingga menampilkan jempol miliknya dan langsung menuju ke pintu masuk hotel. "Kak Jingga cantik banget," puji Iris yang menatap kepergian wanita itu. Daren hanya diam saja. "Om. Iris cantik, nggak?" tanyanya random.
Iris sudah dua kali bertanya seperti itu hari ini. "Ya, kamu cantik seperti biasanya."
Iris terlihat senang sekali. Baru saja dia akan memasukkan makanan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ponsel gadis ini berdering. Daren masih diam di tempatnya sembari menikmati suasana taman hotel yang jarang ia kunjungi ini.
"Halo, Ma," sapa Iris yang membuat Daren refleks menoleh. Sepertinya panggilan telepon dari Milly.
"APA?!" pekik Iris membuat Daren terkejut di tempatnya.
"Baiklah. Aku akan ke sana sekarang," jawab Iris lagi yang langsung menutup ponselnya. Gadis itu nampak terburu-buru, membuat Daren mengernyit bingung.
"Om ... bisa antar Iris ke rumah sakit sekarang?" tanyanya. Daren langsung berdiri dan menatap gadis itu dengan penuh.
"Siapa yang sakit?" tanya Daren lebih lanjut.
"Kak Cinta. Keadaannya tiba-tiba drop," ungkap Iris dengan ekspresi penuh kekhawatiran di sana. Bagaimana tidak khawatir? Dia sudah menganggap Cinta seperti kakaknya sendiri. Apalagi sebentar lagi Cinta dan Arvie akan menikah. Iris tak ingin kebahagiaan kedua kakaknya terhalang.
"Ayo, aku antar," putus Daren cepat. Keduanya berlari menuju ke parkiran. Iris merasa dia tak boleh menyia-yiakan waktu. Dan juga, dia harus selalu di sisi sang kakak yakni Arvie.
___
Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain ya ^^